Coretan & Berbagi Informasi

Showing posts with label Artikel. Show all posts
Showing posts with label Artikel. Show all posts

Wednesday, March 27, 2024

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

 By YEIMOYAGAMO*

Seluruh tulisan kopipaste dari http://www.laolao-papua.com 

Foto salah satu Mama Mee yang sedang berjualan di depan Hotel Yasmin, Kota Jayapura. Foto dari benarnews.org.


Foto salah satu Mama Mee yang sedang berjualan di depan Hotel Yasmin, Kota Jayapura. Foto dari benarnews.org.

Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai no, ogeima wae!”.

(Jika tangan ini tidak bergerak bekerja, kaki tidak melangkah jauh dan tanah ini tidak diolah, maka bagaimana makan minum anak -anak. Mereka akan kelaparan dan mati, mereka tidak akan sekolah. Tetaplah kerja kebun, kawan!)

Kata-kata penggerak ini sering diucapkan mama-mama Mee saat bekerja di kebun.

Ketika tiba di Kota Jayapura, ucapan tersebut sekaligus menjadi alasan mama-mama Mee membuka lahan untuk bercocok tanam sayur kangkung putih dan daun petatas.

Bagi Mama Anike, Mama Magai, dan Mama Kadepa (nama disamarkan sesuai permintaan narasumber), tanah adalah segalanya. Kehidupan ketiganya tak dapat dipisahkan dari tanah. Sejak kecil mereka sudah belajar menanam.

Dalam bahasa Mee, bunamakiyo kouko akukai, yakni tanah merupakan mama. Tanah menyediakan segalanya dan memberikan setiap kebutuhan bagi kehidupan. Di Meeuwodide, sebutan untuk wilayah adat Suku Mee, tanah adalah bank kehidupan.

Mama-mama Mee meyakini bahwa tanah diciptakan oleh Sang Khalik untuk dikerjakan, diolah agar tetap hidup dan menghidupi sesuai dengan ujaran Mee bage (atau masyarakat suku Mee),

Tai keitai, ekina muni, owa migi (kerja kebun, memelihara babi, dan membangun rumah).”

Filosofi ini menguatkan tekad Mama Anike, Mama Magai, dan Mama Kadepa untuk tetap mencari lahan dan bercocok tanam setelah pindah ke Tanah Tabi, Numbay pada kisaran tahun 1980-1990an.

Jayapura, Kota Semarak Penghuni

Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua. Ia juga menjadi kawasan industri perdagangan di kawasan Timur Indonesia. Dengan perkembangan yang padat, Kota Jayapura menjadi salah satu kota dengan densitas tinggi.

Selain menjadi kawasan industri dan perdagangan, Kota Jayapura menjadi pusat pendidikan sehingga terjadi urbanisasi besar-besaran. Mereka yang datang bukan hanya di usia sekolah, juga kelompok keluarga yang hendak mengikuti perubahan.

Urbanisasi di Kota Jayapura mulai terjadi dari awal tahun 1970an akhir hingga tahun 1980an. Sebagian besar datang dari wilayah adat Lapago dan Meepago. Mereka menempati Kota Jayapura sesuai mata pencaharian atau budaya kerja.

Penduduk dari wilayah adat Lapago banyak menempati di dataran tinggi, seperti sepanjang kaki gunung Cyclop, area Abepura gunung, Koya, dan sekitarnya. Ibu Ev. Ruth Togodly, S.Th, merupakan salah satunya. Ia mengungkapkan, orang tuanya sudah melakukan urbanisasi dari tahun 1970an akhir dari Wamena dan memilih menetap di daerah Angkasapura.

Ibunya, Mama Gombo, merupakan salah seorang pionir yang membuka lahan di sekitar Angkasapura hingga pernah dipanggil polisi karena lahan tersebut merupakan hutan lindung. Namun Mama Gombo tidak merusak seluruh alam sekitar gunung Angkasapura. Terlebih, lahan yang dibuka sebagai kebun berguna untuk menopang ekonomi rumah tangga. Hingga saat ini beberapa kebun masih dilanjutkan oleh anak-anaknya.

Penduduk dari wilayah adat Meepago mendiami dataran yang lebih rendah, seperti di Argapura, Dok 5, Apo, dan Deplat Kanan. Jumlah keluarga Meebage di Port Numbay berkisar 100 kepala keluarga (KK). Merujuk data dari kepala suku besar Suku Mee daerah Mamta pada periode 2019-2022, komposisi pekerjaan mereka terdiri dari 50% petani dan buruh kasar/pembersih kota, 10% juru parkir dan satpam, 30% Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TU, serta 10% mahasiswa. Data ini merupakan hasil beberapa tahun lalu, sehingga perlu survei oleh kepala suku yang baru untuk memperbaharui.

