“Pengalaman Di Bawah Cengkraman Militer Yang Tak Akan PernahTerlupakan Oleh Orang-Orang Papua”—————————————————————————————————————————————
Oleh : Amiruddin al Rahab
(Jurnal Penelitian Politik, Vol.3/No.1/2006, LIPI, Jakarta)
(Jurnal Penelitian Politik, Vol.3/No.1/2006, LIPI, Jakarta)
” Tulisan ini Sengaja saya posting dengan tujuan sebarkan informasi
agar masyarakat Papua bisa tahu kejadian atau peristiwa di masa lalu”.
Pengantar
Rezim militer Orde Baru Soeharto menjadikan Papua sebagai daerah
kekuasaan militer, terutama Angkatan Darat (AD). Kesan seperti itu
sangat terasa karena instansi militer dan para petinggi militer di Kodam
dan jajarannya mendominasi ranch politik dan jalannya pemerintahan di
Papua.
Cengkraman AD atas Papua kian kuat karena adanya dwifungsi ABRI
dan dijadikannya Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Dengan
semangat berdwifungsi, obsesi utama semua pimpinan militer Indonesia,
khususnya di jajaran Kodam Trikora dan di Pemda Papua alah menghancurkan
apa yang mereka sebut gerombolan bersenjata OPM. Obsesi penghancuran
OPM itu juga dimotivasi oleh kepetingan ekonomi dan politik. Secara
politik petinggi AD, seperti Pangdam, Danrem, dan Dandim adalah juga
Ketua Pembina Golkar di wilayahnya. Secara ekonomi, semua perusahaan
besar di Papua dikategorikan sebagai objek vital nasional. Artinya
perusahaan-perusahaan itu berada di bawah naungan militer untuk
keamanannya. Untuk itu, perusahaan-perusahaan harus menyetor sejumlah
uang.
Pada gilirannya dalam setiap kepala pimpinan dan anggota ABRI
beranggapan bahwa, semua orang Papua adalah separatis dan atau OPM,
kecuali orang itu bisa menunjukkan dirinya bukan separatis. Obsesi itu
tumbuh dari cara pandang yang melihat gerakan menuntut pengakuan
identitas politik Papua. Maka dari itu untuk mengenyahkan “hantu OPM”
itu, kebijakan yang diambil di Papua adalah menghancurkan OPM secara
fisik (membunuh) dengan menggelar operasi militer berkesinambungan (DOM)
dari tahun ke tahun.
Dr. Benny Giyai seorang rohaniwan dan intelektual Papua mencatat
bahwa pengalaman di bawah cengkraman militer itu merupakan pengalaman
pahit yang tak akan pernah terlupakan oleh orang-orang Papua. Benny
menuliskan bahwa dalam seluruh pengalaman pahit itu, orang Papua merasa
diperlakukan bukan sebagai manusia, melainkan hanya sebagai objek, yaitu
objek operasi militer.
Sejarah sebagai objek kekerasan itulah yang selalu diingkari oleh
Indonesia sampai hari ini. Pihak-pihak militer atau aparat keamanan di
Papua sama sekali tidak pernah merasa melakukan kejahatan terhadap siapa
pun di Papua, karena operasi-operasi militer yang mereka lancarkan,
atau penangkapan-penangkapan serta penyiksaan atau pembunuhan dengan
segala bentuknya di Papua hanyalah dalam rangka menjalankan tugas
sebagai pelindung NKRI dari rongrongan organisasi yang disebut sebagai
OPM.
Tulisan ini berusaha membeberkan operasi-operasi militer yang digelar
oleh Kodam yang berpataka “Praja Ghupta Kra” (Ksatria Pelindung
Masyarakat) di Papua. Dalam pandangan orang-orang Papua, ABRI alih-alih
menjadi pelindung, malah menjadi seperti pagar makan tanaman.
Operasi¬operasi militer mendatangkan kesengsaraan lahir dan batin bagi
orang-orang Papua. Pandangan orang Papua itu masih bertahan sampai saat
ini sehingga mendorong mereka menuntut merdeka karena rendahnya
kepercayaan terhadap instansi pemerintah yang ada di Papua.
Operasi-operasi militer yang berjalan terus-menerus dilihat sebagai
kemenangan politik ABRI dalam melakukan bargaining dengan aktor¬aktor
negara lain dalam mengambil kebijakan. Dwifungsi ABRI membuat
aktor¬aktor politik lainnya kehilangan kendali terhadap ABRI. Hal itu
terjadi karena kuatnya pengaruh perwira militer dalam politik lokal
Papua baik dalam badan legislatif Papua maupun dalam lembaga eksekutif
di Papua.
- ABRI: Wajah Indonesia di Papua
Sampai saat ini, argumen Indonesia bahwa
proses penggabungan Papua ke dalam Indonesia adalah suatu “kehendak dan
panggilan sejarah” dari sikap patriotisme para sukarelawan terasa tidak
memadai lagi. Apa lagi argumentasi yang menyatakan bahwa Papua telah
menjadi bagian dari Indonesia sejak alam terbentang karena terdapatnya
persamaan adanya kapak batu persegi dan adanya persamaan relief lukisan
di dinding gua batu. Lebih tak berarti lagi, apabila klaim Indonesia itu
semata disandarkan pada penguasaan Papua oleh kerajaan kuno seperti
Sriwijaya, Majapahit sampai Sultan Tidore. Klaim atas Papua yang
disandarkan pada argumen bahwa Papua adalah wilayah jajahan Belanda
—sejak tahun 1828 berkat keberhasilan Belanda mendirikan benteng Fort du
Buis di Teluk Triton, Kaimana¬secara otomatis menjadi wilayah
Indonesia, juga tidak membantu banyak dalam menyakinkan orang Papua
bahwa mereka adalah bagian sah dari Republik Indonesia.
Semua argumen itu terasa hambar karena tidak berasal dari pengalaman
nyata orang-orang Papua sendiri dalam berintegrasi dengan negara
Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Lebih tepatnya,
orang Papua berinteraksi secara nyata dengan entitas negara Indonesia
adalah melalui sebuah pejanjian internasional yang ditandatangani pada
tanggal 15 Agustus 1962 di New York dan dilanjutkan dengan referendum
tujuh tahun kemudian. Referendum itu disebut oleh Indonesia sebagai
Pepera yang dijalankan secara musyawarah antara 1.022 orang mewakili
seluruh orang Papua yang ada kala itu. Baru setelah Pepera di tahun 1969
itulah Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya
pemerintahan militer.
Operasi militer untuk memaksa Papua berintegarasi ke dalam Indonesia
secara faktual dirintis mulai tahun 1961 dengan masuknya bala tentara
Indonesia ke Papua dengan sebutan sukarelawan dalam rangka melakukan
infiltrasi untuk menguasai sebagian wilayah Papua dari Belanda dan
kemudian daerah itu dimanfaatkan untuk mengacaukan jalannya pemerintahan
Belanda atas Papua. Sejak tahun 1961 itulah, masyarakat Papua mengenal
Indonesia secara nyata berkat adanya pasukan-pasukan ABRI yang menyusup
ke Papua. Artinya, wajah pertama Indonesia di Papua diwakili oleh sepak
terjang para pasukan infiltran ini.
Fase infiltrasi ini ditujukan untuk membentuk basis-basis gerilya dan
mempersiapkan pembentukan pos terdepan bagi upaya penyerbuan Papua oleh
Indonesia. Dalam fase ini, dimasukkan Lebih kurang 10 kompi prajurit
ABRI ke Papua. Fase kedua adalah melakukan serangan terbuka di beberapa
daerah seperti Biak, Fak-fak, Sorong, Kaimana, dan Merauke. Fase ketiga
adalah konsolidasi pasukan sebagai kekuatan militer Indonesia di Papua.
Salah satu perwira ABRI yang menjadi infiltran ini adalah Kapten
Benny Moerdani (kemudian menjadi Menghankam/ Pangab 1983-1988, Menhankam
1988¬1993) dengan pasukan berkekuatan 206 yang berasal dari RPKAD dan
Kompi II Batalyon 530/Para dari Kodam Brawijaya. Pasukan ini diterjunkan
di Merauke dengan sandi Operasi Naga. Operasi penyusupan di Papua ini
secara keseluruhan diberi sandi Operasi Jayawijaya. Setelah New York
Agreement disetujui, Benny dipindahkan ke Holandia (Jayapura) menjadi
komandan sementara seluruh pasukan infiltran Indonesia di Irian Barat.
