Jayapura, – Kasus prajurit TNI menyiksa warga sipil Papua telah berulang kali terjadi, sebagaimana yang terlihat dalam video viral penyiksaan warga sipil Kabupaten Puncak oleh sejumlah terduga prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya. Penegakan hukum yang keras dan tegas, serta evaluasi penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua, mendesak dilakukan.
Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey mengatakan sejak 2020 Komnas HAM Papua telah menangani beberapa kasus dugaan penyiksaan yang dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil. “Dalam pengalaman Komnas HAM di Papua [kasus penyiksaan terhadap warga sipil] bukan yang pertama kali terjadi di Papua,” ujar Ramandey di Kota Jayapura, Papua, pada Senin (25/3/2024).
Ramandey mencontohkan kasus penyiksaan dan pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah, pada September 2020. Ia juga menyebut kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas di Merauke pada Juli 2021.
Pada tahun 2022, Komnas HAM Papua juga menangani kasus penyiksaan warga sipil di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan, serta kasus penyiksaan tujuh anak di Kabupaten Puncak. Ada pula kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, juga kasus penyiksaan tiga anak di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua.
Ramandey mengatakan dari kasus-kasus yang ditangani Komnas HAM menunjukan penyiksaan yang dialami warga sipil itu sangat brutal, tidak manusiawi dan melanggar Hak Asasi Manusia. Menurut Ramandey metode penyiksaan hampir mirip digunakan ABRI pada masa rezim Orde Baru.
“Di dalam markas-markas satuan tugas [kesatuan TNI dari luar Papua yang tengah menjalani] Bawah Kendali Operasi, cenderung melakukan penyiksaan berulang-ulang. [Modus] yang dipakai [adalah] modus rezim Orde Baru, menggunakan drum, orang diikat, tidak berdaya, sehingga [pelaku] dengan sangat bebas melakukan penyiksaan,” katanya.
Ramandey mengatakan penyiksaan ini hanya akan memperpanjang siklus kekerasan yang terjadi di Papua. Ramandey mengatakan para prajurit TNI yang bertugas di Papua harus diberikan pembekalan yang baik mengenai HAM. Selain itu para prajurit yang terlibat dalam kasus penyiksaan harus diproses hukum secara tuntas.
“Kalau tidak siklus kekerasan itu terus berulang, karena [penyiksaan yang terjadi] akan menimbulkan kebencian, dendam, kemarahan. Itu juga menjadi fakta [bahwa prajurit TNI] yang ditugaskan ke Papua itu [harus] diberi pembekalan yang baik,” kata Ramandey.
Ramandey mengatakan harus ada evaluasi atas penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua. Ia juga meminta evaluasi atas penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua di Bawah Kendali Operasi (BKO) Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III. Menurut Ramandey, pasukan TNI dari luar Tanah Papua lebih baik ditempatkan di bawah kendali Komandan Daerah Militer (Kodam) setempat.
Ramandey meyakini konflik Papua hanya bisa diselesaikan dengan baik melalui dialog damai. Ia mengatakan Negara harus berani membuka ruang dialog damai tersebut, termasuk dialog kemanusiaan yang pernah didorong Komnas HAM pada 2023.
“Tidak ada mekanisme lain dalam penyelesaian konflik, karena sampai hari ini dunia hanya mengaku satu mekanisme, yaitu mekanisme dialog. Kalau TPNPB dibunuh habis, itu akan menimbulkan masalah hukum, dan anak-anaknya akan dendam. Negara harus membuka ruang itu supaya orang-orang baik TPNPB, mereka diberi ruang untuk duduk bicara,” ujarnya.
Berulang karena impunitas
Dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu (23/3/2024), Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan hak setiap orang untuk terbebas dari penyiksaan adalah bagian dari norma-norma yang diakui dan ditaati secara internasional (peremptory norms atau jus cogens). Usman mengatakan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 20 terhadap Pasal 7 ICCPR telah menegaskan tidak seorang pun dapat dikenai praktik penyiksaan/perlakuan/penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dalam keadaan apapun.