Selain terjadi urbanisasi internal pada tahun 1970an, jauh sebelumnya telah terjadi transmigrasi besar-besaran yang dilakukan melalui program pemerintah daerah maupun negara dalam rangka pemerataan penduduk. Warga imigran sebagian besar dari Pulau Jawa ditempatkan di wilayah Koya dan Arso (sekarang Kabupaten Keerom).

Ada pula kelompok migran dari pulau Sulawesi yang menempati wilayah bagian laut, di antaranya Argapura laut, Hamadi, dan Pulau Kosong. Penduduk asli Kota Jayapura yang terdiri dari Suku Kayu Batu, Suku Kayu Pulau, Suku Tobati, Suku Enggros, Suku Nafri, Suku Skouw, dan Suku Sentani Timur sangat ramah terhadap sesamanya yang datang ke wilayah adatnya. Mereka hidup berdampingan. Lahan kosong yang tersedia kemudian dibangun perumahan maupun tempat untuk beraktivitas ekonomi dan budaya.

Pembangunan di Kota Jayapura terus berkembang pesat memakan tiap lahan kosong. Para pemilik modal besar membeli lahan-lahan tersebut untuk dilipatgandakan menjadi ruko, mal, hotel, dan lainnya yang dianggap sebagai strategi pertumbuhan ekonomi dan pengembangan daerah.

Lahan pertanian masyarakat yang semula berfungsi memenuhi kebutuhan pangan ikut diubah menjadi bangunan-bangunan publik. Selain itu peningkatan jumlah penduduk yang terjadi mengakibatkan banyak lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi pemukiman, baik itu yang dikembangkan oleh investor maupun rumah-rumah pribadi.

Konsep pembangunan ini memandang tanah hanya bernilai kapital. Akibatnya, pemilik modal besar atau kapital kian berkuasa sementara masyarakat kelas menengah maupun kelompok miskin hidup tidak memiliki tanah.

Menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru bukan persoalan mudah, apalagi harus memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga di tengah Kota Jayapura yang terus mengalami perkembangan dan kemajuan. Maka kelompok mama dari wilayah Meepago mulai mengolah tanah di beberapa titik tempat untuk ditanami beberapa tanaman khas, yakni daun petatas dan sayur kangkung. Beberapa lokasi lahan dapat di lihat di area belakang kampus Fakultas Kedokteran, Universitas Cenderawasih (Uncen), sebagian di sepanjang Kali (sungai) Acai, sekitar Pasar Youtefa dan sisi perumahan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Kotaraja.

Bertahan Berkebun di Lahan Sempit

“Setelah ruko ini selesai dibangun bos bilang nanti timbun bagian yang kami kerja kebun. Sementara mama kerja dulu sambil selesaikan ruko ini karena akan dibuat kolam renang dan tempat bermain.” cerita Mama Kadepa dengan air muka pasrah.

Penulis menemui Mama Kadepa di tempat jualannya, di pinggir jalan raya Youtefa.

Mama Kadepa menjajakan daun petatas. Sembari menikmati senja, penulis bersama Mama Kadepa menyantap roti dengan teh hangat. Mama Kadepa kemudian menuturkan pengalamannya.

Tanah tempat Mama Kadepa berkebun sudah dibeli oleh pengusaha. Dulunya tanah tersebut milik seorang ondo (kepala suku).

“Bapak ondo tidak pernah menagih uang atau memarahi kami. (Ketika) pembangunan ruko mulai makin dekat dengan kebun kami. Bos (pemilik ruko) sudah kasih ingat.” lanjut Mama Kadepa.

Peringatan dari pemilik ruko seakan memerintahkan Mama Kadepa dan mama-mama Mee lainnya untuk segera meninggalkan lahan tersebut dan mencari tanah kosong untuk kebun baru.

“Sekarang kami, mama (Suku) Mee masih ada harapan karena anak kami pinjamkan tanah miliknya untuk diolah, ditanami sayuran.”

Mereka sudah merintis pembukaan lahan saat wabah Covid-19 merebak karena semangat orang-orang untuk berkebun meningkat. Ketiga suaminya kerap ikut membantu membuka lahan, tapi ketika proses menanam maupun memanen lebih banyak dilakukan oleh mama-mama. Lokasinya terbilang jauh, terletak di Koya Koso, Distrik Abepura. Sementara Mama Magai dan Mama Kadepa tinggal di Argapura, Mama Anike berdomisili di Buper, Waena.

Ketika pergi ke kebun, mereka harus naik angkutan beberapa kali sehingga menghabiskan biaya terlampau besar.

“Hasil jualan habis di ongkos taksi saja.” lanjut Mama Kadepa.

Alhasil, kebutuhan untuk membeli garam, minyak goreng, dan lainnya tidak dapat dipenuhi secara maksimal. Semakin jauh kebun, maka pengeluaran di biaya kendaraan angkutan dan ojek yang ditumpangi makin besar. Selain itu, lokasi tersebut sering tergenang air atau banjir yang mengakibatkan gagal panen.