Seluruh pasukan infiltran ini sebagaimana disyaratkan oleh New York
Agreement kemudian diorganisasi ke dalam Kontingen Indonesia (Kotindo)
sebagai pasukan keamanan UNTEA. Konsentrasi dari pasukan Indonesia ini
awalnya adalah Merauke, Kaimana, Fafak, dan Sorong. Semua pasukan
Indonesia ini kemudian dibagi ke dalam empat datasemen, yaitu Datasemen A
di Merauke, Datasemen B di Kaimana, Detasemen C di Fak-fak, dan
Detasemen D di Sorong.
Pasukan-pasukan Indonesia ini kemudian diperbantukan kepada United
Nation Security Force (UNSF) yang merupakan aparat keamanan UNTEA.
Meskipun demikian, seluruh komando tetap berada di bawah Panglima
Mandala. Artinya, pasukan Kotindo secara organik tetap merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari ABRI. Maka dari itu, segala tanggung jawab
organisatoris dan administratif tetap menjadi tanggung jawab Indonesia.
Dengan posisi yang demikian, ABRI di Papua memiliki dua misi, formal
merupakan alai kelengkapan dari UNTEA dalam UNSF, sementara infomal
adalah untuk melanjutkan komando Trikora. Maka dari itu, ABRI dalam
Kotindo, lebih mementingkan tugas informalnya, yaitu mengawasi UNTEA
agar tidak merugikan Indonesia dan menekan kekuatan-kekuatan sosial
politik orang-orang Papua yang menentang Indonesia.
- Kodam: Tulang Punggung Security Approach
Tahun 1963, Men/Pangad Jend A. Yani mengeluarkan perintah Operasi
Wisnumurti untuk mendatangkan pasukan dari divisi-divisi di Jawa,
Makassar, dan Maluku untuk mengembangkan kekuatan tempur dan staf Kodam.
XVII. Tugas pokok Kodam ini adalah menegakkan kewibawaan Pemerintah
Indonesia, menjamin keamanan dan ketertiban serta membantu pemerintah
sipil dalam membangun Irian Barat. Para infiltran yang tergabung dalam
Kotindo adalah inti kekuatan ABRI di Papua ketika Kodam XVII/
Tjendrawasih dibentuk.
Sesunguhnya Kodam XVII yang awalnya bernama Kodam XVII/Irian Barat
dibentuk melalui Surat Men/Pangad/No. Kpts¬105 8/8/1962 pada tanggal 17
Agustus 1962 atau 2 hari setelah New York Agreement ditandatangani.
Karena masa itu, Indonesia belum memiliki kewenangan pemerintahan di
Papua. Kodam ini hanya berada secara bayangan dengan fungsi mengawasi
UNTEA dan gerak-gerik politik orang-orang Papua, terutama yang
pro-kemerdekaan Papua. Brigjen U. Rukmana yang komandan Kotindo
merangkap sebagai Pangdam pertama di Papua.
Kodam ini kemudian direalisasikan secara nyata baru 12 Januari 1963
mendekati hari penyerahan administrasi ke pemerintahan Papua dari UNTEA
ke Indonesia. Kodam ini kemudian membentuk komando teritorialnya yang
terdiri dari 3 Korem dan 23 Kodim. Kemudian komando teritorial ini
diubah pada tanggal 3 Maret 1963 menjadi 3 Korem dan 8 Kodim, 70 Puterpa
dan 20 Kooterpa. Komando-komando ini berfungsi sebagai gelar pasukan
dan sekaligus penguasaan teritorial dalam rangka fungsi sosial politik
secara nyata. Di samping itu, juga ditambah dengan dua batalion
infantri. Kodam mulai berfungsi secara riil 17 Mei 1963, setelah UNTEA
mengalihkan tanggung jawab administrasi pemerintahan ke Indonesia.
Kodam XVII/Irian Barat pada tanggal 30 Juni 1964 berganti nama
menjadi Kodam XVII/Tjendrawasih dengan pataka-nya Praja Ghupta Vira yang
berarti Ksatria Pelindung Masyarakat. Sejak tahun 1964, inti kekuatan
Kodam XVII/Tjendrawasih terus berkembang dengan dibentuknya
batalion¬batalion baru, yaitu Batalion 751/ Tjendrawasih di Manokwari
yang berasal dari Kodam VII/Diponegoro, Yonif 752/ Tjendrawasih di
Sorong berasal dari Kodam VI/Siliwangi, dan Yonif 753/Tjendrawasih di
Jayapura. Ketiga yonif ini merupakan pembaharuan dari yonif sebelumnya,
yaitu. Yonif 641/Tjendrawasih I yang berasal dari Diponegoro dan Yonif
642/Tjendrawasih II yang berasal dari Siliwangi. Ke dalam kedua batalion
ini telah bergabung unsur dari Papua, yaitu para gerilyawan
Kasuari/Trikora dan anggota eks-PVK (Papuan Vrywillingers Korp) setelah
mereka dididik di Siliwangi dan di Diponegoro. Jurnlah seluruh
pasukanABRI pada awal kehadiran Kodam ini sekitar 2.000 prajurit lebih.
Peran militer—terutama AD¬menjadi kian dominan di Papua ketika
terjadi reorganisasi militer Indonesia setelah kekuasaan beralih dari
tangan Soekarno ke tangan Soeharto. Dominasi militer di Papua itu
sejalan dengan menguatnya militer dalam kekuasaan di Indonesia.
Menhankam/Pangab Benny Moerdani yang juga anggota, MPR dalam sidang MPR
tahun 1988 pernah menyatakan kekuatan militer dalam politik itu tak
ubahnya sebagai partai politik. Di era Benny Moerdani menjadi
Menhankam/Pangab inilah peranan Kodam menjadi komando yang dominan di
daerah dan sekaligus satu-satunya kekuatan militer yang mengendalikan
kondisi keamanan dan ketertiban sekaligus kondisi sosial-politik daerah.
Dalam menjalankan fungsi sosial¬politik ini, ABRI aktif dalam
menggalang kekuatan politik bersama dengan Golkar. Sejak orang Papua
ikut Pemilu Indonesia di tahun 1971 sampai Pemilu tahun 1997, Golkar
tetap merupakan partai politik dominan di Papua dengan perolehan suara
di atas 80%.
Sejalan dengan kebijakan itu, kemudian Kodam XVI Tjendarawasih
digabung dengan Kodam XV/Patimura menjadi KodamXVII/ Trikora yang
menjadi kekuatan hankam dan sosial politik utama pula di Papua. Sebagai
kekuatan hankam dan sosial-politik titik berat tugas ABRI di Papua
adalah mengatasi gangguan kamtibmas dan menangkal subversi dalam negeri.
Dengan titik berat tugas militer seperti itu, Kodam akhirnya menjadi
institusi yang dikuasai oleh TNI AD.
Sejalan dengan itu, rangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi.
Pengalaman buruk di bawah DOM ini, kemudian membangkitkan pengalaman
buruk rakyat Papua selama proses awal integrasi dan Pepera. Pengalaman
buruk itu kemudian tampil ke permukaan secara terbuka di kala kekuasaan
militer dalam pemerintahan surut ketika reformasi politik terjadi tahun
1998. Di era reformasi, di Papua tumbuh keberanian mempersoalkan seluruh
kekuasaan Indonesia di Papua yang didominasi oleh militer itu.
Keberanian itu kian buncah ketika Panglima ABRI Jenderal Wiranto di
bulan Agustus 1998 menyatakan minta maaf dan mencabut status Papua
sebagai daerah DOM.
