Coretan & Berbagi Informasi

Showing posts with label Hukum. Show all posts
Showing posts with label Hukum. Show all posts

Sunday, April 7, 2024

Dewan Pers tanggapi kasus Nabire: polisi harus hormati pekerjaan jurnalis

 

Jurnalis wagadei.id dan jurnalis seputarpapua.com saat berada di gapura Uswim -dok Jubi.

Jayapura,  Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers Yadi Hendriana meminta agar kepolisian menghormati pekerjaan jurnalis. Hal itu disampaikan Yadi Hendriana pada Jumat (5/4/2023) malam menanggapi peristiwa dugaan kekerasan terhadap wartawan oleh sejumlah polisi dari Polres Nabire di Nabire.

“Kami meminta, baik aparat ataupun jurnalis harus saling menghormati karena jurnalis pun dalam bekerja dilindungi undang-undang,” kata Yadi kepada Jubi melalui pesan WhatsApp.

Pada Jumat (5/4/2023) pagi, empat jurnalis di Nabire, Provinsi Papua Tengah mengalami tindak pelarangan meliput oleh anggota Kepolisian Resor Nabire. Mereka dibentak, dikejar, bahkan ada HP (Hand Phone) mereka yang disita, dan juga ada yang kepalanya yang mengenakan helm dipukul.

Mereka diperlakukan kasar oleh aparat keamanan itu saat meliput aksi demo yang digelar Front Rakyat Peduli Hak Asasi Manusia Papua (FRPHAMP) di Nabire menyikapi kasus penganiayaan terhadap warga sipil di Puncak oleh oknum TNI yang videonya viral belum lama ini. Keempat jurnalis adalah Elias Douw (wagadei.id), Kristianus Degey (seputarpapua.com), Yulianus Degei (Tribunnews Papua), dan Melkianus Dogopia (tadahnews.com).

Yadi mengatakan perlakuan kasar yang dilakukan anggota Kepolisian Resor Nabire yang sedang meliput itu tentu tindakan yang tidak dibenarkan. Ia menegaskan jurnalis dalam bekerja dilindungi undang-undang.

“Saya belum mengetahui secara persis peristiwanya, tapi jika benar ada kekerasan yang dilakukan terhadap jurnalis yang sedang meliput tentu itu tindakan yang tidak dibenarkan,” ujarnya.

Yadi mengatakan seharusnya tidak boleh terjadi lagi kekerasan terhadap jurnalis oleh kepolisian. Dewan Pers dan Kepolisian Republik Indonesia, kata Yadi, sudah menandatangani nota kesepahaman atau MoU. Ia mengatakan Dewan Pers akan berkomunikasi dengan kepolisian terkait peristiwa kekerasan tersebut.

“Seharusnya tidak boleh terjadi, apalagi sudah ada MoU antara Dewan Pers dan Polri. Kami akan berkomunikasi dengan Polri terkait ini dan jika memang ada kekerasan terhadap wartawan saat meliput, sudah seharusnya kepolisian mengusut anggotanya,” katanya.

Yadi juga mengimbau keempat jurnalis yang mengalami kekerasan agar melaporkan ke organisasi pers. Ia juga meminta empat jurnalis yang mengalami kekerasan melaporkan langsung ke Dewan Pers agar ditindaklanjuti.

“Tolong segera wartawan yang terkena kekerasan melaporkan kronologisnya ke AJI/IJTI/PWI setempat atau Dewan Pers langsung. Sebaiknya segera melaporkan peristiwanya ke Dewan Pers, selanjutnya Dewan Pers akan meminta Satgas Anti Kekerasan Terhadap Wartawan untuk menangani ini,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Kepolisian Resor Nabire Kompol Wahyudi Satriyo Bintoro sudah menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas peristiwa tidak menyenangkan yang menimpa wartawan di Nabire saat meliput aksi demonstrasi tersebut.

