Coretan & Berbagi Informasi

Showing posts with label Diskriminasi Hukum. Show all posts
Showing posts with label Diskriminasi Hukum. Show all posts

Wednesday, March 27, 2024

Berulang kali terjadi, kasus prajurit TNI siksa warga Papua


 

Jayapura,  – Kasus prajurit TNI menyiksa warga sipil Papua telah berulang kali terjadi, sebagaimana yang terlihat dalam video viral penyiksaan warga sipil Kabupaten Puncak oleh sejumlah terduga prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya. Penegakan hukum yang keras dan tegas, serta evaluasi penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua, mendesak dilakukan. 


Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey mengatakan sejak 2020 Komnas HAM Papua telah menangani beberapa kasus dugaan penyiksaan yang dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil. “Dalam pengalaman Komnas HAM di Papua [kasus penyiksaan terhadap warga sipil] bukan yang pertama kali terjadi di Papua,” ujar Ramandey di Kota Jayapura, Papua, pada Senin (25/3/2024).

Ramandey mencontohkan kasus penyiksaan dan pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah, pada September 2020. Ia juga menyebut kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas di Merauke pada Juli 2021.

Pada tahun 2022, Komnas HAM Papua juga menangani kasus penyiksaan warga sipil di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan, serta kasus penyiksaan tujuh anak di Kabupaten Puncak. Ada pula kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, juga kasus penyiksaan tiga anak di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. 

Ramandey mengatakan dari kasus-kasus yang ditangani Komnas HAM menunjukan penyiksaan yang dialami warga sipil itu sangat brutal, tidak manusiawi dan melanggar Hak Asasi Manusia. Menurut Ramandey metode penyiksaan hampir mirip digunakan ABRI pada masa rezim Orde Baru.

“Di dalam markas-markas satuan tugas [kesatuan TNI dari luar Papua yang tengah menjalani] Bawah Kendali Operasi,  cenderung melakukan penyiksaan berulang-ulang. [Modus] yang dipakai [adalah] modus rezim Orde Baru, menggunakan drum, orang diikat, tidak berdaya, sehingga [pelaku] dengan sangat bebas melakukan penyiksaan,” katanya.

Ramandey mengatakan penyiksaan ini hanya akan memperpanjang siklus kekerasan yang terjadi di Papua. Ramandey mengatakan para prajurit TNI yang bertugas di Papua harus diberikan pembekalan yang baik mengenai HAM. Selain itu para prajurit yang terlibat dalam kasus penyiksaan harus diproses hukum secara tuntas. 

Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey (tengah) bersama Ketua Tim Pemantauan dan Penyuluhan Komnas HAM Papua, Melchior S Weruin (kiri) dan Analis Pelanggaran HAM, Muhamad Ridwan Herdika (kanan) saat memberikan keterangan di Kota Jayapura, Papua, pada Sabtu (23/3/2024) terkait kasus penyiksaan yang dilakukan prajurit TNI di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. – Jubi/Theo Kelen

“Kalau tidak siklus kekerasan itu terus berulang, karena [penyiksaan yang terjadi] akan menimbulkan kebencian, dendam, kemarahan. Itu juga menjadi fakta [bahwa prajurit TNI] yang ditugaskan ke Papua itu [harus] diberi pembekalan yang baik,” kata Ramandey.

Ramandey mengatakan harus ada evaluasi atas penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua. Ia juga meminta evaluasi atas penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua di Bawah Kendali Operasi (BKO) Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III. Menurut Ramandey, pasukan TNI dari luar Tanah Papua lebih baik ditempatkan di bawah kendali Komandan Daerah Militer (Kodam) setempat.

Ramandey meyakini konflik Papua hanya bisa diselesaikan dengan baik  melalui dialog damai. Ia mengatakan Negara harus berani membuka ruang dialog damai tersebut, termasuk dialog kemanusiaan yang pernah didorong Komnas HAM pada 2023.

“Tidak ada mekanisme lain dalam penyelesaian konflik, karena sampai hari ini dunia hanya mengaku satu mekanisme, yaitu mekanisme dialog. Kalau TPNPB dibunuh habis, itu akan menimbulkan masalah hukum, dan anak-anaknya akan dendam. Negara harus membuka ruang itu supaya orang-orang baik TPNPB, mereka diberi ruang untuk duduk bicara,” ujarnya.

Berulang karena impunitas

Dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu (23/3/2024), Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan hak setiap orang untuk terbebas dari penyiksaan adalah bagian dari norma-norma yang diakui dan ditaati secara internasional (peremptory norms atau jus cogens). Usman mengatakan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 20 terhadap Pasal 7 ICCPR telah menegaskan tidak seorang pun dapat dikenai praktik penyiksaan/perlakuan/penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dalam keadaan apapun. 

