Coretan & Berbagi Informasi

Sunday, October 15, 2017

Menganal Suku Mee, Ini 6 Fakta Tentang Suku Mee di Papua yang Mungkin Belum Anda Ketahui

 
Menganal Suku Mee, Ini 6  Fakta Tentang Suku Mee di Papua yang Mungkin Belum Anda KetahuiSelamat berkunjung gan dan can. Apa kabar ni? Semoga sehat selalu ya! Oyah, harapan saya semoga sobat sekalian tidak lelah berkunjung di blog ngawur ini dan juga bersedia memberikan masukan dan pendapat kepada Dihai untuk menyediakan konten yang lebih informatif dan edukatif.
Naa pada postingan kali ini Dihaimoma.com akan berbagi 6 fakta seputar suku Mee di Papua yang mungkin belum anda ketahui. Penulisan artikel ini terinspirasi dan mengacu pada tiga buku sumber utama yakni buku "Manusia Mee di Papua (2008)" karya Titus Pekei, Buku "Masa Kuasa Belanda di Papua (2014)" yang di tulis Rosmaida Sinaga  dan juga Mansoben, "Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya (1995)"yang tentunya banyak dikutip oleh Rosmaida Sinaga.
Dalam penulisannya, Dihai akan berusaha mengaitkan fakta-fakta tersebut dengan kondisi kehidupan suku Mee saat ini. Terutama tentang ajaran nilai-nilai kehidupan bisa dikatakan sampai saat ini masih relevan namun mulai terkikis oleh arus zaman. Dengan demikian berikut ini pemaparan 6 fakta tersebut, selamat membaca.