“Saya atas nama anak buah saya menyampaikan mohon maaf. Sekali lagi mohon maaf yang paling dalam,” katanya, Jumat (5/4/2024) sore.

Hal itu disampaikan Kapolres saat berbicara dengan para wartawan di depan Kantor Gubernur Papua Tengah ketika menangani aksi demonstrasi tersebut.

“Ini semua terjadi karena kita tidak bisa saling kenal, besok kita ‘coffee morning’ biar jaga tali silaturahmi,” ujarnya. (*) 




Sumber : jubi.id 


Share:

Polisi bentrok dengan demonstran di Nabire, sejumlah orang tertembak

 

Massa aksi front rakyat peduli HAM orasi di depan kampus Uswim, Nabire - dok Jubi.

Nabire,  – Aksi damai Front Rakyat Peduli Hak Asasi Manusia Papua atau FRPHAMP dihalau aparat keamanan di Nabire, Papua Tengah, Jumat (5/4/2024). Mereka pun gagal menyampaikan aspirasi ke Penjabat Gubernur Ribka Haluk. 

FRPHAMP menggelar aksi damai untuk menyikapi kasus penyiksaan sejumlah personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap warga sipil di Puncak, Papua Tengah. Mereka berkumpul di lima lokasi sebelum menuju Kantor Gubernur Papua Tengah sebagai pusat aksi.

Lima lokasi itu ialah di depan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nabire, depan Kampus Universitas Satya Wiyata Mandala (Uswim), dan Pasar Karang Tumaritis. Selain itu, di depan Hotel Jepara 2 dan SP 2 Nabire Barat.

Namun, barisan aparat keamanan mengadang pergerakan massa aksi yang hendak menuju Kantor Gubernur Papua Tengah. Mereka bahkan membubarkan para demonstran yang telah berkumpul di sejumlah lokasi.

“Kami benar-benar tidak diberikan ruang [kesempatan menyampaikan aspirasi] oleh aparat kepolisian. Aparat kepolisian [bahkan] membubarkan lebih awal massa aksi di Pasar Karang Tumaritis dan di depan RSUD Nabire,” kata Yohanes Giyai, penanggung jawab aksi FRPHAMP. 

Aparat keamanan juga bersikap represif terhadap massa aksi yang telah berkumpul di tiga lokasi lain. Tindakan itu memicu bentrokan di SP 1 dan di depan Hotel Jepara 2.

“Sebanyak empat orang [demonstran] diangkut ke kantor polisi, dan satu orang terkena peluru di [lokasi] titik kumpul di SP 1. Di titik kumpul perempatan SP 1, dua orang dikeroyok polisi, dan di bawa ke Polres Nabire,” kata Giyai.

Menurut Giyai, seorang demonstran yang tertembak di SP 1 bernama Opinus Jupugau. Dia mengalami luka pada kepala bagian belakang dan tidak sadarkan diri sehingga dilarikan ke RSUD Nabire.

Bentrokan juga terjadi saat polisi mengadang pergerakan massa aksi di sejumlah lokasi lain. Sebanyak dua demonstran lain pun dikabarkan mengalami luka tembak. Polisi juga menembakkan gas air mata saat membubarkan aksi massa.

“Malon Miagoni terkena peluru pada bagian lutut dan pelipis. [Kemudian,] Nataniel Japogau tertembak pada bahu bagian belakan,” ujar Giyai.


Tunggu Ribka Haluk

Menurut Giyai, mereka telah bernegosiasi agar aparat keamanan membukakan jalan sehingga massa aksi bisa menyampaikan aspirasi di Kantor Gubernur Papua Tengah. Namun, negosiasi itu gagal dan polisi malah menembakkan gas air mata untuk membubarkan aksi.

“Saat kami membacakan pernyataan sikap pada sekitar pukul 17:00 Waktu Papua, polisi [malah] membuang [menembakkan] gas air. Namun, massa aksi di depan Hotel Jepara 2 tetap bertahan,” kata Giyai.