“Tidak seorangpun di dunia ini, termasuk di Papua, boleh diperlakukan tidak manusiawi dan merendahkan martabat, apalagi sampai menimbulkan hilangnya nyawa,” tulis Usman.

Usman mengatakan larangan terhadap praktik penyiksaan juga telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Tortureand Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).  “Keseluruhan aturan tersebut semakin menegaskan bahwa tidak seorang pun patut disiksa atas alasan apapun,” tegas Usman.  


Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. – IST

Usman meminta TNI mengevaluasi penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua. Usman menilai selama ini penempatan pasukan dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua telah menimbulkan jatuhnya korban dari warga sipil di Papua.

Dari catatan Jubi, prajurit TNI diduga berulang kali terlibat penyiksaan terhadap warga sipil di Papua. Pada 22 Februari 2022, prajurit TNI menganiaya tujuh anak di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, setelah prajurit Batalyon Infanteri Mekanis 521/Dadaha Yodha, Prada Kristian Sandi Alviando kehilangan senjata SS2 di hanggar PT Modern, Bandara Tapulunik Sinak, Kabupaten Puncak. Tujuh anak yang mengalami penyiksaan yaitu Deson Murib, Makilon Tabuni, Pingki Wanimbo, Waiten Murib, Aton Murib, Elison Murib, dan Murtal Kulua. Makilon Tabuni kemudian meninggal dunia.

Pada 22 Agustus 2022, sejumlah prajurit TNI  membunuh dan memutilasi empat warga Nduga di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika. Keempat korban pembunuhan dan mutilasi itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.

Pada 28 Agustus 2022, prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang diduga menangkap dan menganiaya empat orang warga yang mabuk di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan. Keempat warga yang ditangkap karena mabuk itu adalah Amsal Pius Yimsimem, Korbinus Yamin, Lodefius Tikamtahae, dan  Saferius Yame. Komnas HAM Papu menyatakan bahwa keempat warga itu juga mengalami penganiayaan sejak jam 23.00 – 03.00 WP, sehingga mengalami luka di sekujur tubuh mereka. 

Pada 30 Agustus 2022, prajurit yang bertugas di Pos Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi diduga melakukan penganiayaan yang menyebabkan Bruno Amenim Kimko meninggal dunia, dan Yohanis Kanggun luka berat. Sejumlah 18 prajurit Satuan Tugas Batalion Infanteri Raider 600/Modang menjadi tersangka dalam kasus itu.

Pada 27 Oktober 2022, tiga anak di Kabupaten Keerom yaitu Rahmat Paisei (15) bersama Bastian Bate (13), dan Laurents Kaung (11) diduga dianiayai di parjurit TNI di Pos Satuan Tugas (Satgas) Damai Cartenz, Jalan Maleo, Kampung Yuwanain, Arso II, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua. Ketiga anak itu dianiayai menggunakan rantai, gulungan kawat dan selang air, hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit. 

Pada 22 Februari 2023, prajurit TNI Angkatan Laut – AL di Pos Lantamal X1 Ilwayap diduga menganiaya warga bernama Albertus Kaize dan Daniel Kaize di Posal Lantamal XI di Kampung Wogikel, Distrik Ilwayap, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.  Akibat penganiayaan tersebut korban Albertus Kaize meninggal dunia.

Usman mengkritik praktik impunitas terhadap para terduga pelaku berbagai kasus terdahulu telah menyebabkan kasus penyiksaan warga sipil oleh prajurit TNI terjadi berulang kali dan selalu berulang. “Tindakan itu bisa terulang karena selama ini tidak ada penghukuman atas anggota yang terbukti melakukan kejahatan penculikan, penyiksaan, hingga penghilangan nyawa,” ujarnya. (*) 



Penulis: Theo Kelen 

Editor: Aryo Wisanggeni G

Sumber : jubi.id


Share:

Tuesday, October 17, 2017

Diskriminasi Hukum Indonesia Di Papua

 

Indonesia adalah Negara hukum yang bersandar pada undang-undang dasar tahun 1945 dan menganut system demokrasi. Hukum di Indonesia berfungsi untuk menghukum atau memberikan sanksi kepada siapa saja yang melanggar tanpa membeda-bedakan dari status politik, status ekonomi, status social sang pelanggar. Atau hukum tidak perna memandang pelanggar hukum dari statusnya sebagai anak kandung, sebagai anak angkat, sebagai ayah kandung, ayah angkat dan lain sebagainya. Dan disisi lain, hukum berfungsi untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat merugikan serta membahayakan orang lain (publik).

Sebagai Negara hukum yang menganut system demokrasi, sebagaimana kita ketahui bahwa hukum adalah kekuasaan tertinggi di indonesia, dan kedaulatan tertinggi Indonesia adalah rakyat. Dengan demikian, di depan hukum, semua yang berkewarga negaraan Indonesia sama.

