Koban pemukulan ormas dan militer terhadap masa aksi mahasiswa Papua. Dok Yasti M.
Aksi damai mahasiswa Papua di Denpasar Bali dihadang, dan sejumlah masa aksi terluka kena pukulan dan lemparan di Denpasar Bali, Senin 01/04/23.
Demontrasi damai mahasiswa Papua yang tergabung dalam aliansi mahasiswa Papua (AMP) bertema “Demokrasi dan HAM Mati Rakyat Papua Tercekik” Terjadi penghadangan dan Pemukulan oleh Ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN) yang difasilitasi oleh polisi setempat.
Aksi yang di hadang di samping lorong Fakultas Pariwisata universitas udayana
Aksi tersebut rencananya akan di lakukan di bundaran lampu merah sudirma.
Sebelumnya ormas Pgn sudah siap siaga di jalan keluar fakultas Pariwisata universitas udayana
Kronologisnya
A.Kronologis Aksi
Pada 8.00. Wita massa aksi berkumpul di TKP. Dan bebearapa intel memantahu di titik kumpul
8: 3o Wita masa aksi bergerak ke titik Aksi, beberapa ormas siaga di depan jalan daut puri klod tempat titik kumpul masa aksi
9.50. Wita masa aksi dihadang oleh ormas PGN.
10.00.Wita masa aksi bernegosiasi dengan baik namun ormas PGN di depan Fakultas pariwisata Universitas Udayana Bali.
10.05 wita korlap berusaha untuk menenangkan masa aksi namun dari pihak ormas PGN terus mendorong dan menarik masa aksi sampai poster/tuntutan di rusaki
10: 10.Wita korlap arahkan masa aksi untuk mundur karena ormas terus memukul masa dan melempari masa dengan botol, batu, dan sambal pedas ke arah masa aksi sehingga beberapa kawan kena lemparan dan sambal pedas di mata dan testa masa aksi.
10:30. Masa kembali ke titik kumpul karena ormas terus melakukan pelemparan kepada masa aksi.
B.Nama- nama Korban luka :
Wemi : kena lemparan batu di kepala;
Gabi : Kena pukulan dari PGN dan Kepala bocor kena batu;
Yohanes : kena batu dan Luka di tangan;
Yuno : Testa pica dan berdara kena Batu;
Bolikam : Jari kaki tersobek kena Bambu;
Erik w : Kena batu di kaki;
Paman: kena Batu di kaki;
Kepno: Kena Batu Di betis Kaki dan kena pukulan;
Daut Mote: kena Air berisi rica rica;
Tapo: kena kayu di Tangan;
Ampix: Kena pukulan di kepala dan kena lemparan bartu di Belakang;
Jayapura, – Kasus prajurit TNI menyiksa warga sipil Papua telah berulang kali terjadi, sebagaimana yang terlihat dalam video viral penyiksaan warga sipil Kabupaten Puncak oleh sejumlah terduga prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya. Penegakan hukum yang keras dan tegas, serta evaluasi penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua, mendesak dilakukan.
Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey mengatakan sejak 2020 Komnas HAM Papua telah menangani beberapa kasus dugaan penyiksaan yang dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil. “Dalam pengalaman Komnas HAM di Papua [kasus penyiksaan terhadap warga sipil] bukan yang pertama kali terjadi di Papua,” ujar Ramandey di Kota Jayapura, Papua, pada Senin (25/3/2024).
Ramandey mencontohkan kasus penyiksaan dan pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah, pada September 2020. Ia juga menyebut kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas di Merauke pada Juli 2021.
Pada tahun 2022, Komnas HAM Papua juga menangani kasus penyiksaan warga sipil di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan, serta kasus penyiksaan tujuh anak di Kabupaten Puncak. Ada pula kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, juga kasus penyiksaan tiga anak di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua.
Ramandey mengatakan dari kasus-kasus yang ditangani Komnas HAM menunjukan penyiksaan yang dialami warga sipil itu sangat brutal, tidak manusiawi dan melanggar Hak Asasi Manusia. Menurut Ramandey metode penyiksaan hampir mirip digunakan ABRI pada masa rezim Orde Baru.
“Di dalam markas-markas satuan tugas [kesatuan TNI dari luar Papua yang tengah menjalani] Bawah Kendali Operasi, cenderung melakukan penyiksaan berulang-ulang. [Modus] yang dipakai [adalah] modus rezim Orde Baru, menggunakan drum, orang diikat, tidak berdaya, sehingga [pelaku] dengan sangat bebas melakukan penyiksaan,” katanya.
Ramandey mengatakan penyiksaan ini hanya akan memperpanjang siklus kekerasan yang terjadi di Papua. Ramandey mengatakan para prajurit TNI yang bertugas di Papua harus diberikan pembekalan yang baik mengenai HAM. Selain itu para prajurit yang terlibat dalam kasus penyiksaan harus diproses hukum secara tuntas.
“Kalau tidak siklus kekerasan itu terus berulang, karena [penyiksaan yang terjadi] akan menimbulkan kebencian, dendam, kemarahan. Itu juga menjadi fakta [bahwa prajurit TNI] yang ditugaskan ke Papua itu [harus] diberi pembekalan yang baik,” kata Ramandey.