Dia melanjutkan massa aksi dari Pasar Karang Tumaritis dan di depan Kampus Uswim juga mencoba merangsek menuju Kantor Gubernur Papua Tengah pada sekitar pukul 14.18 Waktu Papua. Mereka berjalan kaki setelah berkumpul di Pasar Kali Susu.

“Massa aksi menduduki Jalan Merdeka, setelah beberapa menit aparat pihak kepolisian mengeluarkan tembakan. Di depan kantor gubernur, seorang massa aksi mengalami luka-luka pada kepala dan perut akibat tembakan peluru karet dari pihak kepolisian,” kata Giyai.

Pendudukan jalan itu tidak berlangsung lama. Polisi kemudian juga membubarkan massa aksi sehingga mereka berhamburan dari lokasi tersebut.

Massa aksi, sebelumnya mengharapkan bertemu Penjabat Gubernur Ribka Haluk pada Jumat siang. Berdasarkan rekaman video singkat yang beredar di Nabire, Haluk sempat berada di RSUD Nabire, sekitar 11:00 Waktu Papua. Dia bersama sejumlah pejabat daerah setempat menjenguk dua warga yang diduga mengalami kekerasan fisik oleh massa aksi. 

Sementara itu, Kepala Polres Nabire Komisaris Polisi Wahyudi Satriyo Bintoro belum bersedia memberi keterangan resmi mengenai aksi massa yang berujung bentrok tersebut. Dia beralasan situasinya masih belum aman. Namun, wahyudi menyampaikan permohonan maaaf kepada masyarakat atas kejadian itu. “Pada kesempatan ini, saya menyampaikan permohonan maaf melalui wartawan [media massa] atas kejadian tadi,” ujarnya. (*) 




Sumber : jubi.id 


Share:

Tuesday, April 2, 2024

Polisi dan Ormas Hadang Aksi damai mahasiswa Papua di Bali

Koban pemukulan ormas dan militer terhadap masa aksi mahasiswa Papua. Dok Yasti M.

Aksi damai mahasiswa Papua di Denpasar Bali dihadang, dan sejumlah masa aksi terluka kena pukulan dan lemparan di Denpasar Bali, Senin  01/04/23. 

Demontrasi damai mahasiswa Papua yang tergabung dalam aliansi mahasiswa Papua (AMP) bertema  “Demokrasi dan HAM Mati Rakyat Papua Tercekik” Terjadi penghadangan dan Pemukulan oleh Ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN) yang difasilitasi oleh polisi setempat.

Aksi yang di hadang di samping lorong Fakultas Pariwisata universitas udayana 

Aksi tersebut rencananya akan di lakukan di bundaran lampu merah sudirma.

Sebelumnya ormas Pgn sudah siap siaga di jalan keluar fakultas Pariwisata universitas udayana


 Kronologisnya


A. Kronologis Aksi

Pada 8.00. Wita  massa aksi berkumpul di TKP. Dan bebearapa intel memantahu di titik kumpul

8: 3o Wita masa aksi bergerak ke titik Aksi, beberapa ormas siaga di depan jalan daut puri klod tempat titik kumpul masa aksi

9.50. Wita masa aksi dihadang oleh ormas PGN.

10.00.Wita masa aksi bernegosiasi dengan baik namun ormas PGN di depan Fakultas pariwisata Universitas Udayana Bali.


10.05 wita korlap berusaha untuk menenangkan masa aksi namun dari pihak ormas PGN terus mendorong dan menarik masa aksi sampai poster/tuntutan di rusaki 

10: 10.Wita korlap arahkan masa aksi untuk mundur karena ormas terus memukul masa dan melempari masa dengan botol, batu, dan sambal pedas ke arah masa aksi sehingga beberapa kawan kena lemparan dan sambal pedas di mata dan testa masa aksi.