“Tidak seorangpun di dunia ini, termasuk di Papua, boleh diperlakukan tidak manusiawi dan merendahkan martabat, apalagi sampai menimbulkan hilangnya nyawa,” tulis Usman.
Usman mengatakan larangan terhadap praktik penyiksaan juga telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Tortureand Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). “Keseluruhan aturan tersebut semakin menegaskan bahwa tidak seorang pun patut disiksa atas alasan apapun,” tegas Usman.
Usman meminta TNI mengevaluasi penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua. Usman menilai selama ini penempatan pasukan dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua telah menimbulkan jatuhnya korban dari warga sipil di Papua.
Dari catatan Jubi, prajurit TNI diduga berulang kali terlibat penyiksaan terhadap warga sipil di Papua. Pada 22 Februari 2022, prajurit TNI menganiaya tujuh anak di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, setelah prajurit Batalyon Infanteri Mekanis 521/Dadaha Yodha, Prada Kristian Sandi Alviando kehilangan senjata SS2 di hanggar PT Modern, Bandara Tapulunik Sinak, Kabupaten Puncak. Tujuh anak yang mengalami penyiksaan yaitu Deson Murib, Makilon Tabuni, Pingki Wanimbo, Waiten Murib, Aton Murib, Elison Murib, dan Murtal Kulua. Makilon Tabuni kemudian meninggal dunia.
Pada 22 Agustus 2022, sejumlah prajurit TNI membunuh dan memutilasi empat warga Nduga di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika. Keempat korban pembunuhan dan mutilasi itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.
Pada 28 Agustus 2022, prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang diduga menangkap dan menganiaya empat orang warga yang mabuk di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan. Keempat warga yang ditangkap karena mabuk itu adalah Amsal Pius Yimsimem, Korbinus Yamin, Lodefius Tikamtahae, dan Saferius Yame. Komnas HAM Papu menyatakan bahwa keempat warga itu juga mengalami penganiayaan sejak jam 23.00 – 03.00 WP, sehingga mengalami luka di sekujur tubuh mereka.
Pada 30 Agustus 2022, prajurit yang bertugas di Pos Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi diduga melakukan penganiayaan yang menyebabkan Bruno Amenim Kimko meninggal dunia, dan Yohanis Kanggun luka berat. Sejumlah 18 prajurit Satuan Tugas Batalion Infanteri Raider 600/Modang menjadi tersangka dalam kasus itu.
Pada 27 Oktober 2022, tiga anak di Kabupaten Keerom yaitu Rahmat Paisei (15) bersama Bastian Bate (13), dan Laurents Kaung (11) diduga dianiayai di parjurit TNI di Pos Satuan Tugas (Satgas) Damai Cartenz, Jalan Maleo, Kampung Yuwanain, Arso II, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua. Ketiga anak itu dianiayai menggunakan rantai, gulungan kawat dan selang air, hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Pada 22 Februari 2023, prajurit TNI Angkatan Laut – AL di Pos Lantamal X1 Ilwayap diduga menganiaya warga bernama Albertus Kaize dan Daniel Kaize di Posal Lantamal XI di Kampung Wogikel, Distrik Ilwayap, Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Akibat penganiayaan tersebut korban Albertus Kaize meninggal dunia.
Usman mengkritik praktik impunitas terhadap para terduga pelaku berbagai kasus terdahulu telah menyebabkan kasus penyiksaan warga sipil oleh prajurit TNI terjadi berulang kali dan selalu berulang. “Tindakan itu bisa terulang karena selama ini tidak ada penghukuman atas anggota yang terbukti melakukan kejahatan penculikan, penyiksaan, hingga penghilangan nyawa,” ujarnya. (*)
Penulis: Theo Kelen -
Editor: Aryo Wisanggeni G
Sumber : jubi.id
0 comments:
Post a Comment