Coretan & Berbagi Informasi

Showing posts with label Peristiwa. Show all posts
Showing posts with label Peristiwa. Show all posts

Wednesday, March 27, 2024

Berulang kali terjadi, kasus prajurit TNI siksa warga Papua


 

Jayapura,  – Kasus prajurit TNI menyiksa warga sipil Papua telah berulang kali terjadi, sebagaimana yang terlihat dalam video viral penyiksaan warga sipil Kabupaten Puncak oleh sejumlah terduga prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya. Penegakan hukum yang keras dan tegas, serta evaluasi penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua, mendesak dilakukan. 


Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey mengatakan sejak 2020 Komnas HAM Papua telah menangani beberapa kasus dugaan penyiksaan yang dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil. “Dalam pengalaman Komnas HAM di Papua [kasus penyiksaan terhadap warga sipil] bukan yang pertama kali terjadi di Papua,” ujar Ramandey di Kota Jayapura, Papua, pada Senin (25/3/2024).

Ramandey mencontohkan kasus penyiksaan dan pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah, pada September 2020. Ia juga menyebut kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas di Merauke pada Juli 2021.

Pada tahun 2022, Komnas HAM Papua juga menangani kasus penyiksaan warga sipil di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan, serta kasus penyiksaan tujuh anak di Kabupaten Puncak. Ada pula kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, juga kasus penyiksaan tiga anak di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. 

Ramandey mengatakan dari kasus-kasus yang ditangani Komnas HAM menunjukan penyiksaan yang dialami warga sipil itu sangat brutal, tidak manusiawi dan melanggar Hak Asasi Manusia. Menurut Ramandey metode penyiksaan hampir mirip digunakan ABRI pada masa rezim Orde Baru.

“Di dalam markas-markas satuan tugas [kesatuan TNI dari luar Papua yang tengah menjalani] Bawah Kendali Operasi,  cenderung melakukan penyiksaan berulang-ulang. [Modus] yang dipakai [adalah] modus rezim Orde Baru, menggunakan drum, orang diikat, tidak berdaya, sehingga [pelaku] dengan sangat bebas melakukan penyiksaan,” katanya.

Ramandey mengatakan penyiksaan ini hanya akan memperpanjang siklus kekerasan yang terjadi di Papua. Ramandey mengatakan para prajurit TNI yang bertugas di Papua harus diberikan pembekalan yang baik mengenai HAM. Selain itu para prajurit yang terlibat dalam kasus penyiksaan harus diproses hukum secara tuntas. 

Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey (tengah) bersama Ketua Tim Pemantauan dan Penyuluhan Komnas HAM Papua, Melchior S Weruin (kiri) dan Analis Pelanggaran HAM, Muhamad Ridwan Herdika (kanan) saat memberikan keterangan di Kota Jayapura, Papua, pada Sabtu (23/3/2024) terkait kasus penyiksaan yang dilakukan prajurit TNI di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. – Jubi/Theo Kelen

“Kalau tidak siklus kekerasan itu terus berulang, karena [penyiksaan yang terjadi] akan menimbulkan kebencian, dendam, kemarahan. Itu juga menjadi fakta [bahwa prajurit TNI] yang ditugaskan ke Papua itu [harus] diberi pembekalan yang baik,” kata Ramandey.

Ramandey mengatakan harus ada evaluasi atas penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua. Ia juga meminta evaluasi atas penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua di Bawah Kendali Operasi (BKO) Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III. Menurut Ramandey, pasukan TNI dari luar Tanah Papua lebih baik ditempatkan di bawah kendali Komandan Daerah Militer (Kodam) setempat.

Ramandey meyakini konflik Papua hanya bisa diselesaikan dengan baik  melalui dialog damai. Ia mengatakan Negara harus berani membuka ruang dialog damai tersebut, termasuk dialog kemanusiaan yang pernah didorong Komnas HAM pada 2023.

“Tidak ada mekanisme lain dalam penyelesaian konflik, karena sampai hari ini dunia hanya mengaku satu mekanisme, yaitu mekanisme dialog. Kalau TPNPB dibunuh habis, itu akan menimbulkan masalah hukum, dan anak-anaknya akan dendam. Negara harus membuka ruang itu supaya orang-orang baik TPNPB, mereka diberi ruang untuk duduk bicara,” ujarnya.