10:30. Masa kembali ke titik kumpul karena ormas terus melakukan pelemparan kepada masa aksi.


B. Nama- nama Korban luka :

  1. Wemi : kena lemparan batu di kepala;
  2. Gabi   : Kena pukulan dari PGN dan Kepala bocor kena batu;
  3. Yohanes : kena batu dan  Luka di tangan; 
  4. Yuno        : Testa pica dan berdara kena Batu;
  5. Bolikam  : Jari kaki tersobek kena Bambu;
  6. Erik w : Kena batu di kaki;
  7. Paman: kena Batu di kaki;
  8. Kepno: Kena Batu Di betis Kaki dan kena  pukulan; 
  9. Daut Mote: kena Air berisi rica rica;
  10. Tapo: kena kayu di Tangan;
  11. Ampix: Kena pukulan di kepala dan kena lemparan bartu di Belakang;
  12. Herry: Kena air rica;
  13. Andi: Kena Lemparan air rica;


C. Barang yang di rusak :

 1. Beberapa Poster  di rusak 

###



Sumber : Yasti M*


Share:

Friday, July 8, 2022

Victims of Bloody Biak collect Jokowi’s promise to resolve human rights violations in Papua


 Jayapura, – Head of the United for Truth (BUK), an organization for victims of human rights violations, Tineke Rumkabu said victims of the Bloody Biak tragedy demanded President Joko Widodo fulfill his political commitment to resolve various cases of human rights violations in Papua.

“We demand President Joko Widodo, the National Police, the National Commission on Human Rights (Komnas HAM), and the regional government to resolve the Bloody Biak case,” said Rumkabu on Wednesday, July 6, 2022.

She said that after 24 years, none of the perpetrators of the Bloody Biak tragedy had been brought to justice.

“Where is the responsibility of the state for victims who were tortured, disappeared, raped, and killed? We as victims consider Indonesia irresponsible for various cases of human rights violations in Papua. Indonesia does not provide a sense of justice for victims, nor does it arrest and prosecute perpetrators of human rights violations,” said Rumkabu.

If the case were resolved without a court process and only resolved through the Truth and Reconciliation Commission (TRC), Rumkabu said, it would not provide a sense of justice for the victims. She urged the government to establish an Ad Hoc Human Rights Court to try the perpetrators.

The results of Elsham Papua’s investigation titled “Papua Without a Name, a Name Without a Tomb” published in July 1999 stated that the Bloody Biak tragedy caused the death of eight people. In addition, three people were missing, four people were seriously injured, 33 people were slightly wounded, and 150 people were arrested and tortured.

After the incident, 32 bodies were found in Biak waters. The report also mentioned that various army units allegedly attacked protesters in Biak on July 6, 1998.

Rumkabu said that if the government continued to delay the legal process in the Bloody Biak tragedy, the disclosure of the case would be increasingly difficult.

“Some of the perpetrators are getting old, some have died, some have retired, all of it makes it more difficult to disclose the Biak human rights violation,” she said.

Finally, Rumkabu asked the Indonesian government to provide trauma recovery for victims and their families. She also hoped that the government would provide access for the Independent Team to resolve human rights violations in Papua.

“We also ask the Indonesian government to open access for foreign journalists to visit the Land of Papua, and be serious in resolving various cases of human rights violations that have occurred in Papua,” she said. (*) 





Source: http://www.en.jubi.id
Share:

Wednesday, December 13, 2017

Telegram AS buktikan konspirasi Indonesia, PBB, AS dan Belanda menjajah West Papua

Tentara Papua yang dilatih oleh Belanda pada tahun 1962.

Jayapura,  - Orang-orang Papua terkemuka telah meminta Amerika Serikat (AS) untuk memberi mereka uang dan senjata pada pertengahan tahun 1960an untuk memerangi penjajahan Indonesia atas wilayah West Papua yang luas, menurut dokumen AS yang baru-baru ini dideklasifikasi yang menunjukkan lahirnya perjuangan kemerdekaan West Papua yang bertahan hingga saat ini, setengah abad kemudian.