Sejak dahulu Suku Mee menyebut mereka sebagai Mee yang berarti manusia tetapi para ilmuan yang terlebih dulu meneliti tentang Suku Mee menggunakan Istilah Kapauku, Ekagi/ Ekeri untuk menyebut suku Mee
Setelah melakukan pencarian dengan kata kunci Ekagi/Ekari dan Kapauku, ternyata nama-nama ini sudah dikenal secara luas. Bahkan saya menemukan  berbagai jurnal dan buku di beberapa universitas ternama seperti "The Kapauku Papuans and Their Kinship Organization (1960) Universitas Sydney", "South Coast Nieuguinea Cultures" yang diterbitkan Cambridge university Press(1993) atau pun juga dalam paper "Kapauku Papuan Economy (1972)" yang diterbitkan Yale university dan saat ini dijual di amazon dengan harga $ 11.99. Bukan hanya itu dalam kamus encyclopedia, definisnya pun masih menggunakan Kapauku, coba cek: Kapauku encyclopedia dan masih banyak lagi.
Namun Faktanya, sejak dulu Suku Mee menyebut mereka sebagai Mee. Kata Mee  sendiri berarti "manusia" yang mana oleh Titus Pekei (2008:1) menyebut bahwa manusia Mee (Mee tuma) atau  Manusia sejati (Makodo Mee). Namun tidak dapat dimungkiri bahwa penyebutan suku Mee dengan sebutan "Kapauku","Ekari" atau "Ekagi" telah dikenal sampai ke manca negara. Terutama di kalangan para akademisi dan juga dikalangan para ilmuan bekaliber Intenasional tetapi yang sangat saya kagumi bahwa semua penyebutan  yang tidak sesuai dengan nilai leluhur suku Mee itu dibantah dengan hormat oleh Titus Pekei dalam bukunya yang berjudul "Manusia Mee di Papua".
Beliau kembali memperjelas bahwa penyebutan Kapauku, Ekari/Ekagi tidak pernah ada di Papua  terutama di wilayah Mee karena kata-kata itu hanya merupakan penyebutan dari suku tetangga kepada suku Mee. Penyebutan Kapauku misalnya, merupakan pemberian dari suku Kamoro ketika kontak dengan para peneliti. Kata Ekari/Ekagi merupakan pemberian oleh suku Migani/Moni kepada suku Mee yang mendiami danau paniai dan sekitarnya. Tetapi terlepas dari semua itu, orang Mee menyambut mereka sebagai suku Mee yang dapat juga berarti suku Manusia.
Soelekidi (1939) menyatakan bahwa nama ekagi/ekari merupakan nama yang diberikan oleh suku Moni/Migani kepada suku Mee. Menurut Leopold (1963) bahwa sejak dulu suku Mee menyebut mereka sebagai Mee tetapi menurut kebiasaan suku-suku di Papua memberi nama lain kepada suku Mee (Titus Pekei, 2008:15). Lebih lanjut, mengacu lagi pada catatan Adatrechtbundesls bahwa adanya kebiasaan suku-suku di Papua untuk saling memberi nama tanpa perlu disetujui oleh suku yang bersangkutan dan juga terut menegaskan bahwa penduduk ekagi sendiri menyebut dirinya sendiri sebagai Mee.
Selain itu, de Bruijn (1955:325) mengklasifikasi bahwa nama Ekari atau Ekari berasal dari hasil pertemuannya dalam kemandora-Expreditie (Ferbuari 1939) yang ditemani oleh seorang kepala suku Zonggonau, suku Migani (Soalekigi) dari desa Kugapa. Pernyatan ini membenarkan bahwa nama Ekagi/Ekari diberikan oleh Suku Moni/Migani. Dari beberapa sumber di atas ini Prof Astrid S. Susanto dalam sambutannya di buku "Manusia Mee di Papua" kembali membenarkan bantahan Titus Pekei bahwa suku Mee bukan Kapauku, bukan pula Ekagi/Ekari, tetapi Mee.[1]
Dengan demikian jelas bahwa suku Mee bukan ekagi/ Ekari atau Kapauku tetapi karena kata "Mee" artinya manusia maka suku Mee dapat dipahami sebagai "Suku Manusia" yang merupakan suatu identias yang benar-benar menjadi bagian tidak terpisahkan dari manusia Mee sejak dulu dan sampai kapan pun. Sebutan-sebutan di atas ini hanya sapaan dari suku tetangga yang tentunya tidak bersifat mengikat terhadap identias Suku Mee itu sendiri.
Jika berbicara tentang sistem kepemimpinan tradisional di Papua maka Suku Mee sejak dahulu menggunakan sistem kepemimpinan pria  Berwibawa/Big man
Ketika kita mengacu pada beberapa sumber seperti Rosmaida (2014) dan Masoben (1995) maka kita akan menemukan bagian sub bab tertentu yang membahas tentang sistem kepemimpian tradisioan di Papua. Dalam kedua buku itu, disebutkan bahwa dari 4 sistem kepemimpinan tradisional di Papua, suku Mee masuk dalam suku yang menganut sistem kepemimpinan pria  berwibawa (Big man).
Dalam sistem kepemimpinan ini terdapat dua arena yang digunakan untuk merebut kedudukan pria berwibawa, yaitu  yang hubungan intern dan ekstern. Intern adalah usaha seseorang untuk memperoleh dan meningkatkan pengaruh serta keunggulannya didalam klen sendiri. Ekstern diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menjalin hubungan dengan pihak-pihak luar yang terdiri dari sekutu, bekas musuh, dan juga antara  pria berwibawa dari kalangan lain.
Ciri umum lain yang biasanya digunakan untuk membedakan sistem politik pria berwibawa dari sistem-sistem politik yang lain adalah pada sistem pria berwibawa tidak terdapat organisasi kerja dengan pembagian tugas di antara para pembantu dan pemimpin. Dalam kedudukan pemimpin harus didukung oleh atribut  kekayaan dan sikap yang murah hati. Selain itu adanya sikap yang harus dinyatakan melalui tindakan nyata, seperti memberikan sumbangan dalam bentuk nyata berupa benda (obyek) yang diberikan dan didalamnya terkandung unsur-unsur lain berupa unsur ekonomi, unsur religi, unsur hukum, unsur keindahan dan unsur politik.
Secara keseluruhan semuanya itu membentuk kekuatan pengikat dan sekaligus merupakan kekuatan pendorong bagi pihak penerima untuk melakukan sesuatu kembali secara langsung atau tidak langsung dalam bentuk benda atau jasa kepada pihak pemberi.
Dengan demikian dalam sistem kepimpinan pria berwibawa ini bukan hanya soal kekayaan (tonowi) tetapi juga terdapat unsur penunjang lain seperti pandai bertani, pandai berburu, pandai berdiplomasi, pandai berpidato, memiliki kekuatan magis, pandai memimpin upacara-upacara ritual dan berani memimpin perang.
Dan terlebih lagi ia tidak melakukan pencitraan tetapi dukungan dan kepercayaan itu akan muncul secara alamiah baik dalam internal suku maupun eksternal sehingga secara tidak langsung akan menobatkannya sebagai tonowi atau pria yang berwibawa dalam masyakat Mee di wilayah tertentu dan proses itu tidaklah mudah maka indikator-indikator seorang pria berwibawa di atas itu harus dipenuhi.
Suku Mee sejak dulu mengenal alat pembayaran uang (Mege) dan dikenal sebagai pebisnis. 
Suku Mee mengenal uang sebagai alat transaksi yang mereka sebut dengan "Mege". Mege sendiri berasal dari kerang atau kulit bia. Hasil penelitan  Leopol Pospisil menjelaskan bahwa masyarakat Mee memiliki pola hidup dua unsur budaya, yaitu sifat ekonomi dan memiliki etos kerja yang tinggi. Sifat ini  terlihat dalam realitas hidup orang Mee dengan mengenal sistem dagang sejak dulu, mata uang dan kehormatan dari komunitasnya melalui tidankan-tindakan konkret untuk mencapai "tonawi" (kaya) (Titus Pekei, 2008:32). Lebih lanjut Schooorl (1984:91) mengatakan bahwa penduduk Mee mengenal perdagangan yang dibayar dengan mege/uang dari kerang/bia. Itulah sebabnya, oleh Pospisil (1963) mengkategorikan suku Mee sebagai  Kapitalis-kapitalis kecil.
Saat ini satu persoalan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di wilayah suku Mee,  Titus Pekei dengan mengacu pada beberapa sumber, seperti Lucy Mair (165,1972) dan lain-lain mengatakan bahwa suku Mee masih berada pada tingkat dasar yakni social organization  dan belum mencapai ketahap political Commnunity tetapi uniknya  mengacu pada pendapat Lucy Mail (165,1972) bahwa  dalam ikatan social organization ini, suku Mee telah lama menghidupi sistem demokrasi dan nilai bernalar yang kini bagi banyak penduduk Indonesia hal itu seakan-akan merupakan nilai baru. Artinya, Manusia Mee talah menghidupi nila-nilai itu dalam masa yang cukup lama.
Dengan demikian maka seiring perkembangan zaman semoga social organization mendapat tempat sebagai pijakan untuk melangkah ketahap political Commnunity dengan memadukan nilai-nilai leluhur orang Mee dalam berpolitik untuk menjadikan mereka sebagai pebisnis sejatih yang sesuai dengan tonowi atau pria berwibawa. Konteks ini bukan hanya mengejar materi belaka tetapi berupa bantuan yang dinyatakan dalam tindakan kongkret dan bersedia menyalurkan bantuan tersebut dalam internal maupun eksternal komunitasnya. 
Dengan melihat latar belakang kehidupan suku Mee di atas ini maka tidak salah jika para peneliti menyebut Suku Mee sebagai Kapital-kapital kecil (suka berbisnis) di wilayah itu.
Suku Mee tidak mengenal Budaya menulis sebelum Belanda membuka daerah milik suku Mee. Satu hal lagi, mungkin belum  anda mengetahui  adalah salah satu kosa kata dalam bahasa Indonesa yang sang familiar dan mungkin sering anda dengar dan bahkan penah anda ucapkan tetapi belum mengetahui asal kata tersebut. Kata, apa ya?
Sumber: demianusgobai[image:Source]
Siapa sih yang tidak mengenal kata "Koteka" yang juga merupakan salah satu pakaian adat Papua.  Koteka dalam KBBI resmi edisi ke lima adalah penutup kemaluan laki-laki berbentuk lonjong panjang dan tebuat dari labu yang dikeringkan yang dipakai oleh beberapa suku di Papua.
Naa jika mengacu pada asal usul kata, maka kata "Koteka" itu diserap dari bahasa Mee yang mana serupa dengan ribuan  kosa kata serapan lainya dari berbagai bahasa daerah di Indonesia mau pun bahasa asing untuk dibakukan menjadi bahasa Indonesia.