Ramandey mengatakan harus ada evaluasi atas penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua. Ia juga meminta evaluasi atas penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua di Bawah Kendali Operasi (BKO) Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III. Menurut Ramandey, pasukan TNI dari luar Tanah Papua lebih baik ditempatkan di bawah kendali Komandan Daerah Militer (Kodam) setempat.
Ramandey meyakini konflik Papua hanya bisa diselesaikan dengan baik melalui dialog damai. Ia mengatakan Negara harus berani membuka ruang dialog damai tersebut, termasuk dialog kemanusiaan yang pernah didorong Komnas HAM pada 2023.
“Tidak ada mekanisme lain dalam penyelesaian konflik, karena sampai hari ini dunia hanya mengaku satu mekanisme, yaitu mekanisme dialog. Kalau TPNPB dibunuh habis, itu akan menimbulkan masalah hukum, dan anak-anaknya akan dendam. Negara harus membuka ruang itu supaya orang-orang baik TPNPB, mereka diberi ruang untuk duduk bicara,” ujarnya.
Berulang karena impunitas
Dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu (23/3/2024), Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan hak setiap orang untuk terbebas dari penyiksaan adalah bagian dari norma-norma yang diakui dan ditaati secara internasional (peremptory norms atau jus cogens). Usman mengatakan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 20 terhadap Pasal 7 ICCPR telah menegaskan tidak seorang pun dapat dikenai praktik penyiksaan/perlakuan/penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dalam keadaan apapun.
“Tidak seorangpun di dunia ini, termasuk di Papua, boleh diperlakukan tidak manusiawi dan merendahkan martabat, apalagi sampai menimbulkan hilangnya nyawa,” tulis Usman.
Usman mengatakan larangan terhadap praktik penyiksaan juga telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Tortureand Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). “Keseluruhan aturan tersebut semakin menegaskan bahwa tidak seorang pun patut disiksa atas alasan apapun,” tegas Usman.
Usman meminta TNI mengevaluasi penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua. Usman menilai selama ini penempatan pasukan dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua telah menimbulkan jatuhnya korban dari warga sipil di Papua.
Dari catatan Jubi, prajurit TNI diduga berulang kali terlibat penyiksaan terhadap warga sipil di Papua. Pada 22 Februari 2022, prajurit TNI menganiaya tujuh anak di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, setelah prajurit Batalyon Infanteri Mekanis 521/Dadaha Yodha, Prada Kristian Sandi Alviando kehilangan senjata SS2 di hanggar PT Modern, Bandara Tapulunik Sinak, Kabupaten Puncak. Tujuh anak yang mengalami penyiksaan yaitu Deson Murib, Makilon Tabuni, Pingki Wanimbo, Waiten Murib, Aton Murib, Elison Murib, dan Murtal Kulua. Makilon Tabuni kemudian meninggal dunia.
Pada 28 Agustus 2022, prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang diduga menangkap dan menganiaya empat orang warga yang mabuk di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan. Keempat warga yang ditangkap karena mabuk itu adalah Amsal Pius Yimsimem, Korbinus Yamin, Lodefius Tikamtahae, dan Saferius Yame. Komnas HAM Papu menyatakan bahwa keempat warga itu juga mengalami penganiayaan sejak jam 23.00 – 03.00 WP, sehingga mengalami luka di sekujur tubuh mereka.
Pada 30 Agustus 2022, prajurit yang bertugas di Pos Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi diduga melakukan penganiayaan yang menyebabkan Bruno Amenim Kimko meninggal dunia, dan Yohanis Kanggun luka berat. Sejumlah 18 prajurit Satuan Tugas Batalion Infanteri Raider 600/Modang menjadi tersangka dalam kasus itu.
Pada 27 Oktober 2022, tiga anak di Kabupaten Keerom yaitu Rahmat Paisei (15) bersama Bastian Bate (13), dan Laurents Kaung (11) diduga dianiayai di parjurit TNI di Pos Satuan Tugas (Satgas) Damai Cartenz, Jalan Maleo, Kampung Yuwanain, Arso II, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua. Ketiga anak itu dianiayai menggunakan rantai, gulungan kawat dan selang air, hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Usman mengkritik praktik impunitas terhadap para terduga pelaku berbagai kasus terdahulu telah menyebabkan kasus penyiksaan warga sipil oleh prajurit TNI terjadi berulang kali dan selalu berulang. “Tindakan itu bisa terulang karena selama ini tidak ada penghukuman atas anggota yang terbukti melakukan kejahatan penculikan, penyiksaan, hingga penghilangan nyawa,” ujarnya. (*)
Foto salah satu Mama Mee yang sedang berjualan di depan Hotel Yasmin, Kota Jayapura. Foto dari benarnews.org.
“Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai no, ogeima wae!”.
(Jika tangan ini tidak bergerak bekerja, kaki tidak melangkah jauh dan tanah ini tidak diolah, maka bagaimana makan minum anak -anak. Mereka akan kelaparan dan mati, mereka tidak akan sekolah. Tetaplah kerja kebun, kawan!)