Dokumen-dokumen tersebut menambah bukti historis keluhan orang-orang Papua yang mendalam terhadap Indonesia pada saat bentrokan antara pemberontak dan pasukan keamanan Indonesia telah berkobar di West Papua dan nasionalis Papua telah berhasil menarik perhatian lebih untuk tujuan mereka di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Menteri pertahanan Indonesia mengatakan pekan lalu bahwa para aktivis yang menghadiri pertemuan pro-Papua Merdeka baru-baru ini di Vanuatu harus ditangkap saat kembali ke Indonesia.

Berkas tersebut termasuk di antara ribuan halaman telegram antara Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar AS di Jakarta dari tahun 1960an yang dideklasifikasi awal tahun ini. 37 bundel telegram disimpan di Arsip Nasional dan Administrasi di Maryland, AS dan para periset sedang berupaya membuat dokumen-dokumen tersebut tersedia secara online.

Papua, yang merupakan bagian barat pulau raksasa New Guinea, tetap berada di tangan Belanda setelah Indonesia lepas dari pemerintahan kolonial Belanda pada akhir Perang Dunia II. Banyak orang Indonesia melihat kampanye pemerintah mereka di awal 1960-an untuk mencaplok West Papua dari Belanda sebagai kemenangan terakhir dalam perjuangan kemerdekaan mereka. Tapi bagi orang Papua, dengan budaya Melanesia dan sejarah yang berbeda dari Asia Tenggara, Indonesia adalah penjajah yang dimusuhi.

Seluruh dunia berpaling saat pemungutan suara (PEPERA) yang dicurangi dari lebih 1.000 orang Papua yang direkrut dan dikelola dengan baik memperkuat kontrol Indonesia pada tahun 1969. Belanda, yang sebelum aneksasi mempersiapkan West Papua untuk berpemerintahan sendiri, tidak keberatan. AS yang pada tahun 1967 membantu perusahaan pertambangan Amerika Freeport mendapatkan hak untuk mengeksploitasi deposit tembaga dan emas yang kaya di West Papua, tidak ingin mengecewakan status quo yang menguntungkan bagi usaha A.S. atau mengganggu stabilitas pro-pemerintan AS.
Telegram April 1966 dari Departemen Luar Negeri mencatat "kefasihan dan intensitas" Markus Kaisiepo, seorang pemimpin West Papua yang diasingkan, yang berbicara dengan pejabat senior A.S. tentang "penderitaan yang menyedihkan dari orang-orang Papua di bawah kekuasaan Indonesia."

Kaisiepo mengatakan bahwa orang Papua bertekad untuk memiliki kemerdekaan namun sama sekali tanpa sumber keuangan atau peralatan militer yang dibutuhkan untuk "bangkit melawan penindas Indonesia."

Kaisiepo, yang putranya juga menjadi advokat terkemuka untuk kemerdekaan Papua, bertanya apakah AS "dapat memberikan uang dan senjata secara diam-diam untuk membantunya dan gerakannya." Dia ditolak, seperti juga pemimpin West Papua lainnya, Nicolaas Jouwe, yang menyampaikan hal serupa kepada AS pada bulan September 1965 dan juga ke Australia.