Dengan latar sejarah dan posisi politik seperti itu, militer di Papua
merasa dan melihat dirinya sebagai satu-satunya institusi yang menjaga
keutuhan Indonesia di Papua. Pada gilirannya, militer di Papua selalu
bertindak kerena terhadap segala bentuk gerakan atau opini yang
mempertanyakan atau memprotes keadaan yang dirasakan kurang adil oleh
tokoh-tokoh Papua. pada gilirannya, militer Indonesia di Papua sangat
mudah memvonis seluruh bentuk protes orang Papua sebagai gerakan
separatis. Ketika cap separatis sudah dialamatkan oleh militer kepada
seseorang di Papua maka orang itu akan bisa menjadi korban dalam
sekejap. Baik menjadi korban penculikan, penyiksaan, bahkan pembunuhan.
Aksi kekerasan itu berlangsung bertahun-tahun, dengan ribuan korban
jiwa. Para korban dan keluarganya inilah bersama-sama dengan kalangan
muda dan mahasiswa beserta tokoh-tokoh terpelajar Papua di era reformasi
mulai menyuarakan perlunya Indonesia mempertanggungjawabkan seluruh
kekerasan itu. Untuk meminta pertanggung¬jawaban itu, wacana hak asasi
manusia menjadi wacana yang paling dominan di Papua.
Kian menghujamnya cengkraman militer terhadap kehidupan sosial
politik di Papua juga tidak terlepas dari potensi ekonomi daerah ini
yang begitu besar. Hal itu terlihat ketika PT Freeport mulai menanamkan
investasinya di Papua. Untuk melindungi PT Freeport, militer di Papua
mulai mengembangkan pengaruhnya dalam politik lokal dengan cara yang
lebih keras. Selain itu, militer juga memperbesar kekuasaanya dengan
menempatkan diri sebagai pelindung dari mengalirnya ribuan para imigran
dan transmigran dari luar Papua. Semuanya ini disebut oleh para petinggi
militer sebagai tugas nasional dalam rangka menjaga integritas
teritorial Indonesia di Papua. Seluruh sepak terjang militer yang
mendatangkan luka di hati orang Papua inilah yang hendak diperbaiki
dengan diberikan status otonomi khusus terhadap, Papua. Pada bagian
Menimbang dari UU Otsus menyatakan bahwa penyelengaran pemerintan dan
pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya
memenuhi keadilan, memenuhi kesejahteraan rakyat, penegakan hukum, dan
belum sepenuhnya menghormati hak asasi manusia, khususnya hak asasi
masyarakat Papua.
- Operasi-Operasi Militer: Penderitaan Rakyat Papua
Untuk mendapatkan perhatian, Masyarakat prokemerdekaan kerap
melancarkan gerakan bersenjata secara sporadic. Hal itu ditempuh
Masyarakat prokemerdekaan karena terbatasnya kemampuan tempur akibat
sedikitnya jumlah persenjataan. Selain itu, juga karena tidak mudahnya
medan Papua untuk membangun kekuatan besar yang terorganisasi secara
baik. Selain gerakan bersenjata, secara umum usaha Masyarakat
prokemerdekaan untuk menunjukkan diri mereka tetap eksis adalah aksi
penculikan, aksi penyergapan, pengibaran bendera Bintang Kejora,
penyebaran propaganda melalui media selebaran, dan mobilisasi
demonstrasi atau rapat umum di daerah-daerah terpencil. Selain itu,
kerap pula ditempuh aksi lintas batas, terutama ke PNG.
ABRI terus-menerus melancarkan Operasi Sadar di bawah komando Pangdam
Brigjen R. Kartidjo untuk menghancurkan kelompok perlawanan. Operasi
Sadar ini tidak saja bertujuan untuk mematahkan perlawanan yang terjadi
di Manokwari, tetapi juga menegaskan kekuasaan Kodam XVII atas seluruh
wilayah Papua. Tugas pokok operasi adalah melakukan penghancuran
terhadap gerombolan yang bergerak di sekitar Manokwari dan Kebar
sekaligus, minimum menangkap Ferry Awom dan Julianus Wanma, baik mati
maupun hidup sebelum tanggal 17 Agustus 1965. Operasi ini sejak 10
Agustus dilancarkan secara intensif dan terus-menerus ke kampung-kampung
yang menjadi basis-basis perlawanan. Dalam operasi pengejaran terhadap
kelompok perlawanan, 36 orang penduduk setempat tewas.
Sejalan dengan operasi pengejaran ini, Operasi Sadar dikembangkan ke
seluruh wilayah Irian Barat pada tanggal 25 Agustus 1965. Kali ini,
Operasi Sadar langsung dipimpin oleh Pangdam. Berdasarkan perintah
operasi ini, wilayah Papua kemudian dibagi ke dalam 4 sektor. Sektor I
adalah daerah yang meliputi Manokwari dan sekitarnya menjadi pos
terdepan operasi. Untuk daerah ini dilancarkan operasi intelijen dan
teritorial untuk mendukung operasi fisik (tempur). Di sektor lainnya
yang belum menujukan adanya perlawanan fisik, hanya dilancarkan operasi
intelijen dan teritorial dengan tujuan untuk mencegah meluasnya pengikut
perlawanan.
Operasi ini dilanjutkan oleh Pangdam yang baru, yaitu Brigjen R.
Bintoro. Sepanjang tahun 1966-1967 operasi tempur ABRI kian massif untuk
menghadapi kelompok-kelompok perlawanan yang tumbuh dari suku Arfak di
Manokwari di bawah pimpinan Lodewijk Mandatjan dan Ferry Awom dan juga
di daerah sekitar Jayapura dan Merauke. Nama operasi kali ini adalah
Operasi Baratayudha dengan mendatangkan pasukan dari Yonif 314/
Siliwangi dengan 2 kompi Yon 700/RIT dan 2 kompi Yon 935/Brimob. Selain
itu dalam operasi ini juga dilibatkan 2 Ton KKO/ALRI, 1 Ton Kopasgat dan
1 tim RPKAD. Pasukan tempur ini juga diperkuat dengan 2 pesawat Bomber
B-26 dan 1 Pesawat Dakota dan 1 Kapal Perang. Operasi Baratayudha
bertujuan menghancurkan perlawanan dan mempersiapkan pemenangan PEPERA.
Operasi ini bersifat tempur dengan dibantu oleh operasi intelijen dan
teritorial yang disiapkan dalam tiga fase, yang fase terakhirnya adalah
tahun 1968. Fase ketiga, ini ditujukan untuk konsolidasi persiapan
memenangkan Pepera.
Operasi Baratayudha yang banyak menelan korban jiwa membuat kelompok
perlawanan terpecah menjadi kecil-kecil dan surut. Untuk mengintensifkan
kemenangan dalam Pepera, kelompok-kelompok kecil ini kemudian dikejar
terus-menerus. Inti dari pasukan yang mengejar ini adalah dari RPKAD.
Sejalan dengan ini, show offorce dari kekuatan yang diiringi dengan
operasi intelijen dan territorial dilancarkan di daerah yang perlawanan
kecil dan melemah untuk memenangkan situasi psikologis. Sepanjang tahun
1967, operasi berhasil menembak mati 73 orang dan menangkap 60 orang
dengan menyita 39 pucuk senjata. Adapun yang menyerahkan diri 3.539
orang. Operasi Barathayuda ini menggetarkan hati banyak orang Papua,
karena mereka tidak mengira Indonesia akan melancarkan perang terbuka
yang banyak mendatangkan penderitaan fisik dan psikis dalam menghadapi
protes mereka.
Ketika Brigjen Sarwo Edi menjadi Pangdam, digelar operasi baru yaitu
operasi Wibawa dengan tugas utama adalah memenangkan Pepera untuk
Indonesia. Tugas pokok dari operasi ini adalah menghancurkan kelompok
perlawanan, mengamankan usaha memenangkan Pepera serta menumbuhkan dan
memelihara kewibawaan pemerintah. Untuk tujuan itu, Kodam melakukan
sinkronisasi operasi tempur, intelijen, dan teritorial. Sejalan dengan
ini, Pangdam memerintahkan di setiap Kodim disiapkan kekuatan tempur
agar bisa digunakan jika diperlukan.
Dalam kerangka memenangkan Pepera, OPSUS di bawah pimpinan Mayor Ali
Moertopo yang bergerak di bidang intelijen dan sosial-ekonomi berperan
dominan dalam melakukan operasi teritorial untuk penggalangan. Dalam
kerangka Operasi Wibawa, pemenangan Pepera ke Kodam diperbantukan
intelijen dari Den Dipiad dan intelijen dari Tim Karsa Yudha/RPKAD.