Berulang karena impunitas

Dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu (23/3/2024), Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan hak setiap orang untuk terbebas dari penyiksaan adalah bagian dari norma-norma yang diakui dan ditaati secara internasional (peremptory norms atau jus cogens). Usman mengatakan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 20 terhadap Pasal 7 ICCPR telah menegaskan tidak seorang pun dapat dikenai praktik penyiksaan/perlakuan/penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dalam keadaan apapun. 

“Tidak seorangpun di dunia ini, termasuk di Papua, boleh diperlakukan tidak manusiawi dan merendahkan martabat, apalagi sampai menimbulkan hilangnya nyawa,” tulis Usman.

Usman mengatakan larangan terhadap praktik penyiksaan juga telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Tortureand Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).  “Keseluruhan aturan tersebut semakin menegaskan bahwa tidak seorang pun patut disiksa atas alasan apapun,” tegas Usman.  


Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. – IST

Usman meminta TNI mengevaluasi penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua. Usman menilai selama ini penempatan pasukan dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua telah menimbulkan jatuhnya korban dari warga sipil di Papua.

Dari catatan Jubi, prajurit TNI diduga berulang kali terlibat penyiksaan terhadap warga sipil di Papua. Pada 22 Februari 2022, prajurit TNI menganiaya tujuh anak di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, setelah prajurit Batalyon Infanteri Mekanis 521/Dadaha Yodha, Prada Kristian Sandi Alviando kehilangan senjata SS2 di hanggar PT Modern, Bandara Tapulunik Sinak, Kabupaten Puncak. Tujuh anak yang mengalami penyiksaan yaitu Deson Murib, Makilon Tabuni, Pingki Wanimbo, Waiten Murib, Aton Murib, Elison Murib, dan Murtal Kulua. Makilon Tabuni kemudian meninggal dunia.

Pada 22 Agustus 2022, sejumlah prajurit TNI  membunuh dan memutilasi empat warga Nduga di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika. Keempat korban pembunuhan dan mutilasi itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.

Pada 28 Agustus 2022, prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang diduga menangkap dan menganiaya empat orang warga yang mabuk di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan. Keempat warga yang ditangkap karena mabuk itu adalah Amsal Pius Yimsimem, Korbinus Yamin, Lodefius Tikamtahae, dan  Saferius Yame. Komnas HAM Papu menyatakan bahwa keempat warga itu juga mengalami penganiayaan sejak jam 23.00 – 03.00 WP, sehingga mengalami luka di sekujur tubuh mereka. 

Pada 30 Agustus 2022, prajurit yang bertugas di Pos Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi diduga melakukan penganiayaan yang menyebabkan Bruno Amenim Kimko meninggal dunia, dan Yohanis Kanggun luka berat. Sejumlah 18 prajurit Satuan Tugas Batalion Infanteri Raider 600/Modang menjadi tersangka dalam kasus itu.

Pada 27 Oktober 2022, tiga anak di Kabupaten Keerom yaitu Rahmat Paisei (15) bersama Bastian Bate (13), dan Laurents Kaung (11) diduga dianiayai di parjurit TNI di Pos Satuan Tugas (Satgas) Damai Cartenz, Jalan Maleo, Kampung Yuwanain, Arso II, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua. Ketiga anak itu dianiayai menggunakan rantai, gulungan kawat dan selang air, hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit. 

Pada 22 Februari 2023, prajurit TNI Angkatan Laut – AL di Pos Lantamal X1 Ilwayap diduga menganiaya warga bernama Albertus Kaize dan Daniel Kaize di Posal Lantamal XI di Kampung Wogikel, Distrik Ilwayap, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.  Akibat penganiayaan tersebut korban Albertus Kaize meninggal dunia.