Kata-kata penggerak ini sering diucapkan mama-mama Mee saat bekerja di kebun.
Ketika tiba di Kota Jayapura, ucapan tersebut sekaligus menjadi alasan mama-mama Mee membuka lahan untuk bercocok tanam sayur kangkung putih dan daun petatas.
Bagi Mama Anike, Mama Magai, dan Mama Kadepa (nama disamarkan sesuai permintaan narasumber), tanah adalah segalanya. Kehidupan ketiganya tak dapat dipisahkan dari tanah. Sejak kecil mereka sudah belajar menanam.
Dalam bahasa Mee, bunamakiyo kouko akukai, yakni tanah merupakan mama. Tanah menyediakan segalanya dan memberikan setiap kebutuhan bagi kehidupan. Di Meeuwodide, sebutan untuk wilayah adat Suku Mee, tanah adalah bank kehidupan.
Mama-mama Mee meyakini bahwa tanah diciptakan oleh Sang Khalik untuk dikerjakan, diolah agar tetap hidup dan menghidupi sesuai dengan ujaran Mee bage (atau masyarakat suku Mee),
“Tai keitai, ekina muni, owa migi (kerja kebun, memelihara babi, dan membangun rumah).”
Filosofi ini menguatkan tekad Mama Anike, Mama Magai, dan Mama Kadepa untuk tetap mencari lahan dan bercocok tanam setelah pindah ke Tanah Tabi, Numbay pada kisaran tahun 1980-1990an.
Jayapura, Kota Semarak Penghuni
Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua. Ia juga menjadi kawasan industri perdagangan di kawasan Timur Indonesia. Dengan perkembangan yang padat, Kota Jayapura menjadi salah satu kota dengan densitas tinggi.
Selain menjadi kawasan industri dan perdagangan, Kota Jayapura menjadi pusat pendidikan sehingga terjadi urbanisasi besar-besaran. Mereka yang datang bukan hanya di usia sekolah, juga kelompok keluarga yang hendak mengikuti perubahan.
Urbanisasi di Kota Jayapura mulai terjadi dari awal tahun 1970an akhir hingga tahun 1980an. Sebagian besar datang dari wilayah adat Lapago dan Meepago. Mereka menempati Kota Jayapura sesuai mata pencaharian atau budaya kerja.
Penduduk dari wilayah adat Lapago banyak menempati di dataran tinggi, seperti sepanjang kaki gunung Cyclop, area Abepura gunung, Koya, dan sekitarnya. Ibu Ev. Ruth Togodly, S.Th, merupakan salah satunya. Ia mengungkapkan, orang tuanya sudah melakukan urbanisasi dari tahun 1970an akhir dari Wamena dan memilih menetap di daerah Angkasapura.
Ibunya, Mama Gombo, merupakan salah seorang pionir yang membuka lahan di sekitar Angkasapura hingga pernah dipanggil polisi karena lahan tersebut merupakan hutan lindung. Namun Mama Gombo tidak merusak seluruh alam sekitar gunung Angkasapura. Terlebih, lahan yang dibuka sebagai kebun berguna untuk menopang ekonomi rumah tangga. Hingga saat ini beberapa kebun masih dilanjutkan oleh anak-anaknya.
Penduduk dari wilayah adat Meepago mendiami dataran yang lebih rendah, seperti di Argapura, Dok 5, Apo, dan Deplat Kanan. Jumlah keluarga Meebage di Port Numbay berkisar 100 kepala keluarga (KK). Merujuk data dari kepala suku besar Suku Mee daerah Mamta pada periode 2019-2022, komposisi pekerjaan mereka terdiri dari 50% petani dan buruh kasar/pembersih kota, 10% juru parkir dan satpam, 30% Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TU, serta 10% mahasiswa. Data ini merupakan hasil beberapa tahun lalu, sehingga perlu survei oleh kepala suku yang baru untuk memperbaharui.
Selain terjadi urbanisasi internal pada tahun 1970an, jauh sebelumnya telah terjadi transmigrasi besar-besaran yang dilakukan melalui program pemerintah daerah maupun negara dalam rangka pemerataan penduduk. Warga imigran sebagian besar dari Pulau Jawa ditempatkan di wilayah Koya dan Arso (sekarang Kabupaten Keerom).
Ada pula kelompok migran dari pulau Sulawesi yang menempati wilayah bagian laut, di antaranya Argapura laut, Hamadi, dan Pulau Kosong. Penduduk asli Kota Jayapura yang terdiri dari Suku Kayu Batu, Suku Kayu Pulau, Suku Tobati, Suku Enggros, Suku Nafri, Suku Skouw, dan Suku Sentani Timur sangat ramah terhadap sesamanya yang datang ke wilayah adatnya. Mereka hidup berdampingan. Lahan kosong yang tersedia kemudian dibangun perumahan maupun tempat untuk beraktivitas ekonomi dan budaya.
Pembangunan di Kota Jayapura terus berkembang pesat memakan tiap lahan kosong. Para pemilik modal besar membeli lahan-lahan tersebut untuk dilipatgandakan menjadi ruko, mal, hotel, dan lainnya yang dianggap sebagai strategi pertumbuhan ekonomi dan pengembangan daerah.