Suku Mee memandang tanah sebagai Mama/ Ibu  yang turut memelihara dan memberi tempat dan makanan atas semua kehidupan.
Tanah adalah tempat dimana semua makluk hidup berpijak dan tumbuh berkembang. Tanah adalah sang pemberi pangan bagi semua yang hidup dan di atas tanah pula segala aktivitas berjalan. Itulah sebabnya, sejak zaman dahulu suku Mee memandang tanah sebagai Mama yang memberi kehidupan. Suku Mee tidak bisa dipisahkan dari tanahnya. Rasa keterikatan mereka dengan tanah masih sangat tinggi dari sejak lelurnya. Suku Mee memandang Tanah sebagai ibunda/Mama yang sangat peka, maka tanah mereka dilarang untuk diperjual belikan kepada orang luar Papua maupun dalam kalangan sendir, kecuali sebagai hak pakai tanah kosong dapat diperbolehkan (Titus Pekei,2008:185) [2].

Namun, hal yang tidak bisa dimungkiri adalah saat ini Suku Mee terbagi atas dua kelompok besar dalam hal memperlakukan tanah. Mereka yang memandang tanah sebagai sumber uang yang cepat dan praktis, menjual untuk mendapat uang dan mereka yang memegang erat nilai-nilai luhur orang Mee, bahwa "tanah sebagai mama" yang harus dijaga dan dirawat.
Pertanyaannya, dikelompok mana posisi anda saat ini?
Satu hal yang membedakan Suku Mee dari suku lainnya adalah mereka mengenal sosok yang menciptakan bumi serta seisinya dan menyebutnya dengan "Ugatame", bahkan sebelum ajaran agama nasrani/kristen masuk kewilayah suku Mee.