Untuk memenangkan Pepera itu, intimidasi dan kekerasan telah memaksa
sebagian orang memilih menjadi Indonesia. Secara keseluruhan, dalam
operasi ini dilibatkan 6.220 orang pasukan indonesia.
Operasi Pemenangan Pepera ini dibagi ke dalam 4 fase. Fase pertama
adalah menghancurkan kelompok perlawanan dan sekaligus memperluas
sebaran pasukan ABRI ke daerah-daerah yang telah dikuasai. Selain itu,
di setiap Puterpa disiapkan 1 regu pasukan infantri untuk melakukan
operasi teritorial. Fase kedua adalah memastikan di daerah-daerah Kepala
Burung Pepera dimenangkan oleh Indonesia. Untuk ini, segenap unsur ABRI
dilibatkan untuk mengeliminir kelompok perlawanan. Fase ketiga dan
keempat adalah memastikan kemenangan pada hari H-nya dan mengamankan
hasilnya. Meski pun fase-fase itu telah disiapkan, ternyata upaya
memastikan Pepera bisa dimenangkan oleh Indonesia tidak berjalan secara
mulus. Di daerah Erambo (Merauke), Dubu/Ubrub (dekat perbatasan),
Enaratoli dan Wahgete (Paniai) terjadi penolakan oleh masyarakat
setempat. Para utusan pemerintah dan unsur ABRI yang ada di daerah itu
dilawan oleh penduduk.
Di Enarotali, perlawanan lebih hebat dengan melancarkan gerakan
bersenjata serta terang-terangan menolak bergabung ke Indonesia yang
dipimpin oleh A.R. Wamafma, Senen Mote, Maphia Mote, dan Thomas Douw.
Perlawanan ini juga didukung oleh beberapa orang polisi asal Papua yang
berpihak kepada kelompok perlawanan. Untuk menghentikan gerakan ini,
Pangdam Sarwo Edi ‘memerintahkan menghancurkan kelompok perlawanan.
Untuk itu, pasukan Kopashanda dan pasukan dari Kompi 3, Batalyon
724/Hasanuddin diterjunkan di Enarotali untuk membantu pasukan yang ada
di Kodim 1705/Nabire. Pasukan ini dalam operasinya didukung pula oleh
Dipiad (Dings Pelaksana Intelijen AD) dan Satgas AURI yang dilengkapi
pesawat B 26, Dakota, dan Hercules. Pasukan Yon 724/Hasanuddin ini
kemudian bergerak melancarkan operasi ke berbagai daerah di sekitar
Paniai. Operasi yang dipimpin oleh Mayor Mochtar Jahja dan Mayor
Sitompul ini tidak mudah dilupakan oleh rakyat Paniai karena dalam
operasi ini militer bertindak secara kasar dan membabi buta. Ditengarai
ada sekitar 634 orang penduduk terbunuh sepanjang operasi itu.
Aksi perlawanan menjelang Pepera ini juga pecah di Piramid, Wamena.
Dua orang anggota ABRI dibunuh oleh penduduk. ABRI dalam peristiwa
Piramid ini melancarkan operasi intelijen dan teritorial untuk mencari
pelakunya. Pasukan dari Satgas 3/Hasanuddin dikerahkan untuk menguasai
kampung-kampung dan mencari pelaku.
Gencarnya operasi-operasi militer yang diperintahkan oleh Pangdam
Sarwo Edi tidak terlepas dari fungsinya sebagai Ketua Proyek Pelaksana
Daerah. Sesuai dengan surat Mendagri No. 30/1969, Pangdam bertanggung
jawab atas pengendalian, penggerakan, dan koordinasi kegiatan semua
aparatur pemerintah daerah, sipil, dan swasta dan ABRI di Papua. Dengan
lain kata, Pangdam adalah penguasa tertinggi di Papua dalam menjalankan
pemerintahan dan bertanggung jawab penuh untuk memenang-kan Pepera.
Dalam posisinya sebagai Ketua Proyek, Pangdam melancarkan usaha-usaha
peningkatan operasi tempur di semua lini untuk menghancurkan perlawanan,
melakukan operasi teritorial untuk penggalangan kondisi bagi pemenangan
Pepera dan mengintensifkan operasi intelijen untuk mematahkan sisa-sisa
gerakan perlawanan oleh masyarakat. Selain itu, melakukan operasi
pengamanan objek vital dan tempat-tempat sidang Dewan Pepera.
Sejalan dengan kemenangan Indonesia dalam Pepera, ABRI melakukan pula
fungsi¬fungsi sosial-politiknya. Untuk itu, Kodam melancarkan program
penggantian para pejabat kabupaten dan dinar-dinar yang dilihat
diragukan loyalitasnya pada Indonesia. Bersamaan dengan ini, keanggotaan
DPRD I dan II melakukan penyusunan ulang dengan memasukan anggota, ABRI
menjadi anggota atau pimpinan dewan. Dalam konteks ini, pasukan ABRI
juga dirapatkan di kampung-kampung untuk mengawasi kehidupan masyarakat
secara langsung. Di samping itu, juga melancarkan proyek civilisasi dan
kesehatan bekerja sama dengan zending dan misionaris yang telah ada.
Dalam bidang ekonomi, Kodam juga turut serta melakukan kegiatan-kegiatan
ekonomi dengan mengontrol arus dan harga barang. Semua kegiatan ini
disebut sebagai kegiatan civic mission ABRI di Papua.
Setelah memenangkan Pepera, 29 Januari 1970 Brigjen Acub Zainal
ditunjuk menjabat Pangdam Tj endrawasih. Di tangan Pandam baru ini,
organisasi Kodam menjadi 3 Korem, 9 Kodim, dan 3 Yonif. Yonif 751/
Tjendrawasih di Arfai, Manokwari berasal dari Kodam Diponegoro dengan
status tugas jangka panjang. Yonif 752/Tjendrawasih di Sorong berasal
dari Kodam Siliwangi dan Yonif 753/Tjendrawasih di Ifar Gunung, Jayapura
berasal dari Brawijaya ditambah prajurit asli orang Papua. Ketiga Yonif
ini dikembangkan menjadi pasukan organik Kodam Tjendrawasih. Sementara
pasukan¬pasukan ABRI dari kesatuan lainnya yang berasal dari luar Papua
mengalami rotasi penugasan. Pasukan lama pulang dan diganti dengan
pasukan baru dari asal kesatuan yang sama. Reorganisasi ini juga sejalan
dengan reorganisasi Kopkamtibda di Irian Jaya. Semua ini dipersiapkan
untuk menyambut pelaksanaan Pemilu 1971.
Pemilu 1971 ini merupakan pemilu pertama Indonesia di bawah kekuasaan
rezim Orde Baru Soeharto. Pemilu ini juga merupakan pemilu pertama bagi
orang Papua dalam kekuasaan Indonesia. Dalam mempersiapkan Pemilu 1971
ini, Kodam juga menghadapi perlawanan, terutama di Biak Utara dan Barat,
serta di kepala burung Manokwari. Untuk menghentikan perlawanan
tersebut dilancarkan operasi militer. Sandi operasi adalah Operasi
Pamungkas dengan pendekatan pada operasi teritorial yang dibantu tempur
dan intelijen. Pelaksana Operasi adalah Kodim Biak yang dibantu pasukan
tempur dari Yonif 753 dan 752/Tjendrawasih serta Dipiad. Operasi di Biak
ini dipimpin oleh Dandim Biak Mayor R.A. Hendrik dan Mayor Puspito yang
juga Komandan Yon 753.
Bulan Juli 1971, Kodam juga melancarkan Operasi Pamungkas di
Manokwari untuk mengejar Ferri Awom yang belum menyerah. Operasi ini
dipimpin oleh Danyongab Satgas 3/Merdeka, Mayor Ahmad. Kemudian
digantikan oleh Letkol S. Mardjan. Dalam Operasi ini terlibat pasukan
dari Satgas 3/.merdeka dan 1 peleton dari Yon 751 dan 1 peleton dari
Kompi 753. Batalion-batalion bertugas mengejar kelompok perlawanan
sepanjang hari selama berbulan-bulan, Siang, dan malam. Dalam pengejaran
ini Kapten Sahala Rajaguguk berhasil membujuk Ferry Awom untuk
menyerah dengan 400 orang anggotanya.