Lahan pertanian masyarakat yang semula berfungsi memenuhi kebutuhan pangan ikut diubah menjadi bangunan-bangunan publik. Selain itu peningkatan jumlah penduduk yang terjadi mengakibatkan banyak lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi pemukiman, baik itu yang dikembangkan oleh investor maupun rumah-rumah pribadi.
Konsep pembangunan ini memandang tanah hanya bernilai kapital. Akibatnya, pemilik modal besar atau kapital kian berkuasa sementara masyarakat kelas menengah maupun kelompok miskin hidup tidak memiliki tanah.
Menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru bukan persoalan mudah, apalagi harus memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga di tengah Kota Jayapura yang terus mengalami perkembangan dan kemajuan. Maka kelompok mama dari wilayah Meepago mulai mengolah tanah di beberapa titik tempat untuk ditanami beberapa tanaman khas, yakni daun petatas dan sayur kangkung. Beberapa lokasi lahan dapat di lihat di area belakang kampus Fakultas Kedokteran, Universitas Cenderawasih (Uncen), sebagian di sepanjang Kali (sungai) Acai, sekitar Pasar Youtefa dan sisi perumahan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Kotaraja.
Bertahan Berkebun di Lahan Sempit
“Setelah ruko ini selesai dibangun bos bilang nanti timbun bagian yang kami kerja kebun. Sementara mama kerja dulu sambil selesaikan ruko ini karena akan dibuat kolam renang dan tempat bermain.” cerita Mama Kadepa dengan air muka pasrah.
Penulis menemui Mama Kadepa di tempat jualannya, di pinggir jalan raya Youtefa.
Mama Kadepa menjajakan daun petatas. Sembari menikmati senja, penulis bersama Mama Kadepa menyantap roti dengan teh hangat. Mama Kadepa kemudian menuturkan pengalamannya.
Tanah tempat Mama Kadepa berkebun sudah dibeli oleh pengusaha. Dulunya tanah tersebut milik seorang ondo (kepala suku).
“Bapak ondo tidak pernah menagih uang atau memarahi kami. (Ketika) pembangunan ruko mulai makin dekat dengan kebun kami. Bos (pemilik ruko) sudah kasih ingat.” lanjut Mama Kadepa.
Peringatan dari pemilik ruko seakan memerintahkan Mama Kadepa dan mama-mama Mee lainnya untuk segera meninggalkan lahan tersebut dan mencari tanah kosong untuk kebun baru.
“Sekarang kami, mama (Suku) Mee masih ada harapan karena anak kami pinjamkan tanah miliknya untuk diolah, ditanami sayuran.”
Mereka sudah merintis pembukaan lahan saat wabah Covid-19 merebak karena semangat orang-orang untuk berkebun meningkat. Ketiga suaminya kerap ikut membantu membuka lahan, tapi ketika proses menanam maupun memanen lebih banyak dilakukan oleh mama-mama. Lokasinya terbilang jauh, terletak di Koya Koso, Distrik Abepura. Sementara Mama Magai dan Mama Kadepa tinggal di Argapura, Mama Anike berdomisili di Buper, Waena.
Ketika pergi ke kebun, mereka harus naik angkutan beberapa kali sehingga menghabiskan biaya terlampau besar.
“Hasil jualan habis di ongkos taksi saja.” lanjut Mama Kadepa.
Alhasil, kebutuhan untuk membeli garam, minyak goreng, dan lainnya tidak dapat dipenuhi secara maksimal. Semakin jauh kebun, maka pengeluaran di biaya kendaraan angkutan dan ojek yang ditumpangi makin besar. Selain itu, lokasi tersebut sering tergenang air atau banjir yang mengakibatkan gagal panen.
Mama Kadepa melanjutkan ceritanya. Ia tinggal bersama suaminya dan enam anak. Seorang anak perempuan diantaranya sudah menikah dan baru saja melahirkan. Maka di rumah tersebut, hasil kebun Mama Kadepa menjadi tumpuan kehidupan bagi 9 penghuni, termasuk dirinya.
“Mabi (sapaan untuk anak perempuan nomor tiga dalam bahasa Mee), bapak di rumah sakit-sakitan baru adik-adik juga semua sekolah. Kalau kami sudah pindah lagi ke kebun Koya Koso nanti tidak cukup uang jajan anak-anak dan makan minum di rumah.”
Apabila sayur jualan tidak habis, Mama Kadepa mengeluh rugi. Anak-anak di rumah menunggu kepulangan sang mama dengan oleh-oleh atau bahan makanan. Mereka menantikan isi dalam agiya (noken khas dari Suku Mee).
“Hati sedih dan menangi tapi hidup sudah begitu.” ungkap Mama Kadepa getir.
Mengisi kekosongan waktu di rumah, Mama Kadepa lebih memilih menganyam noken sebisanya walau tidak begitu mahir. Pekerjaan di rumah lebih banyak diambil alih oleh anak perempuannya, Lexi, yang sudah menikah dan memilih hidup bersama orang tuanya bersama suami. Meski Lexi menikah, ia tetap melanjutkan pendidikan tinggi di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Jayapura.