Mama Kadepa melanjutkan ceritanya. Ia tinggal bersama suaminya dan enam anak. Seorang anak perempuan diantaranya sudah menikah dan baru saja melahirkan. Maka di rumah tersebut, hasil kebun Mama Kadepa menjadi tumpuan kehidupan bagi 9 penghuni, termasuk dirinya.

“Mabi (sapaan untuk anak perempuan nomor tiga dalam bahasa Mee), bapak di rumah sakit-sakitan baru adik-adik juga semua sekolah. Kalau kami sudah pindah lagi ke kebun Koya Koso nanti tidak cukup uang jajan anak-anak dan makan minum di rumah.”

Apabila sayur jualan tidak habis, Mama Kadepa mengeluh rugi. Anak-anak di rumah menunggu kepulangan sang mama dengan oleh-oleh atau bahan makanan. Mereka menantikan isi dalam agiya (noken khas dari Suku Mee).

“Hati sedih dan menangi tapi hidup sudah begitu.” ungkap Mama Kadepa getir.

Mengisi kekosongan waktu di rumah, Mama Kadepa lebih memilih menganyam noken sebisanya walau tidak begitu mahir. Pekerjaan di rumah lebih banyak diambil alih oleh anak perempuannya, Lexi, yang sudah menikah dan memilih hidup bersama orang tuanya bersama suami. Meski Lexi menikah, ia tetap melanjutkan pendidikan tinggi di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Jayapura.

Sementara Mama Magai sendiri merupakan janda dengan dua anak. Sembari membiayai kebutuhan sehari-hari, hasil jualan Mama Magai harus cukup untuk membayar sekolah kedua anaknya, sulungnya di bangku kuliah dan bungsu di SMA.

Mama Magai kerap menghabiskan waktu sendirian di rumah, sebab kedua anaknya banyak beraktivitas di luar rumah bersama teman-temannya. Beban rumah tangga lantas hanya dikerjakan olehnya. Jika waktunya luang, Mama Magai menyambangi keluarganya di Angkasapura.

Di rumah Mama Anike, malam itu, makanan dingin yang dimasak sedari pagi menyambutnya. Ia tetap melahapnya, kemudian ia berbaring. Kepalanya diletakkan pada bantal berwarna merah di suatu sudut ruang tengahnya.

Suami Mama Anike merupakan pendeta di sebuah jemaat Gereja Kingmi Papua. Kesehariannya, ia membantu Mama Anike mengerjakan tanggung jawab di rumah.

Keduanya memiliki 8 anak, 2 diantaranya sudah meninggal. Keenam anak lainnya berhasil menempuh pendidikan dari hasil berjualan sayur. Dulu saat anak-anak masih kecil, mereka ikut menggarap kebun dan pekerjaan-pekerjaan di rumah. Kini anak-anaknya telah hidup mandiri, ada yang bekerja sebagai dokter, PNS, guru, pebisnis, antropolog, dan pekerja kemanusiaan. Si bungsu masih duduk di bangku perguruan tinggi.

Mama Anike sebenarnya sudah sering diingatkan oleh ke-24 cucu dan anak-anaknya untuk tidak lagi bekerja di kebun ketika ia pergi berkunjung. Namun buatnya tanah sudah menyatu dengan dirinya.

Kebun Hilang, Hidup Gamang

Pembangunan infrastruktur yang pesat meminggirkan lahan yang dikelola oleh Mama-mama Mee di Kota Jayapura. Mereka tidak pernah membayangkan hunian sederhana yang mereka kelola sejak tahun 1970an akan seperti saat ini. Lahan kebun bukan lagi ditanami sayuran, tapi gedung-gedung, kawasan hotel, deretan ruko, dan bangunan lainnya.

Kelompok mama ini berharap bahwa pemerintah dapat lebih bijaksana mengembangkan program-program pembangunan sehingga tetap menyediakan lahan kayak untuk mereka yang bekerja di kebun dan menghasilkan sayuran hijau bagi masyarakat di Kota Jayapura.

“Kalau tanah sudah tidak ada lagi bagi kami, bagaimana nasib kami dan keluarga kami?” ketiga mama bertanya-tanya.

Kebingungan tidak berhenti. Hilangnya akses untuk berkebun turut menghapus kemampuan Mama-mama Mee. Tanah bukan sekadar media pencetak uang. Buat mereka, tanah merupakan pusat kehidupan secara budaya, ekonomi, dan teologis.

Apabila pembangunan memang diperuntukkan masyarakat, seharusnya tiap orang dapat menikmatinya, termasuk perempuan. Berkaca pada pengalaman Mama-mama Mee, kunci pembangunan yang bijaksana semestinya melibatkan siapa pun dan berempati terhadap perempuan dalam peranannya serta pekerjaannya dalam lingkungan hidup. Perempuan berperan dalam produksi dan pengolahan pangan, mencakup mempromosikan praktik pertanian organik dan berkelanjutan.