Operasi militer yang masif di tahun 1971 ini alih-alih membuat
sentimen anti Indonesia surut, malah perlawanan berkembang ke berbagai
kota dalam bentuk penyerangan terhadap pos-pos ABRI dan pemerintahan.
Melihat perlawanan menguat, Kodam kian memperkuat kekuasaannya di Papua
dengan menutup, Papua bagi media. Suasana ketakutan merajalela di
seantero Papua. Selama menjelang dan sesudah Pemilu 1971 tidak ada satu
pun orang di Papua berani mempersoalkan ketidakadilan atau
tindakan-tindakan anggota militer yang menyakitkan hati mereka.
Atmosfer ketakutan itu muncul dari tindakan militer Indonesia yang
selalu melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap daerah-daerah
yang ditengarai sebagai basis masyarakat yang melawan pemerintahan
indonesia. Dalam melakukan serangan, ABRI kerap melibatkan pasukan dalam
jumlah besar dengan dibantu oleh pesawat pembom Bronco dan helikopter
bersenjata. Serangan besar-besaran itu tidak saja mengejar masyarakat
yang mencoba menyerang pos-pos ABRI, melainkan kerap kali menelan korban
jiwa dari penduduk kampung yang tidak terlibat dalam penyerangan
pos-pos ABRI.
Banyaknya korban jiwa di akhir tahun 1970-an ini juga disebabkan oleh
sikap militer Indonesia sendiri yang tidak pernah secara jelas
memposisikan masyarakat yang melawan pemerintahan Indonesia sebagai
gerakan kemerdekaan. Mereka hanya dilihat sebagai gerakan kriminal yang
disebut sebagai Gerakan Pengacau Liar (GPL) atau Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK). Dengan cara seperti ini, setiap korban jiwa yang jatuh
dari kalangan orang-orang Papua dengan mudah diklaim oleh militer
sebagai anggota penganggu keamanan.
Menjelang Pemilu 1977 perlawanan kembali dilancarkan, oleh masyarakat
di Papua, terutama di daerah Kelila, Kobagma, Bokondini, Mulia, Ilaga,
Piramid, Kabupaten Jayawijaya. Perlawanan ini dipicu oleh penempatan
kesatuan-kesatuan ABRI di hampir seluruh wilayah Papua. Operasi-operasi
militer untuk mematahkan perlawanan menjelang Pemilu 1977 dan Sidang
Umum MPR 1978 ditingkatkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Selain itu, perlawanan juga pecah di Enarotali, Biak, dan Mimika serta
di sepanjang daerah perbatasan dengan PNG Era ini dianggap oleh orang
Papua sebagai era awal status Daerah Operasi Militer bagi Papua
diterapkan . Pangdam Tjendrawasih waktu ini dijabat oleh Brigjen Imam
Munandar.
Di Jayawijaya, terutama di daerah sekitar Tiom dan Kwiyawage yang
merupakan lembah-lembah di Baliem dilangsungkan pula operasi militer
untuk menghentikan perlawanan dan mempersiapkan Pemilu 1977. Operasi
dilancarkan di bulan April dan Juni. Perlawanan orang Ndani di daerah
ini diawali oleh perasaan tidak suka Suku Ndani terhadap kebijakan
Indonesia yang memaksa mereka berganti pakaian. Sekitar 15.000 orang
berkumpul melakukan protes. Perlawanan ini diawali oleh Operasi Koteka
yang dilancarkan untuk mengadabkan orang-orang di daerah itu. Di Tiom
sekitar 4.000 orang melawan dengan cara menyerang pos pemerintah di
daerah itu. Kemudian ke daerah ini diterjunkan pasukan khusus dari RPKAD
dengan didrop dari helikopter. Selain itu, para penduduk yang mencoba
menyelamatkan diri ke hutan-hutan dihujani tembakan dari udara.
Di areal PT Freeport di Timika bulan Juli 1977 juga terjadi gejolak.
penduduk setempat yang ditengarai digerakkan oleh masyarkat yang menolak
pemerintahan Indonesia juga melancarkan serangan terhadap pips-pips dan
fasilitas PT Freeport karena merasa kecewa atas kehadiran perusahaan
itu. ABRI membalas aksi penduduk itu dengan melakukan penembakan dari
udara menggunakan pesawat Bronco. Setelah itu, ke berbagai deretan
kampung di sekitar Agimuga diterjukan pasukan infantri dari Batalion
753/Tjendrawasih untuk mengejar penduduk dan membakar perkampungan.
Implikasi dari aksi kekerasan ini penyelengaraan Pemilu 1977 di beberapa
kampung di daerah pegunungan ini terpaksa ditunda.
Robin Osborne mencatat operasi militer di tahun 1977-1978 adalah
operasi militer paling buruk. Dalam setiap operasi pengejaran terhadap
masyarakat yang prokemerdekaan Papua, diterjunkan pasukan dalam jumlah
besar yang berintikan kesatuan RPKAD dan pasukan angkatan darat lainnya.
Di daerah selatan Jayapura yang berdekatan dengan perbatasan yang
dikenal sebagai daerah Markas prokemerdekaan Papua diterjukan 10.000
orang tentara setelah daerah itu dibombardir dari udara oleh dua pesawat
Bronco. Dalam penyerangan ini, diperkirakan 1.605 orang para pro
kemerdekaan Papua dan penduduk di wilayah itu tewas. operasi militer
tahun-tahun itu selalu diingat oleh orang-orang tua dan menceritakan
kepada anak dan cucu mereka di daerah itu hingga hari ini, sebagai
kenyataan paling pahit dalam hidup mereka.
Sepanjang tahun 1977-1978 itu, Dubes Indonesia untuk PNG
memperkirakan 1.800 orang pasukan dikerahkan beroperasi di hutan-hutan
untuk melakukan pengejaran dan 3.000 orang siaga berada di Jayapura
untuk setiap saat. Menyadari operasi militer itu telah menciptakan
ketakutan dan menelan banyak korban jiwa yang tidak perlu, Panglima ABRI
kala itu, Jenderal M. Yusuf, mengumumkan akan mengurangi operasi
militer di Papua dengan mengintrodusir kebijakan baru yang dikenal
dengan kebijakan Operasi Senyum. Dalam Operasi Senyum ini dinyatakan
Indonesia tidak akan melancarkan operasi besar-besaran, karena
masyarakat prokemerdekaan Papua mulai dilihat kecil dan tidak
membahayakan. ABRI hanya, akan melancarkan patroli di perbatasan dan
tugas keamanan rutin.
Gejolak kembali membuncah di tahun 1980-an, terutama sekitar tahun
1984. Di tahun 1980-an Kodam telah dinyatakan sebagai Kotama dalam
jajaran AD. Panglima Kodam menjadi pimpinan di daerah untuk seluruh
jajaran komando. Pangdam dalam reorganisasi organisasi ABRI ini langsung
berada di bawah Panglima ABRI. Sejalan dengan itu, Panglima ABRI juga
memiliki komando langsung kepada Kotama AD lainnya, yaitu Kostrad dan
Kopassus. Oleh karena itu, di era ini operasi militer melibatkan
pasukan-pasukan dari Kostrad dan Kapassus dengan perintahnya langsung
dari Panglima ABRI, dan Kodam hanya memfasilitasi. Kenyataan ini
kemudian dikenal dengan nama pasukan BKO (bawah kendali operasi). Di era
ini, Papua juga tertutup bagi media sehingga banyak operasi yang
dilancarkan oleh militer tidak diketahui oleh orang luar. Robin Osborne
menyebut keadaan ini sebagai perang rahasia Indonesia di Papua.