Usman mengkritik praktik impunitas terhadap para terduga pelaku berbagai kasus terdahulu telah menyebabkan kasus penyiksaan warga sipil oleh prajurit TNI terjadi berulang kali dan selalu berulang. “Tindakan itu bisa terulang karena selama ini tidak ada penghukuman atas anggota yang terbukti melakukan kejahatan penculikan, penyiksaan, hingga penghilangan nyawa,” ujarnya. (*) 



Penulis: Theo Kelen 

Editor: Aryo Wisanggeni G

Sumber : jubi.id


Share:

Sunday, January 13, 2019

Konflik Antara Kelompok



Konflik horisontal adalah konflik antara etnis yang kebanyakan di ciptakan oleh kapitalis (Pemodal) & Kolonial ,gunanya utk memecabela persatuan rakyat pribumi setempat dan untuk memperluas wialayah jajahan . Konflik horisontal juga dilahirkan ketika daerah tersebut mengandung sumber daya alam yang melimpah contohanya seperti di daerah Mimika West Papua.

Konflik diciptakan agar rakyat pribumi hidup dalam ketakutan antara etnis( tidak bersatu). Konflik juga gunanya untuk mengalika pikiran rakyat untuk tidak ,memikirkan masalah pendidikan,kesehatan,pencemaran linkungan, ekopol dan masalah Jati dirinya sebagai satu Bangsa yaitu Bangsa West Papua yang harus merdeka dari kapital & Kolonial Indonesia.

Konflik manapun pasti ada kepentingan Ekonomi-politik di dalamnya. Makanya Tete kumis bilang ,kalau mau menlihat permasalahnya secara detail sampai ke akar2nya kita harus menlihat dari Materialisme Dialetika dan Historis. Setelah itu lihat lagi apa kepentingan Ekopolnya Indonesia dan Negara2 kapitalis di di West Papua dan pada khususnya daerah Mimika West Papua.
" cuma coret bukan Analisis.
Share:

Monday, January 29, 2018

Rentetan Wabah Yang Merenggut Nyawa Orang Papua


Seorang anak penderita Gizi Buruk di Asmat.

Berikut adalah Rentetan Wabah Yang Merenggut Nyawa Orang Papua :

  1. Tahun 2004, 108 Balita Meninggal di Kab. Paniai.
  2. Tahun 2008, 294 Orang Meninggal di Kab. Dogiyai (dalam 2 Minggu)
  3.  Tahun 2010, 40 Orang Meninggal di Kab. Intan Jaya ( dalam 1 Minggu)
  4. Tahun 2012-2013, 95 Orang Meninggal di Kab. Tambrauw ( dalam satu Bulan)
  5. Tahun 2013, 95 Orang Meninggal di Kab. Yahukimo ( dalam 3 Minggu)
  6. Tahun 2015, 128 Balita Meninggal di Kab. Nduga ( dalam 4 Minggu)
  7. Tahun 2016, 56 Balita Meninggal di Kab. Ndugama ( dalam 2 Minggu).
  8. Tahun 2017, 40 Lebih Balita Meninggal di Kab. Deiyai dalam 1 minggu, Namun Belum Juga Ada Penanganan Serius Dari Pihak Terkait.
  9. Yang terbaru tahun 2018 lebih dari 69 balita (yang diketahui) meninggal karena gizi buruk/campak ( dalam satu minggu lebih)
  10. Tahun 2017, bulan desember sampai 2018, bulan januari, lebih dari 60 an Orang meninggal di Dogiyai bagian Mapia.
  11. Tahun 2018, 100 Orang Meninggal dalam 14 Hari dari Rumah Sakit Umum Jayapura (dalam bulan Januari 2018).
  12. Tahun 2018, 36 Orang Meninggal dalam 2 Hari dari Rumah Sakit Umum Siriwini Nabire. ( dalam Bulan Januari tanggal 1 dan 2 Januari).



"Sebenarnya Ini Wabah Penyakit atau Memang Skenario Negara Untuk Memusnahkan Orang Asli Papua Dari Atas Tanah Leluhur Mereka Sendiri ??



Negara hanya menginginkan gas senilai 45 miliar barel dan virus gizi buruk/campak adalah taktik yang digunakan untuk merelokasi (memindahkan dari tempat awal) masyarakat guna memuluskan izin masuk perusahaan.



Perusahaan yang masuk pun membantu skenario pembantaian masyarakat adat di atas tanah papua, sebut saja seperti PT.Dewa di Deiyai dan banyak kasus serupa, apakah akan hadir dewa" pembantai/kematian nyawa manusia di asmat?