Selain itu perempuan adalah penjaga tradisi pertanian lokal yang berkelanjutan. Peran perempuan dalam menjaga alam sangat penting dan memiliki dampak signifikan pada pelestarian lingkungan.

***

Catatan: Tulisan ini merupakan karya dari partisipan workshop menulis untuk perayaan International Women’s Day (Hari Perempuan Sedunia) 2024 bertema “Inspire Inclusion: Ambil, Rebut, Ciptakan, dan Pertahankan Ruang untuk Perempuan di Tanah Papua” yang didukung oleh Lao-Lao Papua, Elsham Papua, Yayasan iWaTaLi Papua, Parapara Buku, dan Yayasan Pusaka. Tulisan ini diedit oleh Narriswari.

Share:

Friday, January 25, 2019

PARPOL MENGHANCURKAN NASIONALISME GENERASI MUDA PAPUA

By. Angin Kurima

Image result for megaphone tua
Dahulu kamu menjadi prajurit Pro Merdeka untuk Papua.
Yang siap "Mati" dengan kaki berdebu & rela berkeringat di jalanan,
dengan megaphone tua. Jiwa dan Raga berani dikorbankan demi Ideologi & harapan.
Tetapi kini, tinggal kenangan kawan.

Garuda NKRI, dengan berbagai partai politik, sudah mampu mencoret semangatmu dengan tinta emas. Sedang kami mampu mencoretmu dengan darah dan air mata belaka.
Mungkin itu tidak cukup kuat untuk menahanmu.

Ayo kawan kita pulang ke jalan tua...
Ulangi canda kita di depan moncong senjata...
Dengan kopral tua dengan senandung kenangan lama...
Sadar kawan, tidak baik bergaya 5 tahun, satu periode.
Itu sama dengan menciptakan penjara kecil, dalam genggaman NKRI.
Karena, tidak pantas, untuk seorang pejuang.!
Lebih baik mati dalam pertempuran, dari pada mati dalam selimut musuh.
Nama baik & harga diri lebih berharga, dari pada harta-kekayaan.




Sumber : Akun fb Ngaliq Horanue Melanesia Payage
Share:

Saturday, December 23, 2017

PEMEKARAN BARU DI PAPUA : KEPENTINGAN ELIT VS KEPENTINGAN MASYARAKAT


Pemekaran wilayah merupakan fasilitas atau jembatan untuk mempermudah jangkauan pelayanan yang baik kepada masyarakat oleh pemerintah daerah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahterah dan meningkatkan kualitas hidup dalam segala aspek kehidupan baik pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, dan politik serta pembangunan infrastruktur yang memadai.



Tetapi Bila Mengikuti perkembangan media, terkait maraknya pemekaran dan rencana isu pemekaran baru di Papua sejak diterbitkannya UU otsus Papua no. 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Hingga kini, nampaknya sudah tidak murni lagi untuk mensejahterakan rakyat, tapi lebih pada kepentingan elite politik.  



Indikatornya terlihat dari perkembangan pembangunan di sebagian besar kabupaten dan kota pemekaran baru. Pemekaran atau lahirnya DOB, yang semetinya harus didukung administrasi yang matang, persiapan sumber daya manusia yang baik serta beberapa hal lainnya. Tetapi pemekaran baru di Papua bertolak belakang dari UU tentang syarat-syarat pemekaran, dan hampir semua pemekaran baru di Papua tidak memenuhi syarat yang ditentukan UU, tetapi hanya kepentingan elite politik belaka untuk mendapatkan jabatan dan tidak menutup kemungkinan tidak lain adalah untuk mendapatkan dana otonomi khusus yang berjumlah triliunan yang selama ini masyarakat mengeluhkan dan tidak perna menentu ke masyarakat



Berbagai masalah dan konflik vertikal dan orizontal pun tidak luput dari setiap daerah pemekaran baru di Papua. Karena daerah yang baru dimekarkan bukan untuk kepentingan pelayanan kepada masyarakat, hanya oleh segelintir elite yang mengajukan permohonan dengan berbagai alasan dan data yang tidak benar dan sebenarnya tidak layak untuk dimekarkan sehingga masyarakt kecil pun jadi korban. Akibatnya berbagai konflik antar keluarga, suku dan kelompok pun kerap terjadi.



Beberapa isue rencana pemekaran baru,sebaiknya lihat kesiapan dan ketentuan UU agar pelayanan di daerah pemekaran baru tepat tempat dan sasaran.





Yogyakarta, 31 Oktober 2012



Telius Yikwa


Share:

Wednesday, December 13, 2017

Telegram AS buktikan konspirasi Indonesia, PBB, AS dan Belanda menjajah West Papua

Tentara Papua yang dilatih oleh Belanda pada tahun 1962.

