Selamat berkunjung gan dan can. Apa kabar ni? Semoga sehat selalu ya!
Oyah, harapan saya semoga sobat sekalian tidak lelah berkunjung di blog
ngawur ini dan juga bersedia memberikan masukan dan pendapat kepada
Dihai untuk menyediakan konten yang lebih informatif dan edukatif.
Naa pada postingan kali ini Dihaimoma.com akan berbagi 6 fakta seputar
suku Mee di Papua yang mungkin belum anda ketahui. Penulisan artikel ini
terinspirasi dan mengacu pada tiga buku sumber utama yakni buku
"Manusia Mee di Papua (2008)" karya Titus Pekei, Buku "Masa Kuasa
Belanda di Papua (2014)" yang di tulis Rosmaida Sinaga dan juga
Mansoben, "Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya (1995)"yang tentunya
banyak dikutip oleh Rosmaida Sinaga.
Dalam penulisannya, Dihai akan berusaha mengaitkan fakta-fakta tersebut
dengan kondisi kehidupan suku Mee saat ini. Terutama tentang ajaran
nilai-nilai kehidupan bisa dikatakan sampai saat ini masih relevan namun
mulai terkikis oleh arus zaman. Dengan demikian berikut ini pemaparan 6
fakta tersebut, selamat membaca.
Sejak dahulu Suku Mee menyebut mereka sebagai Mee yang berarti
manusia tetapi para ilmuan yang terlebih dulu meneliti tentang Suku Mee
menggunakan Istilah Kapauku, Ekagi/ Ekeri untuk menyebut suku Mee
Setelah melakukan pencarian dengan kata kunci Ekagi/Ekari dan Kapauku,
ternyata nama-nama ini sudah dikenal secara luas. Bahkan saya menemukan
berbagai jurnal dan buku di beberapa universitas ternama seperti "The Kapauku Papuans and Their Kinship Organization (1960) Universitas Sydney", "South Coast Nieuguinea Cultures" yang diterbitkan Cambridge university Press(1993) atau pun juga dalam paper "Kapauku Papuan Economy (1972)" yang diterbitkan Yale university dan saat ini dijual di amazon dengan harga $ 11.99. Bukan hanya itu dalam kamus encyclopedia, definisnya pun masih menggunakan Kapauku, coba cek: Kapauku encyclopedia dan masih banyak lagi.
Namun Faktanya, sejak dulu Suku Mee menyebut mereka sebagai Mee. Kata
Mee sendiri berarti "manusia" yang mana oleh Titus Pekei (2008:1)
menyebut bahwa manusia Mee (Mee tuma) atau Manusia sejati (Makodo Mee).
Namun tidak dapat dimungkiri bahwa penyebutan suku Mee dengan sebutan
"Kapauku","Ekari" atau "Ekagi" telah dikenal sampai ke manca negara.
Terutama di kalangan para akademisi dan juga dikalangan para ilmuan
bekaliber Intenasional tetapi yang sangat saya kagumi bahwa semua
penyebutan yang tidak sesuai dengan nilai leluhur suku Mee itu dibantah
dengan hormat oleh Titus Pekei dalam bukunya yang berjudul "Manusia Mee di Papua".
Beliau kembali memperjelas bahwa penyebutan Kapauku, Ekari/Ekagi tidak
pernah ada di Papua terutama di wilayah Mee karena kata-kata itu hanya
merupakan penyebutan dari suku tetangga kepada suku Mee. Penyebutan Kapauku misalnya, merupakan pemberian dari suku Kamoro ketika kontak dengan para peneliti. Kata Ekari/Ekagi merupakan pemberian oleh suku Migani/Moni kepada
suku Mee yang mendiami danau paniai dan sekitarnya. Tetapi terlepas
dari semua itu, orang Mee menyambut mereka sebagai suku Mee yang dapat
juga berarti suku Manusia.
Soelekidi (1939) menyatakan bahwa nama ekagi/ekari merupakan nama yang
diberikan oleh suku Moni/Migani kepada suku Mee. Menurut Leopold (1963)
bahwa sejak dulu suku Mee menyebut mereka sebagai Mee tetapi menurut
kebiasaan suku-suku di Papua memberi nama lain kepada suku Mee (Titus
Pekei, 2008:15). Lebih lanjut, mengacu lagi pada catatan
Adatrechtbundesls bahwa adanya kebiasaan suku-suku di Papua untuk saling
memberi nama tanpa perlu disetujui oleh suku yang bersangkutan dan juga
terut menegaskan bahwa penduduk ekagi sendiri menyebut dirinya sendiri
sebagai Mee.