Belajarlah dari sejarah !
Bahwa tidak ada satupun perusahaan tambang, gas, minyak dll, di seluruh dunia yang mensejahterakhan masyarakat adat disekitar tambang atau perusahaan sejenis beroperasi.

Dan yg terpenting adalah belajarlah dari pembantaian secara sistematis diseluruh tanah air West Papua, are you'll be the next one?



Data Diatas Hanyalah Sebagian Kecil Dari Banyaknya Rentetan Kasus Serupa Yang Terjadi di Tanah PAPUA.



Solusi West Papua merdeka, keluar dari nkri!!!





Sumber Data :







------------------------------------------------------------------------






Share:

Wednesday, December 13, 2017

Files Show Birth of Papua Independence Struggle


JAKARTA, Indonesia— Prominent Papuans pleaded for the U.S. to give them money and arms in the mid-1960s to fight Indonesia’s colonization of their vast remote territory, according to recently declassified American files that show the birth of an independence struggle that endures half a century later.


The documents add to the historical evidence of deep Papuan grievances against Indonesia at a time when clashes between rebels and Indonesian security forces have flared in the impoverished region and Papuan nationalists have succeeded in drawing more attention to their cause at the United Nations. Indonesia’s defense minister said last week that activists who attended a recent pro-Papuan independence meeting in Vanuatu should be arrested on return to Indonesia.


The files are among the thousands of pages of cables between the State Department and the U.S. Embassy in Jakarta from the 1960s that were declassified earlier this year. The 37 boxes of telegrams are stored at the National Archives and Records Administration in Maryland and researchers are working on making them available online.


Papua, which makes up the western half of the giant island of New Guinea, remained in Dutch hands after Indonesia shook off colonial rule at the end of World War II. Many Indonesians saw their government’s campaign in the early 1960s to take Papua from the Dutch as the final victory in their struggle for independence. But to Papuans, with a Melanesian culture and history distinct from Southeast Asia, Indonesia was a hostile colonizer.


The rest of the world looked away as a rigged vote of a little more than 1,000 hand-picked and closely managed Papuans cemented Indonesia’s control in 1969. The Netherlands, which before annexation was preparing Papua for self-rule, did not object. The U.S., which in 1967 helped American mining company Freeport secure rights to exploit rich copper and gold deposits in Papua, did not want to upset a status quo favorable for U.S. business or destabilize Indonesia’s pro-U.S. government.


An April 1966 cable from the State Department recorded the “eloquence and intensity” of Markus Kaisiepo, an exiled Papuan leader, who spoke with a senior U.S. official about the “desperate plight of the Papua people under Indonesian rule.”


Kaisiepo said Papuans were determined to have independence but were completely without financial resources or the military equipment needed to “rise against the Indonesian oppressors.”


Kaisiepo, whose son would also become a prominent advocate for Papuan independence, asked if the U.S. “could provide money and arms secretly to assist him and his movement.” He was rebuffed, as was another Papuan leader, Nicolaas Jouwe, who made a similar request to the U.S. in September 1965 and also to Australia.


The documents also show how officials looted the region after Indonesia annexed it in 1962 and brought about a collapse in living standards, stoking anger that boiled over into outright rebellion. But the biggest source of resentment was Indonesia’s reluctance to honor its U.N.-supervised and U.S.-brokered treaty with the Netherlands, which mandated that Papuans would decide in a plebiscite whether to stay with Indonesia or become self-ruled.


After U.N. troops left Papua, Indonesians systematically looted public buildings and sent the booty to Jakarta, the April 1966 cable said, citing Kaisiepo. Hospitals built by the Dutch were stripped of beds, X-ray equipment and medicines, desks were taken from schools and soldiers stole anything “that took their fancy” from private homes.

Other cables citing American missionaries working in Papua described widespread food shortages, and how Indonesian officials bought up all consumer goods and shipped them out of Papua for a profit. When shipments of goods and food arrived at ports, Indonesian troops would commandeer them.


Victor Yeimo, chairman of the pro-Independence West Papuan National Committee, said the documents are “very important” because they provide evidence of crimes against Papuans by the Indonesian military and the U.S. role in denying self-determination. Administratively, Indonesia divides the region into two provinces, Papua and West Papua, but Papuans refer to both as West Papua.