Sementara Mama Magai sendiri merupakan janda dengan dua anak. Sembari membiayai kebutuhan sehari-hari, hasil jualan Mama Magai harus cukup untuk membayar sekolah kedua anaknya, sulungnya di bangku kuliah dan bungsu di SMA.
Mama Magai kerap menghabiskan waktu sendirian di rumah, sebab kedua anaknya banyak beraktivitas di luar rumah bersama teman-temannya. Beban rumah tangga lantas hanya dikerjakan olehnya. Jika waktunya luang, Mama Magai menyambangi keluarganya di Angkasapura.
Di rumah Mama Anike, malam itu, makanan dingin yang dimasak sedari pagi menyambutnya. Ia tetap melahapnya, kemudian ia berbaring. Kepalanya diletakkan pada bantal berwarna merah di suatu sudut ruang tengahnya.
Suami Mama Anike merupakan pendeta di sebuah jemaat Gereja Kingmi Papua. Kesehariannya, ia membantu Mama Anike mengerjakan tanggung jawab di rumah.
Keduanya memiliki 8 anak, 2 diantaranya sudah meninggal. Keenam anak lainnya berhasil menempuh pendidikan dari hasil berjualan sayur. Dulu saat anak-anak masih kecil, mereka ikut menggarap kebun dan pekerjaan-pekerjaan di rumah. Kini anak-anaknya telah hidup mandiri, ada yang bekerja sebagai dokter, PNS, guru, pebisnis, antropolog, dan pekerja kemanusiaan. Si bungsu masih duduk di bangku perguruan tinggi.
Mama Anike sebenarnya sudah sering diingatkan oleh ke-24 cucu dan anak-anaknya untuk tidak lagi bekerja di kebun ketika ia pergi berkunjung. Namun buatnya tanah sudah menyatu dengan dirinya.
Kebun Hilang, Hidup Gamang
Pembangunan infrastruktur yang pesat meminggirkan lahan yang dikelola oleh Mama-mama Mee di Kota Jayapura. Mereka tidak pernah membayangkan hunian sederhana yang mereka kelola sejak tahun 1970an akan seperti saat ini. Lahan kebun bukan lagi ditanami sayuran, tapi gedung-gedung, kawasan hotel, deretan ruko, dan bangunan lainnya.
Kelompok mama ini berharap bahwa pemerintah dapat lebih bijaksana mengembangkan program-program pembangunan sehingga tetap menyediakan lahan kayak untuk mereka yang bekerja di kebun dan menghasilkan sayuran hijau bagi masyarakat di Kota Jayapura.
“Kalau tanah sudah tidak ada lagi bagi kami, bagaimana nasib kami dan keluarga kami?” ketiga mama bertanya-tanya.
Kebingungan tidak berhenti. Hilangnya akses untuk berkebun turut menghapus kemampuan Mama-mama Mee. Tanah bukan sekadar media pencetak uang. Buat mereka, tanah merupakan pusat kehidupan secara budaya, ekonomi, dan teologis.
Apabila pembangunan memang diperuntukkan masyarakat, seharusnya tiap orang dapat menikmatinya, termasuk perempuan. Berkaca pada pengalaman Mama-mama Mee, kunci pembangunan yang bijaksana semestinya melibatkan siapa pun dan berempati terhadap perempuan dalam peranannya serta pekerjaannya dalam lingkungan hidup. Perempuan berperan dalam produksi dan pengolahan pangan, mencakup mempromosikan praktik pertanian organik dan berkelanjutan.
Selain itu perempuan adalah penjaga tradisi pertanian lokal yang berkelanjutan. Peran perempuan dalam menjaga alam sangat penting dan memiliki dampak signifikan pada pelestarian lingkungan.
***
Catatan: Tulisan ini merupakan karya dari partisipan workshop menulis untuk perayaan International Women’s Day (Hari Perempuan Sedunia) 2024 bertema “Inspire Inclusion: Ambil, Rebut, Ciptakan, dan Pertahankan Ruang untuk Perempuan di Tanah Papua” yang didukung oleh Lao-Lao Papua, Elsham Papua, Yayasan iWaTaLi Papua, Parapara Buku, dan Yayasan Pusaka. Tulisan ini diedit oleh Narriswari.
Jayapura/mw, Seorang prajurit TNI tewas ditembak oleh tentara pembebasan nasional Papua barat (TPNPB) di Puncak Jaya, Papua Tengah, Minggu (17/3) siang. Berdasarkan informasi penembakan prajurit TNI itu terjadi di Distrik Muara sekitar pukul 12.55 WIT. Juru Bicara TPNBP-OPM Sebby Sambom dalam keterangan tertulisnya mengeklaim pihaknya telah menembak dua prajurit TNI di Kampung Kurilik. Selain menewaskan seorang prajurit TNI, … Lanjutkan membaca Prajurit TNI Tewas Ditembak TPNPB di Puncak Jaya
Pemekaran Papua terus berjalan sesuai rencana untuk menjadikan pulau besar itu dalam tujuh provinsi. Konflik pun berkembang, dari sebatas soal pro dan kontra, kini juga terkait letak ibu kota, pemakaian tanah adat hingga pengisian pegawai.