Dokumen-dokumen tersebut juga menunjukkan bagaimana pejabat menjarah wilayah tersebut setelah Indonesia mencaploknya pada tahun 1962 yang mengakibatkan jatuhnya standar hidup, memicu kemarahan yang menjadi pemberontakan langsung. Namun, sumber kebencian terbesar adalah keengganan Indonesia untuk menghormati perjanjian yang diawasi AS, PBB dan Belanda, yang mengamanatkan bahwa orang Papua akan memutuskan secara plebisit apakah akan tetap bersama dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai negara berdaulat.
Setelah pasukan PBB meninggalkan Papua, orang Indonesia secara sistematis menjarah bangunan umum dan mengirim barang rampasan ke Jakarta. Ini disebutkan dalam telegram April 1966 sebagaimana dikutip Kaisiepo. Rumah sakit yang dibangun oleh Belanda dilucuti tempat tidurnya, peralatan sinar-X dan obat-obatan, meja-meja diambil dari sekolah-sekolah dan tentara mencuri apa saja "yang diinginkan mereka" dari rumah-rumah pribadi.

Telegram lain juga mengutip misionaris Amerika yang bekerja di Papua menggambarkan kekurangan pangan yang meluas, dan bagaimana pejabat Indonesia membeli semua barang konsumsi lalu mengirimkannya keluar dari Papua untuk mendapatkan keuntungan. Saat pengiriman barang dan makanan tiba di pelabuhan, tentara Indonesia akan mengkawalnya.

Victor Yeimo, ketua Komite Nasional Papua Barat yang pro kemerdekaan, mengatakan bahwa dokumen tersebut "sangat penting" karena memberikan bukti kejahatan terhadap orang Papua oleh militer Indonesia dan peran AS dalam menolak penentuan nasib sendiri. Secara administratif, Indonesia membagi wilayah ini menjadi dua provinsi, Papua dan Papua Barat, namun orang Papua menyebut keduanya sebagai Papua Barat atau Tanah Papua.
"Informasi yang diperoleh dari dokumen-dokumen ini menunjukkan kepada dunia dan generasi sekarang bahwa AS dan Indonesia selalu saling membantu dalam menyembunyikan kebenaran selama ini. Kepentingan ekonomi dan politik AS memainkan peran besar dalam penjajahan Papua Barat," kata Yeimo. "Kami, orang West Papua, telah dibantai sejak pertama kali Indonesia memasuki tanah kami dan sampai sekarang. Dan kita belum pernah melihat keadilan. "

Orang Papua bukan tanpa pendukung di Kedutaan Besar AS di Jakarta namun pandangan mereka tidak didengarkan. Pada bulan Agustus 1965, petugas politik kedutaan Edward E. Masters merekomendasikan untuk membocorkan kabar mengenai pemberontakan dan kekerasan terhadap peraturan Indonesia di West Papua kepada pers dunia. Tanpa silau publisitas, orang Papua akan mengalami "penaklukan kolonial yang sempurna" oleh Indonesia, tulisnya dalam sebuah telegram.

Mengutip peran A.S. dalam menegosiasikan perjanjian 1962 antara Belanda dan Indonesia, Masters menulis "Tampaknya kita memiliki tanggung jawab khusus untuk melihat bahwa persyaratan perjanjian tentang pemenuhan keinginan sejati orang-orang Papua dihormati."
Telegram lain yang ditulis oleh Duta Besar Marshall Green, bagaimanapun,
menggambarkan orang Papua sebagai orang "zaman batu". "Cakrawala mereka sangat terbatas," katanya, dan mereka tidak dapat menentukan masa depan mereka sendiri, bertentangan dengan penilaian lain yakni keinginan masyarakat Papua untuk kemerdekaan.
Berita tentang pemberontakan dengan kekerasan, yang dimulai sekitar bulan Maret 1965, mulai muncul dari West Papua saat misionaris Amerika yang bekerja di wilayah tersebut mengunjungi Jakarta dan pejabat kedutaan mendapatkan sumber informasi militer Indonesia.

Pada bulan Juni 1965, pemberontak melancarkan serangan skala penuh ke sebuah posko pemerintah di kota Wamena yang menewaskan setidaknya selusin tentara Indonesia dan sejumlah orang Papua yang tidak dikenal.
"Tidak ada angka jumlah orang Papua yang terbunuh tapi satu informan menggambarkannya sebagai 'pembantaian', karena hampir satu-satunya senjata di tangan orang-orang Papua di dataran tinggi adalah pisau, busur dan anak panah," kata sebuah telegram yang dikirim dua bulan kemudian.