“Information gained from these documents shows the world and today’s generation that the U.S. and Indonesia have been hand-in-hand in hiding the truth all along. The economic and political interests of the U.S. played a big role in West Papua’s colonization,” Yeimo said. “We, West Papuans, have been butchered since Indonesia first entered our land and up to now. And we have never seen any justice.”


Papuans were not without supporters in the U.S. Embassy in Jakarta but their views did not prevail. In August 1965, the embassy’s political officer Edward E. Masters recommended the department leak word of violent uprisings against Indonesia’s rule in Papua to the world press. Without the glare of publicity, Papuans would suffer “complete colonial subjugation” by Indonesia, he wrote in a prescient cable.


Citing the U.S. role in negotiating the 1962 treaty between the Netherlands and Indonesia, Masters wrote “we would appear to have a special responsibility to see that the terms of that treaty concerning ascertainment of the true wishes of the Papuan people are respected.”

Another cable written by Ambassador Marshall Green, however, described Papuans as “stone-age” people. Their “horizons are strictly limited,” it said, and they weren’t capable of deciding their own future, contradicting other assessments by the embassy of Papuans’ widespread desire for independence.


Word of violent uprisings, which began about March 1965, began trickling out of Papua as American missionaries who were working in the region visited Jakarta and embassy officials tapped sources in the Indonesian military for information.


In June 1965, rebels launched a full-scale attack on a government post in the town of Wamena that killed at least a dozen Indonesian soldiers and an unknown number of Papuans.

“No figure on the number of Papuans killed is available but one informant described it as a ‘slaughter,’ since almost the only weapons in the hands of the highland Papuans were knives and bows and arrows,” said a cable sent two months later.


The same document reported that rebels overran most of Manokwari, a major coastal town, in early August and held it for a week until beaten back by Indonesian soldiers.

A massacre by Indonesian forces the previous month may have been a catalyst for that attack.


A Dutch missionary told U.S. officials that rebels had shot three soldiers raising a flag in a valley near Manokwari in late July.

“Indo reaction was brutal,” said a cable transmitted in September 1965. “Soldiers next day sprayed bullets at any Papuan in sight and many innocent travelers on roads gunned down. Bitterness thus created not easily healed.”


By early 1967, there were persistent rumors within Indonesia and abroad that 1,000 to 2,000 Papuans had been killed by an Indonesian air force bombing campaign.


The Indonesian government denied it, asserting instead that 40 tribesmen were killed in “strafing” runs by an air force bomber in response to an ambush of paramilitary police, according to an April 1967 cable.

The number of police wounded in the ambush: two.

___



Share:

Telegram AS buktikan konspirasi Indonesia, PBB, AS dan Belanda menjajah West Papua

Tentara Papua yang dilatih oleh Belanda pada tahun 1962.

Jayapura,  - Orang-orang Papua terkemuka telah meminta Amerika Serikat (AS) untuk memberi mereka uang dan senjata pada pertengahan tahun 1960an untuk memerangi penjajahan Indonesia atas wilayah West Papua yang luas, menurut dokumen AS yang baru-baru ini dideklasifikasi yang menunjukkan lahirnya perjuangan kemerdekaan West Papua yang bertahan hingga saat ini, setengah abad kemudian.

Dokumen-dokumen tersebut menambah bukti historis keluhan orang-orang Papua yang mendalam terhadap Indonesia pada saat bentrokan antara pemberontak dan pasukan keamanan Indonesia telah berkobar di West Papua dan nasionalis Papua telah berhasil menarik perhatian lebih untuk tujuan mereka di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Menteri pertahanan Indonesia mengatakan pekan lalu bahwa para aktivis yang menghadiri pertemuan pro-Papua Merdeka baru-baru ini di Vanuatu harus ditangkap saat kembali ke Indonesia.

Berkas tersebut termasuk di antara ribuan halaman telegram antara Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar AS di Jakarta dari tahun 1960an yang dideklasifikasi awal tahun ini. 37 bundel telegram disimpan di Arsip Nasional dan Administrasi di Maryland, AS dan para periset sedang berupaya membuat dokumen-dokumen tersebut tersedia secara online.

