Tentara Papua yang dilatih oleh Belanda
pada tahun 1962.
|
Jayapura, - Orang-orang Papua
terkemuka telah meminta Amerika Serikat (AS) untuk memberi mereka uang dan
senjata pada pertengahan tahun 1960an untuk memerangi penjajahan Indonesia atas
wilayah West Papua yang luas, menurut dokumen AS yang baru-baru ini
dideklasifikasi yang menunjukkan lahirnya perjuangan kemerdekaan West Papua
yang bertahan hingga saat ini, setengah abad kemudian.
Dokumen-dokumen
tersebut menambah bukti historis keluhan orang-orang Papua yang mendalam
terhadap Indonesia pada saat bentrokan antara pemberontak dan pasukan keamanan
Indonesia telah berkobar di West Papua dan nasionalis Papua telah berhasil
menarik perhatian lebih untuk tujuan mereka di Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
Menteri pertahanan Indonesia mengatakan pekan lalu bahwa para aktivis
yang menghadiri pertemuan pro-Papua Merdeka baru-baru ini di Vanuatu harus
ditangkap saat kembali ke Indonesia.
Berkas tersebut
termasuk di antara ribuan halaman telegram antara Departemen Luar Negeri dan
Kedutaan Besar AS di Jakarta dari tahun 1960an yang dideklasifikasi awal tahun
ini. 37 bundel telegram disimpan di Arsip Nasional dan Administrasi di
Maryland, AS dan para periset sedang berupaya membuat dokumen-dokumen tersebut
tersedia secara online.
Papua, yang merupakan
bagian barat pulau raksasa New Guinea, tetap berada di tangan Belanda setelah
Indonesia lepas dari pemerintahan kolonial Belanda pada akhir Perang Dunia II.
Banyak orang Indonesia melihat kampanye pemerintah mereka di awal 1960-an untuk
mencaplok West Papua dari Belanda sebagai kemenangan terakhir dalam perjuangan
kemerdekaan mereka. Tapi bagi orang Papua, dengan budaya Melanesia dan sejarah
yang berbeda dari Asia Tenggara, Indonesia adalah penjajah yang dimusuhi.
Seluruh dunia
berpaling saat pemungutan suara (PEPERA)
yang dicurangi dari lebih 1.000 orang Papua yang direkrut dan dikelola dengan
baik memperkuat kontrol Indonesia pada tahun 1969. Belanda, yang sebelum
aneksasi mempersiapkan West Papua untuk berpemerintahan sendiri, tidak
keberatan. AS yang pada tahun 1967 membantu perusahaan pertambangan Amerika
Freeport mendapatkan hak untuk mengeksploitasi deposit tembaga dan emas yang
kaya di West Papua, tidak ingin mengecewakan status quo yang menguntungkan bagi
usaha A.S. atau mengganggu stabilitas pro-pemerintan AS.
Telegram April 1966
dari Departemen Luar Negeri mencatat "kefasihan dan intensitas"
Markus Kaisiepo, seorang pemimpin West Papua yang diasingkan, yang berbicara
dengan pejabat senior A.S. tentang "penderitaan yang menyedihkan dari
orang-orang Papua di bawah kekuasaan Indonesia."
Kaisiepo mengatakan
bahwa orang Papua bertekad untuk memiliki kemerdekaan namun sama sekali tanpa
sumber keuangan atau peralatan militer yang dibutuhkan untuk "bangkit
melawan penindas Indonesia."
Kaisiepo, yang
putranya juga menjadi advokat terkemuka untuk kemerdekaan Papua, bertanya
apakah AS "dapat memberikan uang dan senjata secara diam-diam untuk
membantunya dan gerakannya." Dia ditolak, seperti juga pemimpin West Papua
lainnya, Nicolaas Jouwe, yang menyampaikan hal serupa kepada AS pada bulan
September 1965 dan juga ke Australia.
Dokumen-dokumen
tersebut juga menunjukkan bagaimana pejabat menjarah wilayah tersebut setelah
Indonesia mencaploknya pada tahun 1962 yang mengakibatkan jatuhnya standar
hidup, memicu kemarahan yang menjadi pemberontakan langsung. Namun, sumber
kebencian terbesar adalah keengganan Indonesia untuk menghormati perjanjian
yang diawasi AS, PBB dan Belanda, yang mengamanatkan bahwa orang Papua akan
memutuskan secara plebisit apakah akan tetap bersama dengan Indonesia atau
berdiri sendiri sebagai negara berdaulat.
Setelah pasukan PBB
meninggalkan Papua, orang Indonesia secara sistematis menjarah bangunan umum
dan mengirim barang rampasan ke Jakarta. Ini disebutkan dalam telegram April
1966 sebagaimana dikutip Kaisiepo. Rumah sakit yang dibangun oleh Belanda
dilucuti tempat tidurnya, peralatan sinar-X dan obat-obatan, meja-meja diambil
dari sekolah-sekolah dan tentara mencuri apa saja "yang diinginkan
mereka" dari rumah-rumah pribadi.