Jayapura,  - Orang-orang Papua terkemuka telah meminta Amerika Serikat (AS) untuk memberi mereka uang dan senjata pada pertengahan tahun 1960an untuk memerangi penjajahan Indonesia atas wilayah West Papua yang luas, menurut dokumen AS yang baru-baru ini dideklasifikasi yang menunjukkan lahirnya perjuangan kemerdekaan West Papua yang bertahan hingga saat ini, setengah abad kemudian.

Dokumen-dokumen tersebut menambah bukti historis keluhan orang-orang Papua yang mendalam terhadap Indonesia pada saat bentrokan antara pemberontak dan pasukan keamanan Indonesia telah berkobar di West Papua dan nasionalis Papua telah berhasil menarik perhatian lebih untuk tujuan mereka di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Menteri pertahanan Indonesia mengatakan pekan lalu bahwa para aktivis yang menghadiri pertemuan pro-Papua Merdeka baru-baru ini di Vanuatu harus ditangkap saat kembali ke Indonesia.

Berkas tersebut termasuk di antara ribuan halaman telegram antara Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar AS di Jakarta dari tahun 1960an yang dideklasifikasi awal tahun ini. 37 bundel telegram disimpan di Arsip Nasional dan Administrasi di Maryland, AS dan para periset sedang berupaya membuat dokumen-dokumen tersebut tersedia secara online.

Papua, yang merupakan bagian barat pulau raksasa New Guinea, tetap berada di tangan Belanda setelah Indonesia lepas dari pemerintahan kolonial Belanda pada akhir Perang Dunia II. Banyak orang Indonesia melihat kampanye pemerintah mereka di awal 1960-an untuk mencaplok West Papua dari Belanda sebagai kemenangan terakhir dalam perjuangan kemerdekaan mereka. Tapi bagi orang Papua, dengan budaya Melanesia dan sejarah yang berbeda dari Asia Tenggara, Indonesia adalah penjajah yang dimusuhi.

Seluruh dunia berpaling saat pemungutan suara (PEPERA) yang dicurangi dari lebih 1.000 orang Papua yang direkrut dan dikelola dengan baik memperkuat kontrol Indonesia pada tahun 1969. Belanda, yang sebelum aneksasi mempersiapkan West Papua untuk berpemerintahan sendiri, tidak keberatan. AS yang pada tahun 1967 membantu perusahaan pertambangan Amerika Freeport mendapatkan hak untuk mengeksploitasi deposit tembaga dan emas yang kaya di West Papua, tidak ingin mengecewakan status quo yang menguntungkan bagi usaha A.S. atau mengganggu stabilitas pro-pemerintan AS.
Telegram April 1966 dari Departemen Luar Negeri mencatat "kefasihan dan intensitas" Markus Kaisiepo, seorang pemimpin West Papua yang diasingkan, yang berbicara dengan pejabat senior A.S. tentang "penderitaan yang menyedihkan dari orang-orang Papua di bawah kekuasaan Indonesia."

Kaisiepo mengatakan bahwa orang Papua bertekad untuk memiliki kemerdekaan namun sama sekali tanpa sumber keuangan atau peralatan militer yang dibutuhkan untuk "bangkit melawan penindas Indonesia."

Kaisiepo, yang putranya juga menjadi advokat terkemuka untuk kemerdekaan Papua, bertanya apakah AS "dapat memberikan uang dan senjata secara diam-diam untuk membantunya dan gerakannya." Dia ditolak, seperti juga pemimpin West Papua lainnya, Nicolaas Jouwe, yang menyampaikan hal serupa kepada AS pada bulan September 1965 dan juga ke Australia.

Dokumen-dokumen tersebut juga menunjukkan bagaimana pejabat menjarah wilayah tersebut setelah Indonesia mencaploknya pada tahun 1962 yang mengakibatkan jatuhnya standar hidup, memicu kemarahan yang menjadi pemberontakan langsung. Namun, sumber kebencian terbesar adalah keengganan Indonesia untuk menghormati perjanjian yang diawasi AS, PBB dan Belanda, yang mengamanatkan bahwa orang Papua akan memutuskan secara plebisit apakah akan tetap bersama dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai negara berdaulat.
Setelah pasukan PBB meninggalkan Papua, orang Indonesia secara sistematis menjarah bangunan umum dan mengirim barang rampasan ke Jakarta. Ini disebutkan dalam telegram April 1966 sebagaimana dikutip Kaisiepo. Rumah sakit yang dibangun oleh Belanda dilucuti tempat tidurnya, peralatan sinar-X dan obat-obatan, meja-meja diambil dari sekolah-sekolah dan tentara mencuri apa saja "yang diinginkan mereka" dari rumah-rumah pribadi.

Telegram lain juga mengutip misionaris Amerika yang bekerja di Papua menggambarkan kekurangan pangan yang meluas, dan bagaimana pejabat Indonesia membeli semua barang konsumsi lalu mengirimkannya keluar dari Papua untuk mendapatkan keuntungan. Saat pengiriman barang dan makanan tiba di pelabuhan, tentara Indonesia akan mengkawalnya.