Papua, yang merupakan bagian barat pulau raksasa New Guinea, tetap berada di tangan Belanda setelah Indonesia lepas dari pemerintahan kolonial Belanda pada akhir Perang Dunia II. Banyak orang Indonesia melihat kampanye pemerintah mereka di awal 1960-an untuk mencaplok West Papua dari Belanda sebagai kemenangan terakhir dalam perjuangan kemerdekaan mereka. Tapi bagi orang Papua, dengan budaya Melanesia dan sejarah yang berbeda dari Asia Tenggara, Indonesia adalah penjajah yang dimusuhi.

Seluruh dunia berpaling saat pemungutan suara (PEPERA) yang dicurangi dari lebih 1.000 orang Papua yang direkrut dan dikelola dengan baik memperkuat kontrol Indonesia pada tahun 1969. Belanda, yang sebelum aneksasi mempersiapkan West Papua untuk berpemerintahan sendiri, tidak keberatan. AS yang pada tahun 1967 membantu perusahaan pertambangan Amerika Freeport mendapatkan hak untuk mengeksploitasi deposit tembaga dan emas yang kaya di West Papua, tidak ingin mengecewakan status quo yang menguntungkan bagi usaha A.S. atau mengganggu stabilitas pro-pemerintan AS.
Telegram April 1966 dari Departemen Luar Negeri mencatat "kefasihan dan intensitas" Markus Kaisiepo, seorang pemimpin West Papua yang diasingkan, yang berbicara dengan pejabat senior A.S. tentang "penderitaan yang menyedihkan dari orang-orang Papua di bawah kekuasaan Indonesia."

Kaisiepo mengatakan bahwa orang Papua bertekad untuk memiliki kemerdekaan namun sama sekali tanpa sumber keuangan atau peralatan militer yang dibutuhkan untuk "bangkit melawan penindas Indonesia."

Kaisiepo, yang putranya juga menjadi advokat terkemuka untuk kemerdekaan Papua, bertanya apakah AS "dapat memberikan uang dan senjata secara diam-diam untuk membantunya dan gerakannya." Dia ditolak, seperti juga pemimpin West Papua lainnya, Nicolaas Jouwe, yang menyampaikan hal serupa kepada AS pada bulan September 1965 dan juga ke Australia.

Dokumen-dokumen tersebut juga menunjukkan bagaimana pejabat menjarah wilayah tersebut setelah Indonesia mencaploknya pada tahun 1962 yang mengakibatkan jatuhnya standar hidup, memicu kemarahan yang menjadi pemberontakan langsung. Namun, sumber kebencian terbesar adalah keengganan Indonesia untuk menghormati perjanjian yang diawasi AS, PBB dan Belanda, yang mengamanatkan bahwa orang Papua akan memutuskan secara plebisit apakah akan tetap bersama dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai negara berdaulat.
Setelah pasukan PBB meninggalkan Papua, orang Indonesia secara sistematis menjarah bangunan umum dan mengirim barang rampasan ke Jakarta. Ini disebutkan dalam telegram April 1966 sebagaimana dikutip Kaisiepo. Rumah sakit yang dibangun oleh Belanda dilucuti tempat tidurnya, peralatan sinar-X dan obat-obatan, meja-meja diambil dari sekolah-sekolah dan tentara mencuri apa saja "yang diinginkan mereka" dari rumah-rumah pribadi.

Telegram lain juga mengutip misionaris Amerika yang bekerja di Papua menggambarkan kekurangan pangan yang meluas, dan bagaimana pejabat Indonesia membeli semua barang konsumsi lalu mengirimkannya keluar dari Papua untuk mendapatkan keuntungan. Saat pengiriman barang dan makanan tiba di pelabuhan, tentara Indonesia akan mengkawalnya.