Di awal tahun 1980-an, Kopkamtib mengeluarkan analisis bahwa kekuatan
Masyarakat prokemerdekaan telah mengecil dan terpencar-pencar ke dalam
kelompok kecil-kecil dengan senjata yang sangat terbatas. Meskipun
demikian, Laksusda Irian Jaya kala itu juga melihat gerakan
kelompok-kelompok Masyarakat prokemerdekaan itu kembali mulai aktif
setelah menerima pukulan telak sepanjang tahun 1977-1978. Gerakan
Masyarakat prokemerdekaan itu aktif sepanjang daerah perbatasan dengan
PNG. Antara bulan Maret dan Juni 1984, pasukan dari Kopasandha
(Kopassus) mulai melakukan penyusupan ke daerah-daerah sekitar
perbatasan.
Aksi pasukan baret merah ini adalah dengan melakukan penangkapan
terhadap setiap orang yang dicurigai. Osborne mencatat gerakan pasukan
ini sangat menakutkan penduduk sekitar perbatasan karena perlakuan
buruknya terhadap penduduk. Akibatnya, ratusan orang melarikan diri ke
daerah PNG karena takut. Pengungsian ke PNG di tahun 1984 ini kian
banyak ketika Suku Muyu di Mindiptana, Woropko, dan Merauke juga masuk
ke PNG. Pengungsian Suku Muyu ini dipicu oleh kehadiran pasukan ABRI,
yaitu intelijen Kopassus di daerah itu untuk mencari anggota Masyarakat
prokemerdekaan setelah ter adinya penyerangan pos ABRI di desa Kanggewot
dan Kakuna tanggal 11-12 April 1984. Gerakan suku Muyu ini kemudian
juga diikuti oleh penduduk dari daerah lainnya, yaitu dari Jayapura,
Wamena, Sorong, Mimika (Amungme), Manokwari, dan Fak-fak. Seluruh
pengungsi asal Papua yang masuk ke PNG ini diperkirakan mencapai 10.000
orang. Sementara Yafet Kambai mencatat dari seluruh pengungsi itu hanya
sekitar 7.500 berhasil masuk ke PNG dan 1.900 orang berdiam diri di
hutan-hutan sekitar perbatasan. Seluruh pengungsi ini ditempatkan di
kamp East Aswin dan Western Province, PNG.
Gerakan pengungsian ke PNG selain faktor operasi militer di daerah
perbatasan itu, juga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling
berkaitan, yaitu banyaknya operasi intelijen, dan masuknya arcs
transmigrasi secara besar-besaran ke Papua terutama di sekitar daerah
perbatasan. Transmigrasi yang di dalamnya juga masuk keluarga ABRI dan
para pensiunan ABRI kian membuat orang takut sekaligus merasa tanahnya
dirampas. Para purnawirawan ABRI yang ikut dalam pemukiman transmigrasi
sekaligus menjadi Intel Kodam dalam mengawasi daerah itu. Daerah-daerah
transmigrasi ini seperti di Arso dan Koya atau di beberapa daerah di
Merauke dijadikan pula sebagai daerah penyangga bagi Masyarakat
prokemerdekaan dan memudahkan ABRI untuk melakukan patroli di daerah
itu.
Pengungsian ke PNG di tahun 1983-1984, juga dipicu oleh banyaknya
terjadi penangkapan-penangkapan di kota-kota Papua, terutama Jayapura
oleh intelijen Kopasandha. Mereka yang ditangkap ada 20 orang yang
berasal dari Uncen dan pegawai Gubernuran Irian Jaya. Salah seorang dari
mereka adalah Arnold Ap yang menjabat sebagai Kepala Museum Antropologi
Uncen.
Penangkapan ini menimbulkan keresahan di Jayapura. Akibatnya,
banyak dari para mahasiswa Uncen dan pegawai di pemerintah daerah lari
ke PNG. Bahkan di Jakarta, tiga orang sahabat Amol Ap yang memprotes
penangkapan dan pembunuhan Arnold oleh Kapassus ke DPR-RI terpaksa
meninggalkan Jakarta.
Setelah pelarian besar-besaran ke PNG tahun 1984 ini, gerakan
perlawanan dari Masyarakat prokemerdekaan betul-betul surut. Namun, ABRI
yang kian merasa berkuasa atas Papua tidak bisa meninggalkan cars-cars
kekerasan untuk menunjukkan dominasinya. Stigma OPM diekploitasi
sedemikian rupa untuk melumpuhkan siapa saja yang dianggap menentang
Indonesia. Tindakan kekerasan itu kerap pula dipakai setiap menjelang
pemilu demi memenangkan Golkar di Papua.
Operasi militer setelah tahun 1984 berjalan secara lebih masif, namun
aksi kekerasan dalam operasi itu tidak diketahui oleh publik di luar
Papua karena media massa dilarang memberitakannya. Kemasifan operasi itu
ditopang oleh kebijakan ABRI yang menjadikan yonif sebagai kekuatan
inti tempur dengan pasukan tambahan dari Jakarta atau Makassar dan
Maluku yang di-BKO-kan ke kodam. Di tahun 1984 ini, kodam. memilik 6
yonif, 3 di Papua dan 3 yonif di Maluku sebagai hasil penggabungan
kodam. Dari 3 yonif di Maluku, satunya adalah Yonif Linud 733 di Ambon
yang berkualifikasi para. Yonif dari Maluku ditugaskan melakukan operasi
secara bergantian, sementara yonif di Papua melakukan operasi sepanjang
tahun di bawah kendali korem.
Papua sebagai daerah operasi, satuan intelijen kodam dan jajarannya
memegang peranan yang besar untuk menghancurkan gerakan yang disebut
Masyarakat prokemerdekaan. Oleh karena itu, peranan intelijen dan
operasi kontra intelijen selalu aktif sepajang tahun. Para intelijen
dari kodam dan korem direkrut dari anggota satuan tempur yang memiliki
naluri intelijen dan kemudian dilatih 3 sampai 10 hari sebelum
diterjunkan mengumpulkan informasi. Selain itu, anggota intelijen ini
latihan sambil bertugas bersama dengan intelijen tempur yang datang dari
Kopassus.
Operasi-operasi di masa ini adalah Operasi Gagak I (1985-1986) yang
dipimpin oleh Pangdam Mayjen H. Simanjuntak. Dalam operasi ini, pasukan
operasi dibagi ke dalam sektor A di perbatasan, B di tengah dan C kepala
burung dengan komando Korem masing-masing. Danrem adalah komandan
sektor operasi. Kodim menjadi subsektor dengan Dandim sebagai
Dansubsektor. Titik tekan operasi adalah teritorial dengan didukung oleh
operasi intelijen dan tempur serta kamtibmas. Sektor Al meliputi daerah
Kodim 1701/Jayapura, yaitu Membramo, Arso, Wares. Senggi, Kemtuk dan
Demta. Pasukan yang dikerahkan di daerah ini adalah Yonif 733/ BS, satu
kompi dari Yonif 751, 9 tim intelijen, aparat teritorial setempat serta
dibantu oleh 2 SSK Wanra. Sementara A2 meliputi daerah Kodim 1702/Wamena
dengan kekuatan pasukan dari 1 regu Yonif 751, 2 peleton
Kilipur-4/Diponegro, 2 peleton Senzipur 10 serta pasukan teritorial
setempat berserta 2 SST wanra/hansip. A3 adalah daerah Kodim
1707/Merauke dengan sasaran utama adalah desa Mendiptana dan Waropko.
Pasukan yang ditedunkan di daerah ini adalah 1 kompi Yonif 751,1 peleton
Zipur 4/Diponegoro, I peleton Denzipur 10, dan aparat teritorial yang
dibantu oleh 2 SST wanra/hansip.
Daerah operasi sektor B adalah meliputi daerah Korem 173/PVB, dengan
hot spot operasi di Nabire. Sasaran utama adalah Enarotali dan Kebo,
Ilaga. Operasi ini bertujuan memburu pimpinan Masyarakat prokemerdekaan,
yaitu Daniel Kogoya, Tadius Yogi, dan Simon Kogoya. Pasukan yang
dikerahkan ke daerah ini adalah 1 pleton Yonif 753,1 peleton Zipur 4/Dip
dan Apter setempat dan dibantu oleh 2 SST hansip/wanra. Sektor C adalah
daerah Fak-fak dengan fokus operasi di daerah C3, yaitu daerah kompleks
Tembagapura, Agimuga, dan Timika. Pimpinan Masyarakat prokemerdekaan
yang hendak dikejar di daerah tambang PT Freeport ini adalah Vicktus
Wangmang dengan mengerahkan pasukan dari Yonif 752 dengan kekuatan 2
kompi dibantu Apter dan 2 SST hansip/wanra. Dalam Operasi Gagak I ini,
Kodam mencatat 14 orang yang diduga Masyarakat prokemerdekaan berhasil
dibunuh dan 8 orang ditangkap dengan menyita 2 pucuk senjata.