Victor Yeimo, ketua Komite Nasional Papua Barat yang pro kemerdekaan, mengatakan bahwa dokumen tersebut "sangat penting" karena memberikan bukti kejahatan terhadap orang Papua oleh militer Indonesia dan peran AS dalam menolak penentuan nasib sendiri. Secara administratif, Indonesia membagi wilayah ini menjadi dua provinsi, Papua dan Papua Barat, namun orang Papua menyebut keduanya sebagai Papua Barat atau Tanah Papua.
"Informasi yang diperoleh dari dokumen-dokumen ini menunjukkan kepada dunia dan generasi sekarang bahwa AS dan Indonesia selalu saling membantu dalam menyembunyikan kebenaran selama ini. Kepentingan ekonomi dan politik AS memainkan peran besar dalam penjajahan Papua Barat," kata Yeimo. "Kami, orang West Papua, telah dibantai sejak pertama kali Indonesia memasuki tanah kami dan sampai sekarang. Dan kita belum pernah melihat keadilan. "

Orang Papua bukan tanpa pendukung di Kedutaan Besar AS di Jakarta namun pandangan mereka tidak didengarkan. Pada bulan Agustus 1965, petugas politik kedutaan Edward E. Masters merekomendasikan untuk membocorkan kabar mengenai pemberontakan dan kekerasan terhadap peraturan Indonesia di West Papua kepada pers dunia. Tanpa silau publisitas, orang Papua akan mengalami "penaklukan kolonial yang sempurna" oleh Indonesia, tulisnya dalam sebuah telegram.

Mengutip peran A.S. dalam menegosiasikan perjanjian 1962 antara Belanda dan Indonesia, Masters menulis "Tampaknya kita memiliki tanggung jawab khusus untuk melihat bahwa persyaratan perjanjian tentang pemenuhan keinginan sejati orang-orang Papua dihormati."
Telegram lain yang ditulis oleh Duta Besar Marshall Green, bagaimanapun,
menggambarkan orang Papua sebagai orang "zaman batu". "Cakrawala mereka sangat terbatas," katanya, dan mereka tidak dapat menentukan masa depan mereka sendiri, bertentangan dengan penilaian lain yakni keinginan masyarakat Papua untuk kemerdekaan.
Berita tentang pemberontakan dengan kekerasan, yang dimulai sekitar bulan Maret 1965, mulai muncul dari West Papua saat misionaris Amerika yang bekerja di wilayah tersebut mengunjungi Jakarta dan pejabat kedutaan mendapatkan sumber informasi militer Indonesia.

Pada bulan Juni 1965, pemberontak melancarkan serangan skala penuh ke sebuah posko pemerintah di kota Wamena yang menewaskan setidaknya selusin tentara Indonesia dan sejumlah orang Papua yang tidak dikenal.
"Tidak ada angka jumlah orang Papua yang terbunuh tapi satu informan menggambarkannya sebagai 'pembantaian', karena hampir satu-satunya senjata di tangan orang-orang Papua di dataran tinggi adalah pisau, busur dan anak panah," kata sebuah telegram yang dikirim dua bulan kemudian.

Dokumen yang sama melaporkan bahwa pemberontak menguasai sebagian besar Manokwari, sebuah kota pesisir utama, pada awal Agustus dan menahannya selama seminggu sampai dihantam balik oleh tentara Indonesia.
Pembantaian oleh pasukan Indonesia bulan sebelumnya mungkin merupakan katalisator untuk serangan tersebut.

Seorang misionaris Belanda mengatakan kepada pejabat AS bahwa pemberontak telah menembak tiga tentara yang membawa sebuah bendera di lembah dekat Manokwari pada akhir Juli.
"Reaksi Indo brutal," kata sebuah telegram yang ditransmisikan pada bulan September 1965. "Tentara pada hari berikutnya menghamburkan peluru pada orang Papua yang terlihat dan banyak orang tidak bersalah di jalan ditembak mati. Kepahitan yang diciptakan tidak mudah disembuhkan. "

Pada awal 1967, ada desas-desus yang terus berlanjut di dalam dan di luar negeri bahwa 1.000 sampai 2.000 orang Papua telah terbunuh oleh sebuah kampanye pengeboman Angkatan Udara Indonesia.

Pemerintah Indonesia membantahnya dengan menyatakan bahwa 40 orang terbunuh dalam "pemberondongan" yang dilakukan oleh seorang pembom angkatan udara sebagai respon atas penyergapan polisi paramiliter, menurut sebuah telegram pada bulan April 1967.
Dua orang polisi terluka dalam penyergapan tersebut. (*)





Sumber : www.tabloidjubi.com
Share:

Thursday, October 19, 2017

PENGERTIAN EKOSISTEM PERTANIAN



     Ekosistem pertanian adalah berbagai unit dasar aktivitas pertanian yang terkait secara ruang dan fungsi, yang mencakup komponen biotik dan abiotik dan interaksinya. 