Aksi Demo Penolakan DOB di Wamena. Dok telius-yikwa.
Begitu disahkan, tiga provinsi baru di Papua langsung mengundang perdebatan. Pemerintah memang menyiapkan segala hal secara baik, tetapi di tingkat masyarakat, wacana tentang daerah pemekaran belum matang. Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua kepada VOA menilai, potensi konflik horizontal saat ini adalah sesuatu yang nyata.
“Terus terang, kita semua menerima Daerah Otonom Baru (DOB) itu. Saya termasuk yang mendukung DOB disahkan segera, proses percepatan supaya mengentaskan kemiskinan. Tetapi, kesiapan masyarakat di bawah itu yang bisa berimplikasi menjadi konflik horizontal di antara sesama orang Papua,” kata Ismail, Minggu (10/7).
Ismail mencontohkan, pemerintah menetapkan Nabire sebagai calon Ibu Kota Provinsi Papua Tengah. Sementara Suku Meepago, yang mendiami kawasan tersebut, menginginkan Timika yang menjadi Ibu Kota. Protes sudah disampaikan, dan dikhawatirkan eskalasinya akan terus meningkat jika tidak dikelola dengan baik.
Jika masyarakat adat tidak didengar aspirasinya, tentu saja ada konsekuensinya. Dikatakan Ismail, tanah adat sepenuhnya dimiliki masyarakat adat. Jika pemerintah ingin membangun ibu kota provinsi beserta bangunan dan fasilitas di dalamnya, tentu akan memanfaatkan tanah adat.
“Mereka yang menolak itu pemilik hak ulayat tanah, sehingga sekarang misalnya kantor pemerintah mau ditempatkan di mana? Nah, mau bangun kantor, infrastruktur dan semuanya dari tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota, itu juga bisa menjadi ada masalah di bawah,” tambahnya terkait potensi konflik kedua.
Potensi konflik horizontal juga bisa muncul terkait penetapan kabupaten mana yang masuk ke satu provinsi tertentu. Ismail menyebut, masyarakat Pegunungan Bintang menginginkan tetap masuk sebagai bagian dari Provinsi Papua, atau provinsi induk yang saat ini ada. Sementara rencananya, kabupaten ini akan masuk ke Provinsi Papua Pegunungan.
Potensi konflik antar masyarakat berikutnya, menurut Ismail adalah proses pengisian aparatur sipil negara (ASN) di provinsi baru.
“Orang Papua ini kan dari sisi tingkat pendidikan rendah, sehingga nanti yang akan mengisi posisi itu, akan lebih banyak dari kelompok masyarakat pendatang di Papua. Itu juga berpotensi kedepannya akan melahirkan konflik antara masyarakat dari berbagai wilayah di Nusantara dengan kita, orang Papua,” tandas Ismail.
Padahal, kondisi itu tercipta karena sejak lama akses pendidikan bagi masyarakat Papua memang sulit.
Dalam diskusi “Pemekaran Sebagai Resolusi Konflik?” yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada, Rabu (6/7), potensi konflik ini juga dikupas mendalam. Pejabat dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Brigjen TNI Danu Prionggo misalnya, menyebut soal silang pendapat penetapan ibu kota.
“Pasca penetapan Ibu Kota Provinsi Papua Tengah di Nabire dan cakupan wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang menjadi bagian dari Provinsi Papua Pegunungan, terjadi peningkatan eskalasi politik dan keamanan, “ kata Danu.
Dani mengatakan, perwakilan masyarakat Mimika sempat datang ke Jakarta dan menyampaikan penolakan.
“Itu bentuk aspirasi yang positif karena disampaikan langsung ke pemerintah. Kita sampaikan agar bisa menahan diri,” tambahnya.
Pemerintah juga telah memetakan potensi kemungkinan terjadinya konflik pra maupun pasca pemekaran. “Misalnya potensi penolakan DOB, penentuan cakupan wilayah, penentuan ibu kota, pengisian jabatan politik dan pemerintahan, menguatnya arus migrasi ke Papua, serta konflik kepemilikan tanah,” kata Danu mendetilkan.
Pemerintah tentu saja memberi alasan, sekaligus wacana ke depan, terkait pemilihan ibu kota itu. Misalnya, seperti yang disampaikan Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOP Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto Sumito.
“Kabupaten Mimika akan berkembang sebagai pusat perekonomian, sedangkan kabupaten Nabire akan berkembang sebagai pusat pemerintahan,” kata Valentinus dalam diskusi tersebut.
Catatan GTP UGM
Sementara Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr Gabriel Lele, mengatakan lembaga tersebut berupaya menekankan transformasi konflik sebagai kerangka pemekaran Papua. Hal itu harus diterjemahkan dalam berbagai aspek kultural maupun struktural serta negara juga wajib memberikan intervensi secara holistik.