Memasuki tahun 1986 operasi ini dilanjutkan Pangdam Mayjen Setiana
dengan sandi Operasi Gagak II (1986-1987) dengan tugas pokok
penghancuran GPK. Titik tekan operasi adalah operasi teritorial dan
intelijen untuk memisahkan GPK dari rakyat serta melakukan deteksi
loyalitas rakyat terhadap pemerintah. Operasi intelijen melakukan
penggalangan agar loyalitas rakyat meningkat. Operasi tempur terus
dijalankan dengan menggelar patroli untuk mengejar dan menghancurkan.
Operasi dilancarkan dengan tetap membagi daerah operasi ke dalam 3
sektor. Pasukan yang dilibatkan dalam Operasi Gagak II ini adalah
seluruh pasukan organik tempur dan teritorial Kodam VIII/ Trikora. Serta
pasukan BKO dari Satgas Yonif321/Kostrad, 6 Tim Intelpur Kostrad, I
Kompi Yonzipur/Dip, 1 Kompi Yon Zipur/ Brawijaya, satuan dari TNI AL dan
AU serta Penerbad. Selama operasi ini, ABRI melaporkan 21 orang
berhasil dibunuh, 5 ditangkap dan menyerah 12 orang dengan menyita 13
pucuk senjata.
Ketika Mayjen Wismoyo Arismunandar menjadi Pangdam Trikora digelar
operasi dengan sandi Operasi Kasuari 01 (1987-1988), yaitu Juni 1987
sampai Mei 1988 dengan tugas utama menghancurkan GPK secara fisik,
terutama di sekitar daerah perbatasan. Selain itu, operasi juga
ditekankan di Kabupaten Jayapura, Paniai, Fak-fak dan Biak. Perkiraan
ABRI waktu ini kekuatan Masyarakat prokemerdekaan hanya 222 orang
dengan 64 pucuk senjata campuran. Akan tetapi, operasi digelar dalam 3
sektor dengan Danrem tetap sebagai komandan. sektor. Untuk daerah
subsektor Al yang meliputi perbatasan di Kabupaten Jayapura dikerahkan
pasukan dari Satgas Yonif 321/ Kostrad, Satgas Patimura II, 2 peleton
Yonif 751, tim Yonif 752, tim analis Kopassus, tim Intelpur Kostrad,
Satgas Intel Laksusda, satu peleton Kizipur 4/Diponegoro, I kompi Zipur
5/Brawijaya dengan dibantu 4 SSK wanra sebagai TBO. Sementara untuk
Subsektor A2, Wamena dikerahkan 1 Ton Yon 751, 1 Ton Zipur 5/Brawijaya, 1
tim Intelpur Kostrad, 1 Ton Plus Satgas 642/Tanjungpura dan dibantu.
SST wanra. Sementara di sector yaitu Merauke dikerahkan pasukan 1 Ton
Yonif 751, dan 1 Ton Zipur 5/Brawijaya, Satgas Intel Laksusda dan Tim
Intelpur Kostrad dan 2 SST wanra.
Di daerah operasi subsektor Bl, Nabire sasaran adalah Enarotali dan
Sugapa, dengan menerjunkan pasukan dari Yonif 753, Intel Laksusda,
Kizipur 4/Diponegoro, peleton Intelrem 173, Ru Marinir, 1 peleton
Kopaskhas AU, I Tim Khusus Kodim Nabire dan 2 SSK wanra. Kampung yang
menjadi sasaran adalah Kampung Tagitakaida, Seruai, Kampung Swaipak,
Ampobukar, Supiori dan Swainober, Biak Barat. Selain itu juga di desa
Hitadipa, Kecamatan Komopa, Kecamatan Sing, Desa Sapolinik, Kecamatan
Sinak dan Lereh, Nabire. Begitu. juga Desa Tamakuni, Waropen. Pimpinan
Masyarakat prokemerdekaan yang dikejar di daerah ini adalah Tadius Yogi
dan Simon Kogoya. Sementara itu di sektor C, pasukan dikonsentrasikan
untuk patroli tempur dan penjagaan areal PT Freeport serta Kecamatan
Agimuga dan kampung Jila. Pasukan yang dikerahkan adalah berasal dari
Yonif 752 satu kompi, Yonif 753 satu. regu, Ton Intelrem 171, Satgas
Intel Laksusda dibantu satu SSK wanra. Semua pasukan di-BKO-kan kepada
Kodim 1706/Fak-fak.
Operasi militer ini kemudian dilanjutkan dengan Operasi Kasuari 02
(1988-1989). Operasi ditekankan di sepanjang perbatasan dengan PNG
dengan titik tekan operasi teritorial, intelijen dan tempur serta
kamtibmas. Operasi teritorial diarahkan untuk membentuk desa binaan agar
rakyat berpihak pada ABRI. Pasukan yang bertugas dan sektor operasi
sama dengan Operasi Kasuari 01. Kelly Kwalik muncul sebagai pimpinan OPM
di daerah Agimuka dan Tembagapura di masa Operasi Kasuari 02 ini.
Mayjen Abinowo setelah mengantikan Wismoyo Arismunandar mengelar Operasi
Rajawali 01 (1989-1990) dan Operasi Rajawali 02 (1990-1991). Operasi
tetap, ditujukan untuk penghancuran Masyarakat prokemerdekaan di
sepanjang perbatasan dengan PNG. Jenis operasi adalah teritoril,
intelijen clan tempur secara terpadu dan serentak. Operasi teritorial
diarahkan untuk pembentukan desa binaan dengan tujuan memisahkan rakyat
dari GPK. Sementara, operasi intelijen ditujukan untuk mengidentifikasi
gerakan GPK dan menetralisir penganihnya. Sementara itu, operasi tempur
melancarkan patroli, pengejaran, dan penghancuran. Pasukan yang terlibat
dalam operasi ini adalah pasukan organik Kodam VIII ditambah Yonif 621
/Tanjungpura, Yonif 43 1 / Brawijaya, (diganti Yonif 3 1 O/Siliwangi), 1
tim Intelpur Kostrad, Satgas Dampak XX Kopassus, Satgas Udara 3 Heli
Puma, 1 Cassa AL, dan 32 Polsek, dan 6 SSK wanra. Di masa inilah, Thomas
Wangai mengibarkan Benders Melanesia Barat di Jayapura.
Memasuki tahun 1990, kekuatan Masyarakat prokemerdekaan diperkirakan
hanya 215 orang dengan 69 pucuk senjata campuran. Konsentrasi gerakan
berada di sepanjang perbatasan dan sebagian tersebar di Kabupaten
Jayapura, Biak, Yapen-Waropen, Fak-fak, Merauke. Pada periode ini, ABRI
telah membagi empat kelompok GPK, yaitu politis, orang hutan, rakyat
pendukung, dan clandestine yang berada dalam Pemda I dan II, perguruan
tinggi, dan SLTA. Pasukan pendukung operasi ini adalah pasukan organik
Kodam tambah 32 Koramil rawan, yaitu Satgas Yonif 732 asal Maluku,
Satgas Ki. Denzipur 10, 1 Ki. Yon 751, 752, 753, Satgas Intel, dan
ditambah pasukan nonorganik, yaitu Satgas Yonif 621, 431, 310, tim
Intelpur Kostrad, Den Kopassus, dan Satgas Udara. Di tahun 1990 inilah,
operasi intelijen militer yang berintikan pasukan Kopassus di Papua
meningkat. Penangkapan-penangkapan yang disertai pembunuhan terhadap
orang-orang yang dicurigai sebagai Masyarakat prokemerdekaan kerap
terjadi di berbagai tempat.