      Ekosistem pertanian berada di tengah-tengah aktivitas pertanian manusia. Namun ekosistem pertanian tidak terbatas pada lokasi tempat aktivitas pertanian berada (lahan usaha tani), tetapi juga wilayah yang terpengaruh oleh aktivitas pertanian karena siklus kimiawi maupun rantai makanan. Biasanya ekosistem pertanian,  khususnya yang dikelola secara intensif, dicirikan dengan memiliki komposisi spesies yang tidak beragam, rantai energi dan aliran nutrisi yang lebih sederhana dibandingkan yang terjaid di ekosistem alami. Sehingga ekosistem pertanian seringkali dikaitkan dengan peningkatan penggunaan nutrisi yang mengakibatkan eutrofikasi pada ekosistem terkait yang tidak terlibat langsung dalam aktivitas pertanian. 

      Hamparan luas dalam suatu area yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi kemudian diolah sedemikian rupa oleh manusia untuk usaha pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dikenal dengan agroekosistem. 

      Agroekosistem inilah yang harus dijaga kelestariannya demi kelangsungan generasi berikutnya.  Hal ini disebabkan karena kerusakan-kerusakan yang terjadi di alam atau di agroekosistem akibat penerapan sistem budidaya yang kurang tepat.

       Agroekosistem berasal dari kata sistem, ekologi dan agro.  Sistem adalah suatu kesatuan himpunan komponen-komponen yang saling berkaitan dan pengaruh-mempengaruhi sehingga di antaranya terjadi proses yang serasi.  Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya. Sedangkan ekosistem adalah  sistem yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang terlibat dalam proses bersama (aliran energi dan siklus nutrisi).

Komponen Agroekositem

1.      Komponen biotik
Pengertian Komponen biotik adalah komponen lingkungan yang terdiri atas makhluk hidup.
Misalnya Manusia, hewan, tumbuhan, microorganisme,  dll.

2.      Komponen Abiotik
Komponen abiotik merupakan komponen penyusun ekosistem yang terdiri dari benda-benda tak hidup.
Misalnya Air, tanah, udara, cahaya, suhu, kelembapan, angin, derajat keasaman (pH), iklim, topografi, dll.


Demikian artikel tentang Pengertian Ekosistem Pertanian.
Semoga Bermanfaaat...

Telius Yikwa
 
Refrensi .
1.      https://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistem_pertanian/ , diakses pada tanggal 12 Oktober 2017;
2.      http://chyrun.com/mengenal-agroekosistem-ekosistem-pertanian/, diakses pada tanggal 12 Oktober 2017;  
3.      https://drive.google.com/file/d/0B7hN2Slji5oJSVNZLWxCTGZKY2c/view, diakses pada tanggal 14 Oktober 2017.
Share:

Wednesday, October 18, 2017

INILAH YANG TERJADI DI PAPUA

 IMG_0605

Papua… Ya, Papua
Papua dianeksasi oleh Indonesia tahun 1969 melalui pepera yang cacat hukum dan tak bermoral dimana proses pepera penuh manipulative.

Hingga tahun ini (2015), NKRi di Papua sudah 53 tahun terhitung sejak trikora 19 Desember 1961. Pemerintah NKRI jadikan Papua daerah opersi militer (DOM) sejak tahun 1960-an hingga tahun 1990-an.

Dilihat dari kenyataan hingga saat ini, berbagai kebijakkan politik Jakarta dan keberadaan militer di Papua, pemerintah Indonesia di Jakarta tidak memiliki hati untuk membangun dan mensejahterahkan rakyat Papua. Daerah Operasi Militer (DOM)terus berlanjut hingga saat ini. Pembunuhan rakyat sipil tak berdosa terus berlanjut, berbagai produk hukum NKRI tidak perna berlaku bagi Papua. Para penegak hukum sendiri menjadi pelanggar hukum itu di Papua.

Angka kematian orang Papua dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pemerintah Jakarta melalui menteri kesehatan menjalankan program KB.  Anehnya, di Jawa penduduknya banyak ini program yang bertujuan membatasi angka kelahiran ini jarang dipromosikan. Sedangkan, di Papua dimana angka kematian yang banyak dan jumlah penduduk yang kurang itu tetapi program KB seakan sesuatu yang menjanjikan dan dipromosikan lewat berbagai macam lembaga dan berbagai cara. 


Apakah benar bahwa Indonesia Ingin musnakan pemilik bumi Papua (genosida)dari bumi Papua itu?

Sementara itu, kekayaan alam milik  masyakarat adat terus dikuras oleh pemerintah pusat di Jakarta. Hak-hak masyarakat adat tidak perna diperhitungkan sama sekali. Seakan hukum agraria tidak ada di Negara yang mengakunya Negara hukum satu ini.