Selain itu, de Bruijn (1955:325) mengklasifikasi bahwa nama Ekari atau Ekari berasal dari hasil pertemuannya dalam kemandora-Expreditie (Ferbuari 1939) yang ditemani oleh seorang kepala suku Zonggonau, suku Migani (Soalekigi) dari desa Kugapa. Pernyatan
ini membenarkan bahwa nama Ekagi/Ekari diberikan oleh Suku Moni/Migani.
Dari beberapa sumber di atas ini Prof Astrid S. Susanto dalam
sambutannya di buku "Manusia Mee di Papua" kembali membenarkan bantahan
Titus Pekei bahwa suku Mee bukan Kapauku, bukan pula Ekagi/Ekari, tetapi
Mee.[1]
Dengan demikian jelas bahwa suku Mee bukan ekagi/ Ekari atau Kapauku
tetapi karena kata "Mee" artinya manusia maka suku Mee dapat dipahami
sebagai "Suku Manusia" yang merupakan suatu identias yang benar-benar
menjadi bagian tidak terpisahkan dari manusia Mee sejak dulu dan sampai
kapan pun. Sebutan-sebutan di atas ini hanya sapaan dari suku tetangga
yang tentunya tidak bersifat mengikat terhadap identias Suku Mee itu
sendiri.
Jika berbicara tentang sistem kepemimpinan tradisional di Papua maka
Suku Mee sejak dahulu menggunakan sistem kepemimpinan pria Berwibawa/Big man
Ketika kita mengacu pada beberapa sumber seperti Rosmaida (2014) dan
Masoben (1995) maka kita akan menemukan bagian sub bab tertentu yang
membahas tentang sistem kepemimpian tradisioan di Papua. Dalam kedua
buku itu, disebutkan bahwa dari 4 sistem kepemimpinan tradisional di
Papua, suku Mee masuk dalam suku yang menganut sistem kepemimpinan pria
berwibawa (Big man).
Dalam sistem kepemimpinan ini terdapat dua arena yang digunakan untuk
merebut kedudukan pria berwibawa, yaitu yang hubungan intern dan
ekstern. Intern adalah usaha seseorang untuk memperoleh dan meningkatkan
pengaruh serta keunggulannya didalam klen sendiri. Ekstern diartikan
sebagai keberhasilan seseorang untuk menjalin hubungan dengan
pihak-pihak luar yang terdiri dari sekutu, bekas musuh, dan juga antara
pria berwibawa dari kalangan lain.
Ciri umum lain yang biasanya digunakan untuk membedakan sistem politik
pria berwibawa dari sistem-sistem politik yang lain adalah pada sistem
pria berwibawa tidak terdapat organisasi kerja dengan pembagian tugas di
antara para pembantu dan pemimpin. Dalam kedudukan pemimpin harus
didukung oleh atribut kekayaan dan sikap yang murah hati. Selain itu
adanya sikap yang harus dinyatakan melalui tindakan nyata, seperti
memberikan sumbangan dalam bentuk nyata berupa benda (obyek) yang
diberikan dan didalamnya terkandung unsur-unsur lain berupa unsur
ekonomi, unsur religi, unsur hukum, unsur keindahan dan unsur politik.
Secara keseluruhan semuanya itu membentuk kekuatan pengikat dan
sekaligus merupakan kekuatan pendorong bagi pihak penerima untuk
melakukan sesuatu kembali secara langsung atau tidak langsung dalam
bentuk benda atau jasa kepada pihak pemberi.
Dengan demikian dalam sistem kepimpinan pria berwibawa ini bukan hanya
soal kekayaan (tonowi) tetapi juga terdapat unsur penunjang lain seperti
pandai bertani, pandai berburu, pandai berdiplomasi, pandai berpidato,
memiliki kekuatan magis, pandai memimpin upacara-upacara ritual dan
berani memimpin perang.
Dan terlebih lagi ia tidak melakukan pencitraan tetapi dukungan dan
kepercayaan itu akan muncul secara alamiah baik dalam internal suku
maupun eksternal sehingga secara tidak langsung akan menobatkannya
sebagai tonowi atau pria yang berwibawa dalam masyakat Mee di wilayah
tertentu dan proses itu tidaklah mudah maka indikator-indikator seorang
pria berwibawa di atas itu harus dipenuhi.
Suku Mee sejak dulu mengenal alat pembayaran uang (Mege) dan dikenal sebagai pebisnis.
Suku Mee mengenal uang sebagai alat transaksi yang mereka sebut dengan
"Mege". Mege sendiri berasal dari kerang atau kulit bia. Hasil
penelitan Leopol Pospisil menjelaskan bahwa masyarakat Mee memiliki
pola hidup dua unsur budaya, yaitu sifat ekonomi dan memiliki etos kerja
yang tinggi. Sifat ini terlihat dalam realitas hidup orang Mee dengan
mengenal sistem dagang sejak dulu, mata uang dan kehormatan dari
komunitasnya melalui tidankan-tindakan konkret untuk mencapai "tonawi"
(kaya) (Titus Pekei, 2008:32). Lebih lanjut Schooorl (1984:91)
mengatakan bahwa penduduk Mee mengenal perdagangan yang dibayar dengan mege/uang dari kerang/bia. Itulah sebabnya, oleh Pospisil (1963) mengkategorikan suku Mee sebagai Kapitalis-kapitalis kecil.