“GTP UGM memberikan perhatian khusus pada aspek-aspek mikro seperti relasi orang asli Papua (OAP) dengan migran, hak ulayat, perekonomian yang berpihak pada OAP serta inklusivitas politik dan birokrasi. Hal ini diharapkan mampu memberikan warna dalam proses transformasi konflik,” kata Gabriel.
Tim Gugus Tugas Papua UGM sendiri telah mengidentifikasi beberapa isu krusial terkait pembentukan provinsi baru yang memerlukan perhatian serius. Pertama, penentuan ibu kota, yang sangat krusial dalam kasus provinsi Papua Tengah dengan adanya rivalitas antara Nabire dengan Mimika. Kedua, pengisian jabatan politik dan pemerintahan, terutama merujuk pada minimnya OAP di struktur birokrasi maupun politik.
Ketiga adalah arus migrasi ke Papua, karena kehadiran unit pemerintahan baru akan diikuti terbukanya peluang-peluang ekonomi dan menjadi magnet bagi migrasi penduduk dari luar Papua. Keempat, konflik kepemilikan tanah, karena belum adanya prosedur jelas dalam jual beli atau pembebasan tanah adat yang diperparah tingginya tingkat deforestasi.
Penanganan Konflik Sosial
Kepada VOA, Direktur LBH Papua Emanuel Gobay meminta pemerintah melihat persoalan ini dengan menggunakan sudut pandang sesuai UU 7/2012 tentang penanganan konflik sosial.
“Karena sejak perumusan hingga pengesahan ini menciptakan dua kubu, baik pro dan kontra, yang menerima DOB maupun yang menolak DOB, dan juga setelah ini menciptakan kelompok pro-kontra baru lagi,” kata Gobay.
Kelompok pro-kontra yang baru, kata Gobay, contohnya adalah soal ibu kota, masuknya wilayah ke provinsi tertentu, sebagaimana juga telah dideteksi banyak pihak.
Di sinilah pentingnya penerapan UU 7/2012 tentang penanganan konflik sosial diterapkan.
“Karena jelas-jelas kalau menggunakan kacamata tersebut, pemicunya kan perumusan kebijakan sehingga bisa melahirkan pro-kontra dan munculnya berbagai kelompok yang mudah tersulut konflik dan mengakibatkan konflik sosial,” tambahnya.
Gobay juga menyinggung tentang pengiriman pasukan keamanan ke Papua, yang ditujukan untuk mengantisipasi konflik pasca penetapan daerah pemekaran.
“Harapan saya, Kapolri bisa memerintahkan agar pendekatannya humanis. Jangan sampai ada pelanggaran hukum ataupun HAM yang terjadi, karena itu akan menambah panjang deretan fakta pelanggaran HAM. Harapannya, kita lihat ini menggunakan UU 7/2012, dalam konteks penanganan konflik sosial, secara humanis,” tegasnya. [ns/em]
Jayapura, – Head of the United for Truth (BUK), an organization for victims of human rights violations, Tineke Rumkabu said victims of the Bloody Biak tragedy demanded President Joko Widodo fulfill his political commitment to resolve various cases of human rights violations in Papua.
“We demand President Joko Widodo, the National Police, the National Commission on Human Rights (Komnas HAM), and the regional government to resolve the Bloody Biak case,” said Rumkabu on Wednesday, July 6, 2022.
She said that after 24 years, none of the perpetrators of the Bloody Biak tragedy had been brought to justice.
“Where is the responsibility of the state for victims who were tortured, disappeared, raped, and killed? We as victims consider Indonesia irresponsible for various cases of human rights violations in Papua. Indonesia does not provide a sense of justice for victims, nor does it arrest and prosecute perpetrators of human rights violations,” said Rumkabu.
If the case were resolved without a court process and only resolved through the Truth and Reconciliation Commission (TRC), Rumkabu said, it would not provide a sense of justice for the victims. She urged the government to establish an Ad Hoc Human Rights Court to try the perpetrators.
The results of Elsham Papua’s investigation titled “Papua Without a Name, a Name Without a Tomb” published in July 1999 stated that the Bloody Biak tragedy caused the death of eight people. In addition, three people were missing, four people were seriously injured, 33 people were slightly wounded, and 150 people were arrested and tortured.
After the incident, 32 bodies were found in Biak waters. The report also mentioned that various army units allegedly attacked protesters in Biak on July 6, 1998.
Rumkabu said that if the government continued to delay the legal process in the Bloody Biak tragedy, the disclosure of the case would be increasingly difficult.
“Some of the perpetrators are getting old, some have died, some have retired, all of it makes it more difficult to disclose the Biak human rights violation,” she said.
Finally, Rumkabu asked the Indonesian government to provide trauma recovery for victims and their families. She also hoped that the government would provide access for the Independent Team to resolve human rights violations in Papua.
“We also ask the Indonesian government to open access for foreign journalists to visit the Land of Papua, and be serious in resolving various cases of human rights violations that have occurred in Papua,” she said. (*)
Dahulu kamu menjadi prajurit Pro Merdeka untuk Papua.
Yang siap "Mati" dengan kaki berdebu & rela berkeringat di jalanan,
dengan megaphone tua. Jiwa dan Raga berani dikorbankan demi Ideologi & harapan.