Dokumen yang sama melaporkan bahwa pemberontak menguasai sebagian besar Manokwari, sebuah kota pesisir utama, pada awal Agustus dan menahannya selama seminggu sampai dihantam balik oleh tentara Indonesia.
Pembantaian oleh pasukan Indonesia bulan sebelumnya mungkin merupakan katalisator untuk serangan tersebut.

Seorang misionaris Belanda mengatakan kepada pejabat AS bahwa pemberontak telah menembak tiga tentara yang membawa sebuah bendera di lembah dekat Manokwari pada akhir Juli.
"Reaksi Indo brutal," kata sebuah telegram yang ditransmisikan pada bulan September 1965. "Tentara pada hari berikutnya menghamburkan peluru pada orang Papua yang terlihat dan banyak orang tidak bersalah di jalan ditembak mati. Kepahitan yang diciptakan tidak mudah disembuhkan. "

Pada awal 1967, ada desas-desus yang terus berlanjut di dalam dan di luar negeri bahwa 1.000 sampai 2.000 orang Papua telah terbunuh oleh sebuah kampanye pengeboman Angkatan Udara Indonesia.

Pemerintah Indonesia membantahnya dengan menyatakan bahwa 40 orang terbunuh dalam "pemberondongan" yang dilakukan oleh seorang pembom angkatan udara sebagai respon atas penyergapan polisi paramiliter, menurut sebuah telegram pada bulan April 1967.
Dua orang polisi terluka dalam penyergapan tersebut. (*)





Sumber : www.tabloidjubi.com
Share:

Tuesday, October 17, 2017

Diskriminasi Hukum Indonesia Di Papua

 

Indonesia adalah Negara hukum yang bersandar pada undang-undang dasar tahun 1945 dan menganut system demokrasi. Hukum di Indonesia berfungsi untuk menghukum atau memberikan sanksi kepada siapa saja yang melanggar tanpa membeda-bedakan dari status politik, status ekonomi, status social sang pelanggar. Atau hukum tidak perna memandang pelanggar hukum dari statusnya sebagai anak kandung, sebagai anak angkat, sebagai ayah kandung, ayah angkat dan lain sebagainya. Dan disisi lain, hukum berfungsi untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat merugikan serta membahayakan orang lain (publik).

Sebagai Negara hukum yang menganut system demokrasi, sebagaimana kita ketahui bahwa hukum adalah kekuasaan tertinggi di indonesia, dan kedaulatan tertinggi Indonesia adalah rakyat. Dengan demikian, di depan hukum, semua yang berkewarga negaraan Indonesia sama.

Dasar Negara kesatuan rapublik Indonesia yang tersusun empat alinea itu ditambah bergundang pasal hukum di negara ini tidak berfungsi di seluruh rakyat Indonesia secara merata, bahkan dalam prektek-praktek hukumnya penuh diskirminatif terhadap etnis, golongan, ras, dan kaum serta minoritas lainnya di negara yang menggaku negara hukum satu ini.

Lihat saja di Papua, daerah bagian timur negara ini. Berbagai pelanggaran hukum bertumpuk tanpa dikorek sedikitpun apa lagi diselesaikan oleh hukum negara ini. Pelanggaran hak asasi manusia dimana-mana di Papua dibiarkan begitu saja.

Ya, berbicara soal pelanggaran hukum di Papua, sudah sejak tahun 1960an hingga detik ini terus terjadi. Pelaku pelanggaran HAM sudah diketahui tetapi dibiarkan, seakan-akan korban bukan manusia selayaknya manusia di belahan dunia ini.