Dasar Negara kesatuan rapublik Indonesia yang tersusun empat alinea itu ditambah bergundang pasal hukum di negara ini tidak berfungsi di seluruh rakyat Indonesia secara merata, bahkan dalam prektek-praktek hukumnya penuh diskirminatif terhadap etnis, golongan, ras, dan kaum serta minoritas lainnya di negara yang menggaku negara hukum satu ini.

Lihat saja di Papua, daerah bagian timur negara ini. Berbagai pelanggaran hukum bertumpuk tanpa dikorek sedikitpun apa lagi diselesaikan oleh hukum negara ini. Pelanggaran hak asasi manusia dimana-mana di Papua dibiarkan begitu saja.

Ya, berbicara soal pelanggaran hukum di Papua, sudah sejak tahun 1960an hingga detik ini terus terjadi. Pelaku pelanggaran HAM sudah diketahui tetapi dibiarkan, seakan-akan korban bukan manusia selayaknya manusia di belahan dunia ini.

Kita sebutkan kasus yang baru-baru terjadi saja. Operasi Mapenduma yang pelakunya sudah diketahui dan dibiarkan tanpa diproses hukum. 18 orang jadi korban meningal dunia dan puluhan lainnya luka-luka di GOR Nabire pada tanggal 14 Juli 2014, pelakunya tidak diproses. Kasus penembakan 4 siswa di Paniai yang pelakunya sudah jelas tidak diproses secara hukum. Penembakan 2 siswa SMA di Timika, pelakunya sudah diketahui tetapi sama saja. Yang saya sebutkan disini hanya beberapa kasus dari sekian kasus yang ada. Belum termasuk dengan pelanggaran hukum di bidang kesehatan, bidang Agraria atau perampasan tanah, pelanggaran di bidang ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya yang tidak perna tersentuh oleh hukum untuk menyelesaikannya di negara yang menggaku negara hukum ini.

Diskriminasi hukum terhadap rakyat Papua tidak hanya terjadi di tanah Papua. Tetapi di seluruh indonesia dimana ada orang Papua berada, perlakuan pun sama dengan yang terjadi di Papua. Penganiayaan terhadap seorang mahasiswa Papua di kota Yogyakarta, teptanya di nol kilo meter, Malioboro, atas nama Paulus Petege pada tanggal 04 juli 2014, pukul 19.15 wib, pihak hukum membiarkan pelaku tanpa diproses hukum, kasus serupa terjadi atas nama Jessica Elisabeth Isir pada tanggal 28 April 2010 di Timoho, Yogyakarta. Serta kasus lain di kota Yogyakarta.

Kasus seperti ini tidak hanya di Yogyakarta, tetapi di kota lain lagi seperti kasus penghancuran asrma mahasiswa Papua di kota Makasar, mahasiswa Papua yang korban jadi korban Bandung, Menado dan kota lainnya.
Hukum negara indonesia hanya berlaku untuk rakyat indonesia di propinsi lain selain propinsi Papua dan Papua Barat. Rakyat Papua dibiarkan oleh hukum. Keadilan hukum tidak menjamin rakyat Papua. Rakyat Papua jadi korban di atas korban tanpa hukum yang memberikan sedikit pu rasa keadilan.

Jika kita lihat kebijakan hukum nagara ini terhadap warga Papua dalam hal penegakkan hokum sedemikian itu, maka hukum di indonesia penuh Diskriminatif terhadap rakyat Papua. Rakyat Papua dibiarkan oleh hukum negara.

Kebijakkan hukum pemerintah indonesia terhadap rakyat Papua, semakin memperkuat rasa di hati rakyat Papua bahwa, Rakyat Papua adalah Anak angkat yang diberlakukan tidak adil dan diskriminatif.

Kasus demi kasus setiap waktu terus menumpuk di Papua. Tidak sedikit kasus hukum yang dapat diselesaikan. Indonesia tidak perna adil, tidak adil dan itu akan terus berlanjut entah sampai kapan. Hukum indonesia Memang Diskriminatif terhadap rakyat Papua.

Kapankah rakyat Papua dijamin oleh hukum? Kapankah hukum akan membelah rakyat Papua yang jelas-jelas menjadi korban? Dari manakah keadilan itu akan datang untuk memberikan keadilan hukum kepada rakyat Papua karena hukum hukum indonesia tidak menjamin? Apakah negara lain yang datang untuk menjamin hukum terhadap rakyat Papua? Ataukah rakyat Papua mesti cari jaminan hukum di langit? Jika bukan dari sekian pertanyaan itu, lalu kapan, dari mana dan oleh siapa?


“Rakyat Papua akan merasakan yang namanya Keadilan hukum ketika Papua Lepas Dari negara Diskriminatif dan Munafik serta Licik di dunia yang bernama negara Indonesia.”




Yogyakarta
17/02/2016
Telius Yikwa
Share:

Me

Me

Followers

Postingan saya di Wordpress

Yikwagwe Post