Ada kekaguman tersediri ketika mengetahui nilai-nilai ajaran suku Mee yang sejak lama berlangsung dan diwariskan secara turun-temurun tentang "Touye mana" atau yang dapat saya katakan di sini sebagai agama lokal suku Mee. Pandangan ini berbeda dengan Anemisme dan Dinamamisme. Artinya, meskipun manusia Mee mengenal sistem religi mereka juga mengenal Anemisme Dinamisme yang secara nyata terpisah dari sistem religi yang telah di percaya suku Mee.
Sebelum membaca buku karya Titus Pekei, saya sering mendengar ajaran kepercayaan akan Tuhan dari suku Mee dari bebera orang tua suku Mee tetapi masih bersifat labil maka dalam beberapa diskusi kecil-kecil yang sering kami lakukan, saya sering "berasumsi" bahwa nilai- nilai tersebut sangat menyerupai agama-agama monoteis yang telah mewarnai peradapan manusia, terutama Agama kristen.
Namun setelah membaca buku "Manusia Mee di Papua" di sana saya menemukan hal-hal tersebut diuraikan oleh Titus Pekei mulai dari halaman 127-138 yang tentunya menyangkut kepercayaan suku Mee. Di sana juga sang penulis memisahkan antara Kepercayaan Manusia Mee akan Tuhan (Ugatame) dan sistem Anemisme-Dinamisme yang dijalankan suku Mee yang  didalamnya mengandung 3 unsur yakni Magic Hitam, Putih dan Netral. Tapi, Magic ini mulai punah seiring agama kristen masuk di wialayah Mee. (Titus Pekei, 2008: 135). Dengan demikian penulis, turut memperjelas sistem kepercayaan yang dianut manusia Mee dan membedakan dengan tegas antara kedua sistem tersebut.
Hal ini sangat menarik, karena sebelum agama-agama besar masuk kewilayah suku tertentu, suku tersebut masih hidup dalam Anemisme dan Dinamisme yang kental. Suku Mee mengenal Sang Pencipta dengan berbagai nama tapi yang sering digunakan adalah "Ugatame" dan hal ini menjadi jelas bahwa suku Mee mengenal Ugatame yang dapat diartikan sebagai "sosok yang menuliskan/menciptakan alam raya berserta isinya" dan ajaran nilai-nilai kehidupan yang diwariskan, mereka sebuah sebagai "Touye Mana". Ajaran ini hampir serupa dengan ajaran kristen maka itulah sebabnya suku Mee menerima agama kristen yang datang dari luar tanpa protes karena pada dasarnya serupa dengan apa yang sudah ada dalam ajaran suku Mee [3]
Dengan demikian benar dan tidak salah dengan tindakan salah satu wahasiswa IPB yang bernama Natalis Tebai (facebook: Natto.Tebai) pada tahun 2009 penah memprotes Dosen agamanya karena menyebut agama kristen datang membahwa terang pada saat kita masih hidup dalam dunia takhayul. Ia protes, karena merasa bahwa suku Mee mengenal Sang Pencipta bahkan sebelum agama kristen masuk di wilayah suku Mee. Hal semacam inilah yang kembali di Pertegas Sang Penulis, Titus Pekei.
Namun sayangnya, saat ini dalam hal sistem kepercayaan suku Mee yang dijelaskan di atas ini generasi muda suku Mee sendiri menghancurkannya dengan berbagai tindakan yang tentunya bertentangan dengan nilai-nilai tersebut dan agama yang mereka anut dan jika proses itu masih berlangsung maka sangat disayangkan semua itu akan tenggelam dimana arus zaman.
Dengan demikian di akhir artikel ini saya harus memperjelas bawa Suku Mee dengan segala keunikannya perlu dikenal dan dikaji secara mendalam. Kajian itu untuk lebih mempertegas dan memperjelas eksistensi suku Mee sebagai manusia yang berkembang kearah yang lebih positif.
Apabila terdapat kekurangan silahkan dalam artikel ini maka tinggalkan komentar, Dihai akan segera memperbaikinya agar hal  serupa tidak terjadi pada dipengunjung berikutnya. Terima kasih.

Catatan kaki:
[1]Soal tanah berdarkan ajaran suku Mee bisa baca buku " Manusia Mee di Papua" karya Titus Pekei halaman 152-156.
[2]Soal Penamaan kapauku, Ekari /Ekagi lihat " Manusia Mee di Papua" karya Titus Pekei halaman 184-190.
[3] Soal sebutan nama Sang Pencpta dan Kepercayan Suku Mee bisa liha Manusia Mee di Papua,  Titus Pekei, hal 128-138
Catatan: Sumber foto pada pembuka artikel ini diambil dari dinding akun facebook bernama:  Kei Tai.
 
 
Diambil dari http://www.dihaimoma.com
Share:

0 comments:

Me

Me

Followers

Postingan saya di Wordpress

Yikwagwe Post