Telegram lain juga mengutip
misionaris Amerika yang bekerja di Papua menggambarkan kekurangan pangan yang
meluas, dan bagaimana pejabat Indonesia membeli semua barang konsumsi lalu
mengirimkannya keluar dari Papua untuk mendapatkan keuntungan. Saat pengiriman
barang dan makanan tiba di pelabuhan, tentara Indonesia akan mengkawalnya.
Victor Yeimo, ketua
Komite Nasional Papua Barat yang pro kemerdekaan, mengatakan bahwa dokumen
tersebut "sangat penting" karena memberikan bukti kejahatan terhadap
orang Papua oleh militer Indonesia dan peran AS dalam menolak penentuan nasib
sendiri. Secara administratif, Indonesia membagi wilayah ini menjadi dua
provinsi, Papua dan Papua Barat, namun orang Papua menyebut keduanya sebagai
Papua Barat atau Tanah Papua.
"Informasi yang
diperoleh dari dokumen-dokumen ini menunjukkan kepada dunia dan generasi
sekarang bahwa AS dan Indonesia selalu saling membantu dalam menyembunyikan
kebenaran selama ini. Kepentingan ekonomi dan politik AS memainkan peran besar
dalam penjajahan Papua Barat," kata Yeimo. "Kami, orang West Papua,
telah dibantai sejak pertama kali Indonesia memasuki tanah kami dan sampai
sekarang. Dan kita belum pernah melihat keadilan. "
Orang Papua bukan
tanpa pendukung di Kedutaan Besar AS di Jakarta namun pandangan mereka tidak
didengarkan. Pada bulan Agustus 1965, petugas politik kedutaan Edward E.
Masters merekomendasikan untuk membocorkan kabar mengenai pemberontakan dan
kekerasan terhadap peraturan Indonesia di West Papua kepada pers dunia. Tanpa
silau publisitas, orang Papua akan mengalami "penaklukan kolonial yang
sempurna" oleh Indonesia, tulisnya dalam sebuah telegram.
Mengutip peran A.S.
dalam menegosiasikan perjanjian 1962 antara Belanda dan Indonesia, Masters
menulis "Tampaknya kita memiliki tanggung jawab khusus untuk melihat bahwa
persyaratan perjanjian tentang pemenuhan keinginan sejati orang-orang Papua
dihormati."
Telegram lain yang
ditulis oleh Duta Besar Marshall Green, bagaimanapun,
menggambarkan orang Papua
sebagai orang "zaman batu". "Cakrawala mereka sangat
terbatas," katanya, dan mereka tidak dapat menentukan masa depan mereka
sendiri, bertentangan dengan penilaian lain yakni keinginan masyarakat Papua
untuk kemerdekaan.
Berita tentang
pemberontakan dengan kekerasan, yang dimulai sekitar bulan Maret 1965, mulai
muncul dari West Papua saat misionaris Amerika yang bekerja di wilayah tersebut
mengunjungi Jakarta dan pejabat kedutaan mendapatkan sumber informasi militer
Indonesia.
Pada bulan Juni
1965, pemberontak melancarkan serangan skala penuh ke sebuah posko pemerintah
di kota Wamena yang menewaskan setidaknya selusin tentara Indonesia dan
sejumlah orang Papua yang tidak dikenal.
"Tidak ada
angka jumlah orang Papua yang terbunuh tapi satu informan menggambarkannya
sebagai 'pembantaian', karena hampir satu-satunya senjata di tangan orang-orang
Papua di dataran tinggi adalah pisau, busur dan anak panah," kata sebuah
telegram yang dikirim dua bulan kemudian.
Dokumen yang sama melaporkan bahwa
pemberontak menguasai sebagian besar Manokwari, sebuah kota
pesisir utama, pada awal Agustus dan menahannya selama seminggu sampai dihantam
balik oleh tentara Indonesia.
Pembantaian oleh
pasukan Indonesia bulan sebelumnya mungkin merupakan katalisator untuk serangan
tersebut.
Seorang misionaris Belanda mengatakan kepada
pejabat AS bahwa pemberontak telah menembak tiga tentara yang membawa sebuah
bendera di lembah dekat Manokwari pada akhir Juli.
"Reaksi Indo
brutal," kata sebuah telegram yang ditransmisikan pada bulan September
1965. "Tentara pada hari berikutnya menghamburkan peluru pada orang Papua
yang terlihat dan banyak orang tidak bersalah di jalan ditembak mati. Kepahitan
yang diciptakan tidak mudah disembuhkan. "
Pada awal 1967, ada
desas-desus yang terus berlanjut di dalam dan di luar negeri bahwa 1.000 sampai
2.000 orang Papua telah terbunuh oleh sebuah kampanye pengeboman Angkatan Udara
Indonesia.
Pemerintah Indonesia
membantahnya dengan menyatakan bahwa 40 orang terbunuh dalam
"pemberondongan" yang dilakukan oleh seorang pembom angkatan udara
sebagai respon atas penyergapan polisi paramiliter, menurut sebuah telegram
pada bulan April 1967.
Dua orang polisi
terluka dalam penyergapan tersebut. (*)
Sumber : www.tabloidjubi.com
0 comments:
Post a Comment