Saat ini satu persoalan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di wilayah
suku Mee, Titus Pekei dengan mengacu pada beberapa sumber, seperti
Lucy Mair (165,1972) dan lain-lain mengatakan bahwa suku Mee masih
berada pada tingkat dasar yakni social organization dan belum mencapai ketahap political Commnunity tetapi uniknya mengacu pada pendapat Lucy Mail (165,1972) bahwa dalam ikatan social organization ini,
suku Mee telah lama menghidupi sistem demokrasi dan nilai bernalar yang
kini bagi banyak penduduk Indonesia hal itu seakan-akan merupakan nilai
baru. Artinya, Manusia Mee talah menghidupi nila-nilai itu dalam masa
yang cukup lama.
Dengan demikian maka seiring perkembangan zaman semoga social organization mendapat tempat sebagai pijakan untuk melangkah ketahap political Commnunity dengan
memadukan nilai-nilai leluhur orang Mee dalam berpolitik untuk
menjadikan mereka sebagai pebisnis sejatih yang sesuai dengan tonowi
atau pria berwibawa. Konteks ini bukan hanya mengejar materi belaka
tetapi berupa bantuan yang dinyatakan dalam tindakan kongkret dan
bersedia menyalurkan bantuan tersebut dalam internal maupun eksternal
komunitasnya.
Dengan melihat latar belakang kehidupan suku Mee di atas ini maka tidak
salah jika para peneliti menyebut Suku Mee sebagai Kapital-kapital kecil
(suka berbisnis) di wilayah itu.
Suku Mee tidak mengenal Budaya menulis sebelum Belanda membuka daerah
milik suku Mee. Satu hal lagi, mungkin belum anda mengetahui adalah
salah satu kosa kata dalam bahasa Indonesa yang sang familiar dan
mungkin sering anda dengar dan bahkan penah anda ucapkan tetapi belum
mengetahui asal kata tersebut. Kata, apa ya?
Sumber: demianusgobai[image:Source] |
Siapa sih yang tidak mengenal kata "Koteka" yang juga merupakan
salah satu pakaian adat Papua. Koteka dalam KBBI resmi edisi ke lima
adalah penutup kemaluan laki-laki berbentuk lonjong panjang dan tebuat
dari labu yang dikeringkan yang dipakai oleh beberapa suku di Papua.
Naa jika mengacu pada asal usul kata, maka kata "Koteka" itu diserap
dari bahasa Mee yang mana serupa dengan ribuan kosa kata serapan lainya
dari berbagai bahasa daerah di Indonesia mau pun bahasa asing untuk
dibakukan menjadi bahasa Indonesia.
Suku Mee memandang tanah sebagai Mama/ Ibu yang turut memelihara dan memberi tempat dan makanan atas semua kehidupan.
Tanah adalah tempat dimana semua makluk hidup berpijak dan tumbuh
berkembang. Tanah adalah sang pemberi pangan bagi semua yang hidup dan
di atas tanah pula segala aktivitas berjalan. Itulah sebabnya, sejak
zaman dahulu suku Mee memandang tanah sebagai Mama yang memberi
kehidupan. Suku Mee tidak bisa dipisahkan dari tanahnya. Rasa
keterikatan mereka dengan tanah masih sangat tinggi dari sejak lelurnya.
Suku Mee memandang Tanah sebagai ibunda/Mama yang sangat peka, maka
tanah mereka dilarang untuk diperjual belikan kepada orang luar Papua
maupun dalam kalangan sendir, kecuali sebagai hak pakai tanah kosong
dapat diperbolehkan (Titus Pekei,2008:185) [2].
Namun, hal yang tidak bisa dimungkiri adalah saat ini Suku Mee terbagi
atas dua kelompok besar dalam hal memperlakukan tanah. Mereka yang
memandang tanah sebagai sumber uang yang cepat dan praktis, menjual
untuk mendapat uang dan mereka yang memegang erat nilai-nilai luhur
orang Mee, bahwa "tanah sebagai mama" yang harus dijaga dan dirawat.
Pertanyaannya, dikelompok mana posisi anda saat ini?
Satu hal yang membedakan Suku Mee dari suku lainnya adalah mereka
mengenal sosok yang menciptakan bumi serta seisinya dan menyebutnya
dengan "Ugatame", bahkan sebelum ajaran agama nasrani/kristen masuk
kewilayah suku Mee.