Pemerintah Jakarta melalui Megawati Sukarno Putri, anak presiden pertama NKRI satu ini melahirkan UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Papua. Dalam UU No 21 tahun 2001 pasa 2 ayat menyatakan bahwa “Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah”. Tetapi kenyataannya, orang Papua dilarang membawa dan memakai gambar, gelang, noken atau apapun yang bergambar Bintang Kejoran yang mana ia adalah lambang jati diri dan kebesaran orang Papua, apa lagi dikibarkan bendera Bintang Kejora? Hukumannya pasti ditembak mati.

Terkait lagu daerah, polisi di Papua biasa sita Handpone atau laptop dan barang lain yang bisa simpan lagu dan jika ada lagu bahasa daerah di dalam, pasti barang tersebut akan ditahan atau dibanting hingga rusak tak berfungsi lagi. “NKRI Perkosa Hukumnya sendiri”.

Karena otsus gagal diterapkan di Papua, Rezim Susilo Bambang Yudoyono, pemerintah Jakarta bentuk program baru yang namanya unit percepatan pembangunan atau UP4B. program ini pun tidak menjawab persoalan di Papua. UP4B terlihat lebih ke bidang pendidikan, namun apa yang terjadi?
UP4B bentukan SBY ini ternyata bertujuan tidak lain adalah merusak masa depan orang Papua melalu program yang dijalankan olehnya.

Salah satu dari UP4B adalah Afirmasi dimana program ini merekrut anak-anak Papua yang pintar, IQ bagus dan nilainya baik di tingkat SD, SMP dan SMA dan sederajatnya melalu seleksi ujian dengan tujuan membantu melanjutkan pendidikan mereka. Kenyataan yang terjadi  adalah terbalik. Anak-anak Papua  yang direkrut oleh program UP4B ini dilantarkan di beberapa pulau di luar Papua seperti Jawa, Sulawesi dan Sumatera.

Mereka dikirim keluar pulau Papua dengan berbagai janji bahwa akan dibantu hingga selesia studi. Tetapi kenyataan mengatakan bahwa program itu mampu membatu hanya semester 1 dan 2 saja sehingga anak-anak Papua keluar Papua dengan penuh semangat belajar ini pun berkahir sampai di semester 2 saja lantaran bantuan program SBY itu tidak berlanjut sehingga mereka terpaksa menerima nasib buruk. Tidak yang seperti yang dimimpikan sejak mereka memulai sekolah di bangku TK, SD dan selanjutnya. Masa depan anak-anak Papua akhirnya dihancurkan oleh program UP4B yang dibentuk Susilo Bambang Yudohyono itu.

Anak-anak Papua yang direkrut UP4B itu tidak beraktivitas layaknya seorang mahasiswa atau pelajar seperti yang lainnya karena semuanya dibatasi oleh sistem UP4B Itu sendiri yang terlihat dan kesannya mengarahkan penghancuran masa depan anak-anak Papua dan Pelanggaran kebebasan hak sebagai manusia.


Lalu bagaimana dengan Kebebasan sebagai salah satu hak dasar  mansuia?

Berbicara tentang kebebasan adalah hak dasar setiap orang di muka bumi ini. Dalam hal tertentu diatur oleh peraturan agar kebebasan itu tidak menyakiti orang lain.

Terkait kebebasan, dalam hal Kebebasan berkumpul, kebebasan berdiskusi, kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi dan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin oleh “UU No 9 tahun 2008 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum”. Tetapi kenyataan yang terjadi di Papua sangatlah memprihatinkan. Gambar atau Lagu berbahasa daerah saja disita oleh pihak penegak hukum apa lagi untuk berkumpul, berdiskusi atau bahkan menyampaikan pendapat di muka umum? Rakbut gimbal karena orangnya suka dengan lagu reggae atau hanya stile saja pasti ditahan. Sebelum ditahan, saya jamin pasti dianiaya terlebih daluhu, ditahan lalu diinterogasi.

Ruang bagi orang Papua benar-benar dibatasi bahkan khusus ruang demokrasi dibungkam atau digembok sehingga tidak ada sedikit kesempatan bagi orang Papua.

Demikian pula dengan ruang bagi wartawan atau journalist asing di Papua terkunci dan tidak perna dibuka sedikit pun sehingga berbagai peristiwa penting yang terjadi di Papua tidak perna terungkap di muka umum atau tidak diketahui oleh orang luar Papua.

Sangat Banyak kebijakan NKRI di Papua yang bertujuan bukan untuk membangun rakyat Papua tetapi memusnakan orang Papua dari atas tanahnya sendiri, tetapi cukup dulu. Ini baru awal mau mulai, pembahasan satu persatu di berbagai bidang kita bahas lagi nanti .



#105, Kamasan 1.Yogyakarta
19 Januari 2015
Telius Yikwa
Share:

Me

Me

Followers

Postingan saya di Wordpress

Yikwagwe Post