Tetapi kini, tinggal kenangan kawan.
Garuda NKRI, dengan berbagai partai politik, sudah mampu mencoret semangatmu dengan tinta emas. Sedang kami mampu mencoretmu dengan darah dan air mata belaka.
Mungkin itu tidak cukup kuat untuk menahanmu.
Ayo kawan kita pulang ke jalan tua...
Ulangi canda kita di depan moncong senjata...
Dengan kopral tua dengan senandung kenangan lama...
Sadar kawan, tidak baik bergaya 5 tahun, satu periode.
Itu sama dengan menciptakan penjara kecil, dalam genggaman NKRI.
Karena, tidak pantas, untuk seorang pejuang.!
Lebih baik mati dalam pertempuran, dari pada mati dalam selimut musuh.
Nama baik & harga diri lebih berharga, dari pada harta-kekayaan.
Konflik horisontal adalah konflik antara etnis yang kebanyakan di ciptakan oleh kapitalis (Pemodal) & Kolonial ,gunanya utk memecabela persatuan rakyat pribumi setempat dan untuk memperluas wialayah jajahan . Konflik horisontal juga dilahirkan ketika daerah tersebut mengandung sumber daya alam yang melimpah contohanya seperti di daerah Mimika West Papua.
Konflik diciptakan agar rakyat pribumi hidup dalam ketakutan antara etnis( tidak bersatu). Konflik juga gunanya untuk mengalika pikiran rakyat untuk tidak ,memikirkan masalah pendidikan,kesehatan,pencemaran linkungan, ekopol dan masalah Jati dirinya sebagai satu Bangsa yaitu Bangsa West Papua yang harus merdeka dari kapital & Kolonial Indonesia.
Konflik manapun pasti ada kepentingan Ekonomi-politik di dalamnya. Makanya Tete kumis bilang ,kalau mau menlihat permasalahnya secara detail sampai ke akar2nya kita harus menlihat dari Materialisme Dialetika dan Historis. Setelah itu lihat lagi apa kepentingan Ekopolnya Indonesia dan Negara2 kapitalis di di West Papua dan pada khususnya daerah Mimika West Papua.
Berikut adalah Rentetan
Wabah Yang Merenggut Nyawa Orang Papua :
Tahun
2004, 108 Balita Meninggal di Kab. Paniai.
Tahun
2008, 294 Orang Meninggal di Kab. Dogiyai (dalam 2 Minggu)
Tahun 2010, 40 Orang Meninggal di Kab. Intan
Jaya ( dalam 1 Minggu)
Tahun
2012-2013, 95 Orang Meninggal di Kab. Tambrauw ( dalam satu Bulan)
Tahun
2013, 95 Orang Meninggal di Kab. Yahukimo ( dalam 3 Minggu)
Tahun
2015, 128 Balita Meninggal di Kab. Nduga ( dalam 4 Minggu)
Tahun
2016, 56 Balita Meninggal di Kab. Ndugama ( dalam 2 Minggu).
Tahun
2017, 40 Lebih Balita Meninggal di Kab. Deiyai dalam 1 minggu, Namun Belum Juga
Ada Penanganan Serius Dari Pihak Terkait.
Yang
terbaru tahun 2018 lebih dari 69 balita (yang diketahui) meninggal karena gizi
buruk/campak ( dalam satu minggu lebih)
Tahun 2017, bulan desember sampai 2018, bulan januari, lebih
dari 60 an Orang meninggal di Dogiyai bagian Mapia.
Tahun 2018, 100 Orang Meninggal dalam 14 Hari dari Rumah Sakit
Umum Jayapura (dalam bulan Januari 2018).
Tahun 2018, 36 Orang Meninggal dalam 2 Hari dari Rumah Sakit
Umum Siriwini Nabire. ( dalam Bulan Januari tanggal 1 dan 2 Januari).
"Sebenarnya Ini
Wabah Penyakit atau Memang Skenario Negara Untuk Memusnahkan Orang Asli Papua
Dari Atas Tanah Leluhur Mereka Sendiri ??
Negara hanya menginginkan
gas senilai 45 miliar barel dan virus gizi buruk/campak adalah taktik yang
digunakan untuk merelokasi (memindahkan dari tempat awal) masyarakat guna
memuluskan izin masuk perusahaan.
Perusahaan yang masuk pun
membantu skenario pembantaian masyarakat adat di atas tanah papua, sebut saja
seperti PT.Dewa di Deiyai dan banyak kasus serupa, apakah akan hadir dewa"
pembantai/kematian nyawa manusia di asmat?
Belajarlah
dari sejarah !
Bahwa tidak ada satupun perusahaan tambang, gas, minyak dll, di seluruh dunia
yang mensejahterakhan masyarakat adat disekitar tambang atau perusahaan sejenis
beroperasi.
Dan yg terpenting adalah
belajarlah dari pembantaian secara sistematis diseluruh tanah air West Papua, are you'll be the next one?
Data Diatas Hanyalah
Sebagian Kecil Dari Banyaknya Rentetan Kasus Serupa Yang Terjadi di Tanah
PAPUA.