Coretan & Berbagi Informasi

Saturday, December 23, 2017

PEMEKARAN BARU DI PAPUA : KEPENTINGAN ELIT VS KEPENTINGAN MASYARAKAT


Pemekaran wilayah merupakan fasilitas atau jembatan untuk mempermudah jangkauan pelayanan yang baik kepada masyarakat oleh pemerintah daerah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahterah dan meningkatkan kualitas hidup dalam segala aspek kehidupan baik pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, dan politik serta pembangunan infrastruktur yang memadai.



Tetapi Bila Mengikuti perkembangan media, terkait maraknya pemekaran dan rencana isu pemekaran baru di Papua sejak diterbitkannya UU otsus Papua no. 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Hingga kini, nampaknya sudah tidak murni lagi untuk mensejahterakan rakyat, tapi lebih pada kepentingan elite politik.  



Indikatornya terlihat dari perkembangan pembangunan di sebagian besar kabupaten dan kota pemekaran baru. Pemekaran atau lahirnya DOB, yang semetinya harus didukung administrasi yang matang, persiapan sumber daya manusia yang baik serta beberapa hal lainnya. Tetapi pemekaran baru di Papua bertolak belakang dari UU tentang syarat-syarat pemekaran, dan hampir semua pemekaran baru di Papua tidak memenuhi syarat yang ditentukan UU, tetapi hanya kepentingan elite politik belaka untuk mendapatkan jabatan dan tidak menutup kemungkinan tidak lain adalah untuk mendapatkan dana otonomi khusus yang berjumlah triliunan yang selama ini masyarakat mengeluhkan dan tidak perna menentu ke masyarakat



Berbagai masalah dan konflik vertikal dan orizontal pun tidak luput dari setiap daerah pemekaran baru di Papua. Karena daerah yang baru dimekarkan bukan untuk kepentingan pelayanan kepada masyarakat, hanya oleh segelintir elite yang mengajukan permohonan dengan berbagai alasan dan data yang tidak benar dan sebenarnya tidak layak untuk dimekarkan sehingga masyarakt kecil pun jadi korban. Akibatnya berbagai konflik antar keluarga, suku dan kelompok pun kerap terjadi.



Beberapa isue rencana pemekaran baru,sebaiknya lihat kesiapan dan ketentuan UU agar pelayanan di daerah pemekaran baru tepat tempat dan sasaran.





Yogyakarta, 31 Oktober 2012



Telius Yikwa


Share:

Monday, December 18, 2017

Socratez Yoman terpilih kembali sebagai Presiden Gereja Baptis Papua

Socratez Sofyan Yoman didampinggi Presiden GIDI, Pdt Dorman Wakndikbo, dan Ketua Sinode KIGMI Pdt Benny Giay, disambut ribuan warga Jemaat Baptis dalam pembukaan Kongres ke-18 Gereja Baptis, di Wamena, 9 Desember 2017 - Dok  Jubi.

Jayapura,  – Socratez Sofyan Yoman terpilih kembali memimpin Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua melalui pemilihan yang berlangsung di akhir Kongres ke-18 Baptis pada 14 Desember 2017 di Gereja Baptis Bahtera, Sinakma, Wamena, Papua.

Ketua Panitia Kongres, Denius Kogoya, mengatakan pemilihan ini berlangsung dengan prinsip yang berlaku dalam gereja Baptis, yakni mandiri, otonom, dan independen dari intervensi sistem yang dibangun dengan otoritas manusia.

Karena independen, kata dia, Gereja Baptis tidak tunduk kepada aturan-aturan pemerintah. Gereja Baptis punya aturan sendiri untuk mengatur kehidupan iman, ekonomi, dan sejarah gereja.

Kata dia, termasuk periodisasi kepemimpinan Gereja Baptis tidak mengenal sebagaimana yang berlaku lazim dalam pemerintahan, bisa lima tahun atau 10 tahun.
“Walaupun ada aturan rumah tangga tetapi otoritas tertinggi ada di umat. Jadi selama umat percaya terhadap pemimpin, selama itu pula berlaku. Bila perlu seumur hidup,” kata dia.

Dari 245 perwakilan, 76 wilayah, dan 313 jemaat Baptis yang hadir dalam kongres dengan suara bulat masih percaya Socrataz Sofyan Yoman memimpin Gereja Baptis periode 2018-2022.
“99,9 persen memilih Doktor Yoman,” ungkapnya.   

Kata dia, suara bulat yang memilih Yoman ini membuktikan jemaat masih percaya Yoman. Jemaat membutuhkan pemimpin yang memberikan perlindungan, kenyamanan, dan pemimpin yang peka terhadap situasi jemaat.
“Suara jemaat itu yang kita percaya. Suara itu yang berlaku karena suara umat itu suara Tuhan,” tegasnya.