Operasi jenis ini kemudian terkuak ketika terjadi serangkaian
pembunuhan terhadap penduduk kampung di desa Wea, Tembagapura di bulan
Oktober sampai Desember 1995. Dalam aksi ini, pasukan dari Yonif 752
melakukan penembakan membabi buta terhadap penduduk yang sedang berada
dalam ruma-rumah mereka. Tindakan ABRI itu diawali oleh adanya
demontrasi beberapa bulan sebelumnya dengan mengibarkan bendera Bintang
Kejora. Dalam peristiwa ini, 11 orang terbunuh dan bebeberapa orang
lainnya ditangkap dan kemudian disekap, di kontainer milik PT Freeport.
Sebagian dari penduduk di kampung-kampung itu juga mengalami penyiksaan.
Aksi kekerasan yang sama juga terjadi di Mapenduma, kab Jayawijaya
Wamena ketika pasukan Kopassus mencoba membebaskan orang-orang yang
disandera oleh kelompok Yudas Kogoya dan Kelly Kwalik.
Operasi militer dengan tujuan untuk memburu kelompok Masyarakat
prokemerdekaan kembali terjadi di tahun 2003 tepatnya antara bulan
April sampai Juni dan kemudian terus bertahan sampai Oktober di Wamena.
Dalam operasi pengejaran di tahun 2003 ini diterjunkan pasukan dari
Kopassus dan Kostrad yang di BKO-kan kepada Korem 171/Jayapura. Operasi
militer ini diawali oleh terjadinya pembobolan gudang senjata Kodim 1702
Wamena oleh sekelompok orang bersenjata dini hari tangal 4 April 2003.
Untuk mengejar kelompok bersejata itulah operasi ke kampung-kampung di
seputaran kota Wamena dilancarkan. Pengejaran bahkan sampai ke daerah
Kwiyawage. Mereka yang ditangkap di sekitar kota Wamena ditahan di Kodim
dan kemudian mengalami penyiksaan yang luar biasa. Di kampung-kampung
yang dilewati pasukan TNI ini terjadi rangkaian kekerasan terhadap
penduduk. Namun, tindakan kekerasan yang luar biasa dilakukan pasukan
TNI terjadi di Kwiyawage. Kampung-kampung yang diperkirakan berpenduduk
hampir 7.000 jiwa ini dihujani tembakan dan rumah-rumahnya dibakar.
Ribuan penduduknya yang berhasil ditangkap mengalami penyiksaan dan
beberapa orang di antaranya dibunuh.
Operasi militer yang paling mengejutkan setelah DOM dicabut di Papua
adalah tindakan Kopassus di tahun 2001, yaitu membunuh Theis H. Eluay di
Jayapura. Pembunuhan itu dilakukan setelah Theis diundang Kopassus ke
markasnya di Hamadi, Jayapura. Mayatnya kemudian dibuang di jurang
pingir jalan di daerah Koya. Sampai hari ini, pembunuhan Theis ini belum
terungkap siapa yang memerintahkannya. Yang jelas, seorang letkol dan
seorang mayor Kapassus divonis oleh Makamah Militer Tinggi III Surabaya
sebagai penanggung-jawabnya. Metode pembunuhan terhadap Theis bukanlah
metode baru di Papua. Ratusan orang di Papua dibunuh dengan cara seperti
itu, baik di kampung-kampung maupun di kota di seluruh Papua.
Sebenarnya ketika memasuki era reformasi politik Indonesia di tahun
1998, Masyarakat prokemerdekaan tidak berarti lagi secara politik karena
tidak memiliki kekuatan senjata yang memadai. Bahkan, para anggotanya
terpecah-pecah dan banyak yang bertalian dengan aparat TNI. Maka dari
itu ketika menjabat Menkopolkam, SBY menyatakan Masyarakat
prokemerdekaan bukanlah ancaman yang serius. Namun, aksi kekerasan oleh
TNI di Papua tidak pernah surut. Rangkaian operasi militer yang
terpapar di atas jika disimak dalam literature resmi Indonesia terdapat
kesan bahwa operasi itu berjalan mulus tanpa cela. Seluruh operasi itu
digelar semata-mata untuk mematahkan perlawanan Gerakan Pengacau Liar
atau Gerakan Pengacau Keamanan. Tetapi, banyak saksi di Papua
menyatakan dalam seluruh operasi itu banyak korban jiwa jatuh dari
penduduk biasa di kampung-kampung serta puluhan orang Papua yang
terpelajar dipenjarakan. Ketika situasi politik berubah, rangkaian
Operasi Militer di Papua, digugat oleh orang-orang Papua karena mereka
mencatatnya sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi mereka. Ternyata
dalam operasi militer yang tiada putus itu yang dibunuh, disiksa, dan
dihilangkan atau diperkosa bukanlah sekadar musuh negara, melainkan
ratusan penduduk kampung yang daerahnya menjadi sasaran operasi militer
tersebut. Antara tahun 1963-1969 korban orang Papua oleh operasi militer
diperkirakan oleh Osborne dengan mengutip Hasting berjumlah 2.000
sampai 3.000 orang. Sementara Eliaser Bonay mantan Gubernur Papua di
tahun 1981 pernah menyatakan korban berkisar 30.000 j iwa. Jan Warinussy
Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari memperkirakan jumlah korban hampir
100.000 jiwa sejak Pepera sampai sekarang. Namun, jumlah korban yang
moderat ditulis oleh Agus Sumule ketika merumuskan perlunya Pengadilan
HAM serta Komisi Kebenaran. dan Rekonsiliasi dijamin pembentukannya
dalam UU Otonomi Khusus untuk Papua. Sumule merinci jumlah korban
tersebut adalah antara tahun 1969-1997 di Paniai 614 orang dibunuh.
Hilang 13 orang dan diperkosa 80 orang (1980-1995). Tahun 1979 Kelila
(Jayawijaya) 201 dibunuh, serta tahun 1977 di Asologaiman, 126 dibunuh,
dan Wo9si 148 orang dibunuh. Jumlah korban pembunuhan oleh aparat dalam
rangkaian operasi militer itu belum teridentifikasi secara jelas sampai
saat ini. Meskipun demikian, masalah hak asasi manusia yang serius telah
terjadi di Papua. Menyikapi masalah hak asasi manusia yang serius itu,
ketika fajar tahun 2000 merekah, Presiden Abdurrahman Wahid yang kala
itu berada di Jayapura mengubah nama provinsi Irian Jaya menjadi
Provinsi Papua. Seiring dengan perubahan nama itu, Presiden juga
memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora dan meminta TNI
mengunakan jalan damai dan meninggalkan cars-cars kekerasan dalam
menyikapi masalah di Papua. Setahun kemudian, status Otonomi Khusus juga
disetujui oleh Presiden Megawati kepada Papua melalui UU No. 21/2001.
Jalan dialog ini mulai terbuka karena munculnya gelombang protes yang
tiada henti di Papua sepajang tahun 1998. Gelombang itu dimulai oleh
para kalangan mahasiwa di Jayapura dan kemudian menjalar ke hampir semua
kota di Papua. Titik cetusnya terjadi di Biak, bulan Juli 1999. Ribuan
orang berdemonstrasi dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di Pelabuhan
Biak. Demonstrasi kemudian juga menyebar ke kota-kota Papua lainnya,
seperti Manokwari, Wamena, Merauke, Timika, dan Jayapura. Sayang dalam
berbagai aksi demonstrasi yang diikuti pengibaran bendera Bintang Kejora
ini, lagi-lagi, aparat keamanan bertindak secara kasar. Sepanjang tahun
2000, demonstrasi-demonstrasi yang menuntut keadilan dengan mengibarkan
bendera Bintang Kejora juga mengalami tindakan kekerasan oleh aparat
keamanan. Sepanjang tahun 1999-2000, puluhan orang tewas tertembak oleh
aparat.
______________________________________________________________________________
Sumber :
- http://www.elsam.or.id/mobileweb/article.php?id=359&lang=in
- widjojo, muridhan s. 2005.” Separatisme-hak asasi manusia-separatisme: sklus kekerasan di Papua, Indonesia” dalam jurnal hak asasi manusia dignitas, vol III/ no.1 tahun 2005
0 comments:
Post a Comment