Victor Yeimo, ketua Komite Nasional Papua Barat yang pro kemerdekaan, mengatakan bahwa dokumen tersebut "sangat penting" karena memberikan bukti kejahatan terhadap orang Papua oleh militer Indonesia dan peran AS dalam menolak penentuan nasib sendiri. Secara administratif, Indonesia membagi wilayah ini menjadi dua provinsi, Papua dan Papua Barat, namun orang Papua menyebut keduanya sebagai Papua Barat atau Tanah Papua.
"Informasi yang diperoleh dari dokumen-dokumen ini menunjukkan kepada dunia dan generasi sekarang bahwa AS dan Indonesia selalu saling membantu dalam menyembunyikan kebenaran selama ini. Kepentingan ekonomi dan politik AS memainkan peran besar dalam penjajahan Papua Barat," kata Yeimo. "Kami, orang West Papua, telah dibantai sejak pertama kali Indonesia memasuki tanah kami dan sampai sekarang. Dan kita belum pernah melihat keadilan. "

Orang Papua bukan tanpa pendukung di Kedutaan Besar AS di Jakarta namun pandangan mereka tidak didengarkan. Pada bulan Agustus 1965, petugas politik kedutaan Edward E. Masters merekomendasikan untuk membocorkan kabar mengenai pemberontakan dan kekerasan terhadap peraturan Indonesia di West Papua kepada pers dunia. Tanpa silau publisitas, orang Papua akan mengalami "penaklukan kolonial yang sempurna" oleh Indonesia, tulisnya dalam sebuah telegram.

Mengutip peran A.S. dalam menegosiasikan perjanjian 1962 antara Belanda dan Indonesia, Masters menulis "Tampaknya kita memiliki tanggung jawab khusus untuk melihat bahwa persyaratan perjanjian tentang pemenuhan keinginan sejati orang-orang Papua dihormati."
Telegram lain yang ditulis oleh Duta Besar Marshall Green, bagaimanapun,
menggambarkan orang Papua sebagai orang "zaman batu". "Cakrawala mereka sangat terbatas," katanya, dan mereka tidak dapat menentukan masa depan mereka sendiri, bertentangan dengan penilaian lain yakni keinginan masyarakat Papua untuk kemerdekaan.
Berita tentang pemberontakan dengan kekerasan, yang dimulai sekitar bulan Maret 1965, mulai muncul dari West Papua saat misionaris Amerika yang bekerja di wilayah tersebut mengunjungi Jakarta dan pejabat kedutaan mendapatkan sumber informasi militer Indonesia.

Pada bulan Juni 1965, pemberontak melancarkan serangan skala penuh ke sebuah posko pemerintah di kota Wamena yang menewaskan setidaknya selusin tentara Indonesia dan sejumlah orang Papua yang tidak dikenal.
"Tidak ada angka jumlah orang Papua yang terbunuh tapi satu informan menggambarkannya sebagai 'pembantaian', karena hampir satu-satunya senjata di tangan orang-orang Papua di dataran tinggi adalah pisau, busur dan anak panah," kata sebuah telegram yang dikirim dua bulan kemudian.

Dokumen yang sama melaporkan bahwa pemberontak menguasai sebagian besar Manokwari, sebuah kota pesisir utama, pada awal Agustus dan menahannya selama seminggu sampai dihantam balik oleh tentara Indonesia.
Pembantaian oleh pasukan Indonesia bulan sebelumnya mungkin merupakan katalisator untuk serangan tersebut.

Seorang misionaris Belanda mengatakan kepada pejabat AS bahwa pemberontak telah menembak tiga tentara yang membawa sebuah bendera di lembah dekat Manokwari pada akhir Juli.
"Reaksi Indo brutal," kata sebuah telegram yang ditransmisikan pada bulan September 1965. "Tentara pada hari berikutnya menghamburkan peluru pada orang Papua yang terlihat dan banyak orang tidak bersalah di jalan ditembak mati. Kepahitan yang diciptakan tidak mudah disembuhkan. "

Pada awal 1967, ada desas-desus yang terus berlanjut di dalam dan di luar negeri bahwa 1.000 sampai 2.000 orang Papua telah terbunuh oleh sebuah kampanye pengeboman Angkatan Udara Indonesia.

Pemerintah Indonesia membantahnya dengan menyatakan bahwa 40 orang terbunuh dalam "pemberondongan" yang dilakukan oleh seorang pembom angkatan udara sebagai respon atas penyergapan polisi paramiliter, menurut sebuah telegram pada bulan April 1967.
Dua orang polisi terluka dalam penyergapan tersebut. (*)





Sumber : www.tabloidjubi.com
Share:

Me

Me

Followers

Postingan saya di Wordpress

Yikwagwe Post