Kata dia, secara resmi pula, kongres menyepakati pengunaan sebutan Presiden Baptis dari yang sebelumnya Ketua Sinode. Ke depan, kata dia, Gereja Baptis akan mengunakan istilah ‘Presiden’ Persektuaan Gereja-Gereja Baptis Papua.

Denny Wenda, Sekretaris Pantia, mengatakan terpilihnya Yoman itu penuh dengan harapan. Harapan umat terhadap Yoman bisa melanjutkan menyuarakan suara-suara kenabian yang disuarakan selama ini, yang berpihak terhadap kaum tertindas di Papua.
“Kami harap pelayanan-pelayanan kepada umat dengan kampanye meminum air dari sumur sendiri, mandiri itu terus kita harapkan,” katanya diberitakan Jubi.

Karena kampanye itu sudah efektif dalam gereja Baptis saat ini. Gereja Baptis sudah  membuktikan itu dalam kongres ke-18. Jemaat Baptis tidak tergantung kepada siapapun untuk menggelar kongres.
Yoman yang dikonfirmasi mengatakan dirinya tidak akan pernah membawa Gereja Baptis tunduk kepada otoritas pemerintah. Gereja Baptis akan berdiri kokoh dibawah otoritas Ilahi.  

Kata dia, kekokohan itu akan dibangun dengan lima kebijakan. Kebijakan penginjilan, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi warga Baptis, perjuangan keadilan, dan perdamaian.
“Kita terus melayani dengan tema Kita meminum air dari sumur kita,”ungkap pemimpin yang akrab dengan sebuatan Gembala kaum tertindas ini.

Terjemahan tema itu jelas. Mandiri dalam teologi, daya, dan dana. Warga gereja Baptis diajarkan berdiri di atas kaki sendiri untuk beriman kepada Tuhan tanpa berwatak tergantung kepada aturan manusia yang dibangun untuk menguasai dan merendahkan martabat manusia.

Kata dia, sebagai gereja yang berdiri dibawah otoritas Ilahi, misi gereja Baptis jelas. Gereja akan menjaga keutuhan umat Tuhan di tanah Papua. Umat Tuhan tidak boleh menjadi sasaran pembunuhan atas nama apapun, selama gereja Baptis ada, dan selama dirinya masih memimpin.
“Saya akan jaga umat Tuhan. Tidak boleh ada pembunuhan atas nama NKRI di atas tanah ini,” tegasnya. (*)


Diambil dari www.tabloidjubi.com

Share:

Wednesday, December 13, 2017

Files Show Birth of Papua Independence Struggle


JAKARTA, Indonesia— Prominent Papuans pleaded for the U.S. to give them money and arms in the mid-1960s to fight Indonesia’s colonization of their vast remote territory, according to recently declassified American files that show the birth of an independence struggle that endures half a century later.


The documents add to the historical evidence of deep Papuan grievances against Indonesia at a time when clashes between rebels and Indonesian security forces have flared in the impoverished region and Papuan nationalists have succeeded in drawing more attention to their cause at the United Nations. Indonesia’s defense minister said last week that activists who attended a recent pro-Papuan independence meeting in Vanuatu should be arrested on return to Indonesia.


The files are among the thousands of pages of cables between the State Department and the U.S. Embassy in Jakarta from the 1960s that were declassified earlier this year. The 37 boxes of telegrams are stored at the National Archives and Records Administration in Maryland and researchers are working on making them available online.


Papua, which makes up the western half of the giant island of New Guinea, remained in Dutch hands after Indonesia shook off colonial rule at the end of World War II. Many Indonesians saw their government’s campaign in the early 1960s to take Papua from the Dutch as the final victory in their struggle for independence. But to Papuans, with a Melanesian culture and history distinct from Southeast Asia, Indonesia was a hostile colonizer.


The rest of the world looked away as a rigged vote of a little more than 1,000 hand-picked and closely managed Papuans cemented Indonesia’s control in 1969. The Netherlands, which before annexation was preparing Papua for self-rule, did not object. The U.S., which in 1967 helped American mining company Freeport secure rights to exploit rich copper and gold deposits in Papua, did not want to upset a status quo favorable for U.S. business or destabilize Indonesia’s pro-U.S. government.


An April 1966 cable from the State Department recorded the “eloquence and intensity” of Markus Kaisiepo, an exiled Papuan leader, who spoke with a senior U.S. official about the “desperate plight of the Papua people under Indonesian rule.”