Kita sebutkan kasus yang baru-baru terjadi saja. Operasi Mapenduma yang pelakunya sudah diketahui dan dibiarkan tanpa diproses hukum. 18 orang jadi korban meningal dunia dan puluhan lainnya luka-luka di GOR Nabire pada tanggal 14 Juli 2014, pelakunya tidak diproses. Kasus penembakan 4 siswa di Paniai yang pelakunya sudah jelas tidak diproses secara hukum. Penembakan 2 siswa SMA di Timika, pelakunya sudah diketahui tetapi sama saja. Yang saya sebutkan disini hanya beberapa kasus dari sekian kasus yang ada. Belum termasuk dengan pelanggaran hukum di bidang kesehatan, bidang Agraria atau perampasan tanah, pelanggaran di bidang ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya yang tidak perna tersentuh oleh hukum untuk menyelesaikannya di negara yang menggaku negara hukum ini.

Diskriminasi hukum terhadap rakyat Papua tidak hanya terjadi di tanah Papua. Tetapi di seluruh indonesia dimana ada orang Papua berada, perlakuan pun sama dengan yang terjadi di Papua. Penganiayaan terhadap seorang mahasiswa Papua di kota Yogyakarta, teptanya di nol kilo meter, Malioboro, atas nama Paulus Petege pada tanggal 04 juli 2014, pukul 19.15 wib, pihak hukum membiarkan pelaku tanpa diproses hukum, kasus serupa terjadi atas nama Jessica Elisabeth Isir pada tanggal 28 April 2010 di Timoho, Yogyakarta. Serta kasus lain di kota Yogyakarta.

Kasus seperti ini tidak hanya di Yogyakarta, tetapi di kota lain lagi seperti kasus penghancuran asrma mahasiswa Papua di kota Makasar, mahasiswa Papua yang korban jadi korban Bandung, Menado dan kota lainnya.
Hukum negara indonesia hanya berlaku untuk rakyat indonesia di propinsi lain selain propinsi Papua dan Papua Barat. Rakyat Papua dibiarkan oleh hukum. Keadilan hukum tidak menjamin rakyat Papua. Rakyat Papua jadi korban di atas korban tanpa hukum yang memberikan sedikit pu rasa keadilan.

Jika kita lihat kebijakan hukum nagara ini terhadap warga Papua dalam hal penegakkan hokum sedemikian itu, maka hukum di indonesia penuh Diskriminatif terhadap rakyat Papua. Rakyat Papua dibiarkan oleh hukum negara.

Kebijakkan hukum pemerintah indonesia terhadap rakyat Papua, semakin memperkuat rasa di hati rakyat Papua bahwa, Rakyat Papua adalah Anak angkat yang diberlakukan tidak adil dan diskriminatif.

Kasus demi kasus setiap waktu terus menumpuk di Papua. Tidak sedikit kasus hukum yang dapat diselesaikan. Indonesia tidak perna adil, tidak adil dan itu akan terus berlanjut entah sampai kapan. Hukum indonesia Memang Diskriminatif terhadap rakyat Papua.

Kapankah rakyat Papua dijamin oleh hukum? Kapankah hukum akan membelah rakyat Papua yang jelas-jelas menjadi korban? Dari manakah keadilan itu akan datang untuk memberikan keadilan hukum kepada rakyat Papua karena hukum hukum indonesia tidak menjamin? Apakah negara lain yang datang untuk menjamin hukum terhadap rakyat Papua? Ataukah rakyat Papua mesti cari jaminan hukum di langit? Jika bukan dari sekian pertanyaan itu, lalu kapan, dari mana dan oleh siapa?


“Rakyat Papua akan merasakan yang namanya Keadilan hukum ketika Papua Lepas Dari negara Diskriminatif dan Munafik serta Licik di dunia yang bernama negara Indonesia.”




Yogyakarta
17/02/2016
Telius Yikwa
Share:

Me

Me

Followers

Postingan saya di Wordpress

Yikwagwe Post