Ada kekaguman tersediri ketika mengetahui nilai-nilai ajaran suku Mee
yang sejak lama berlangsung dan diwariskan secara turun-temurun tentang
"Touye mana" atau yang dapat saya katakan di sini sebagai agama lokal
suku Mee. Pandangan ini berbeda dengan Anemisme dan Dinamamisme.
Artinya, meskipun manusia Mee mengenal sistem religi mereka juga
mengenal Anemisme Dinamisme yang secara nyata terpisah dari sistem
religi yang telah di percaya suku Mee.
Sebelum membaca buku karya Titus Pekei, saya sering mendengar ajaran
kepercayaan akan Tuhan dari suku Mee dari bebera orang tua suku Mee
tetapi masih bersifat labil maka dalam beberapa diskusi kecil-kecil yang
sering kami lakukan, saya sering "berasumsi" bahwa nilai- nilai
tersebut sangat menyerupai agama-agama monoteis yang telah mewarnai
peradapan manusia, terutama Agama kristen.
Namun setelah membaca buku "Manusia Mee di Papua" di sana saya menemukan
hal-hal tersebut diuraikan oleh Titus Pekei mulai dari halaman 127-138
yang tentunya menyangkut kepercayaan suku Mee. Di sana juga sang penulis
memisahkan antara Kepercayaan Manusia Mee akan Tuhan (Ugatame) dan
sistem Anemisme-Dinamisme yang dijalankan suku Mee yang didalamnya
mengandung 3 unsur yakni Magic Hitam, Putih dan Netral. Tapi, Magic ini
mulai punah seiring agama kristen masuk di wialayah Mee. (Titus Pekei,
2008: 135). Dengan demikian penulis, turut memperjelas sistem
kepercayaan yang dianut manusia Mee dan membedakan dengan tegas antara
kedua sistem tersebut.
Hal ini sangat menarik, karena sebelum agama-agama besar masuk kewilayah
suku tertentu, suku tersebut masih hidup dalam Anemisme dan Dinamisme
yang kental. Suku Mee mengenal Sang Pencipta dengan berbagai nama tapi
yang sering digunakan adalah "Ugatame" dan hal ini menjadi jelas bahwa
suku Mee mengenal Ugatame yang dapat diartikan sebagai "sosok yang menuliskan/menciptakan alam raya berserta isinya" dan ajaran nilai-nilai kehidupan yang diwariskan, mereka sebuah sebagai "Touye Mana".
Ajaran ini hampir serupa dengan ajaran kristen maka itulah sebabnya
suku Mee menerima agama kristen yang datang dari luar tanpa protes
karena pada dasarnya serupa dengan apa yang sudah ada dalam ajaran suku
Mee [3]
Dengan demikian benar dan tidak salah dengan tindakan salah satu wahasiswa IPB yang bernama Natalis Tebai (facebook: Natto.Tebai)
pada tahun 2009 penah memprotes Dosen agamanya karena menyebut agama
kristen datang membahwa terang pada saat kita masih hidup dalam dunia
takhayul. Ia protes, karena merasa bahwa suku Mee mengenal Sang Pencipta
bahkan sebelum agama kristen masuk di wilayah suku Mee. Hal semacam
inilah yang kembali di Pertegas Sang Penulis, Titus Pekei.
Namun sayangnya, saat ini dalam hal sistem kepercayaan suku Mee yang
dijelaskan di atas ini generasi muda suku Mee sendiri menghancurkannya
dengan berbagai tindakan yang tentunya bertentangan dengan nilai-nilai
tersebut dan agama yang mereka anut dan jika proses itu masih
berlangsung maka sangat disayangkan semua itu akan tenggelam dimana arus
zaman.
Dengan demikian di akhir artikel ini saya harus memperjelas bawa Suku
Mee dengan segala keunikannya perlu dikenal dan dikaji secara mendalam.
Kajian itu untuk lebih mempertegas dan memperjelas eksistensi suku Mee
sebagai manusia yang berkembang kearah yang lebih positif.
Apabila terdapat kekurangan silahkan dalam artikel ini maka tinggalkan
komentar, Dihai akan segera memperbaikinya agar hal serupa tidak
terjadi pada dipengunjung berikutnya. Terima kasih.
Catatan kaki:
[1]Soal tanah berdarkan ajaran suku Mee bisa baca buku " Manusia Mee di Papua" karya Titus Pekei halaman 152-156.
[2]Soal Penamaan kapauku, Ekari /Ekagi lihat " Manusia Mee di Papua" karya Titus Pekei halaman 184-190.
[3] Soal sebutan nama Sang Pencpta dan Kepercayan Suku Mee bisa liha Manusia Mee di Papua, Titus Pekei, hal 128-138
Catatan: Sumber foto pada pembuka artikel ini diambil dari dinding akun facebook bernama: Kei Tai.
Diambil dari http://www.dihaimoma.com
0 comments:
Post a Comment