Kaisiepo said Papuans were determined to have independence but were completely without financial resources or the military equipment needed to “rise against the Indonesian oppressors.”


Kaisiepo, whose son would also become a prominent advocate for Papuan independence, asked if the U.S. “could provide money and arms secretly to assist him and his movement.” He was rebuffed, as was another Papuan leader, Nicolaas Jouwe, who made a similar request to the U.S. in September 1965 and also to Australia.


The documents also show how officials looted the region after Indonesia annexed it in 1962 and brought about a collapse in living standards, stoking anger that boiled over into outright rebellion. But the biggest source of resentment was Indonesia’s reluctance to honor its U.N.-supervised and U.S.-brokered treaty with the Netherlands, which mandated that Papuans would decide in a plebiscite whether to stay with Indonesia or become self-ruled.


After U.N. troops left Papua, Indonesians systematically looted public buildings and sent the booty to Jakarta, the April 1966 cable said, citing Kaisiepo. Hospitals built by the Dutch were stripped of beds, X-ray equipment and medicines, desks were taken from schools and soldiers stole anything “that took their fancy” from private homes.

Other cables citing American missionaries working in Papua described widespread food shortages, and how Indonesian officials bought up all consumer goods and shipped them out of Papua for a profit. When shipments of goods and food arrived at ports, Indonesian troops would commandeer them.


Victor Yeimo, chairman of the pro-Independence West Papuan National Committee, said the documents are “very important” because they provide evidence of crimes against Papuans by the Indonesian military and the U.S. role in denying self-determination. Administratively, Indonesia divides the region into two provinces, Papua and West Papua, but Papuans refer to both as West Papua.


“Information gained from these documents shows the world and today’s generation that the U.S. and Indonesia have been hand-in-hand in hiding the truth all along. The economic and political interests of the U.S. played a big role in West Papua’s colonization,” Yeimo said. “We, West Papuans, have been butchered since Indonesia first entered our land and up to now. And we have never seen any justice.”


Papuans were not without supporters in the U.S. Embassy in Jakarta but their views did not prevail. In August 1965, the embassy’s political officer Edward E. Masters recommended the department leak word of violent uprisings against Indonesia’s rule in Papua to the world press. Without the glare of publicity, Papuans would suffer “complete colonial subjugation” by Indonesia, he wrote in a prescient cable.


Citing the U.S. role in negotiating the 1962 treaty between the Netherlands and Indonesia, Masters wrote “we would appear to have a special responsibility to see that the terms of that treaty concerning ascertainment of the true wishes of the Papuan people are respected.”

Another cable written by Ambassador Marshall Green, however, described Papuans as “stone-age” people. Their “horizons are strictly limited,” it said, and they weren’t capable of deciding their own future, contradicting other assessments by the embassy of Papuans’ widespread desire for independence.


Word of violent uprisings, which began about March 1965, began trickling out of Papua as American missionaries who were working in the region visited Jakarta and embassy officials tapped sources in the Indonesian military for information.


In June 1965, rebels launched a full-scale attack on a government post in the town of Wamena that killed at least a dozen Indonesian soldiers and an unknown number of Papuans.

“No figure on the number of Papuans killed is available but one informant described it as a ‘slaughter,’ since almost the only weapons in the hands of the highland Papuans were knives and bows and arrows,” said a cable sent two months later.


The same document reported that rebels overran most of Manokwari, a major coastal town, in early August and held it for a week until beaten back by Indonesian soldiers.

A massacre by Indonesian forces the previous month may have been a catalyst for that attack.


A Dutch missionary told U.S. officials that rebels had shot three soldiers raising a flag in a valley near Manokwari in late July.

“Indo reaction was brutal,” said a cable transmitted in September 1965. “Soldiers next day sprayed bullets at any Papuan in sight and many innocent travelers on roads gunned down. Bitterness thus created not easily healed.”


By early 1967, there were persistent rumors within Indonesia and abroad that 1,000 to 2,000 Papuans had been killed by an Indonesian air force bombing campaign.


The Indonesian government denied it, asserting instead that 40 tribesmen were killed in “strafing” runs by an air force bomber in response to an ambush of paramilitary police, according to an April 1967 cable.

The number of police wounded in the ambush: two.

___



Share:

U.S. Embassy Tracked Indonesia Mass Murder 1965


Washington, D.C., October 17, 2017 - The U.S. government had detailed knowledge that the Indonesian Army was conducting a campaign of mass murder against the country’s Communist Party (PKI) starting in 1965, according to newly declassified documents posted today by the National Security Archive at The George Washington University.  The new materials further show that diplomats in the Jakarta Embassy kept a record of which PKI leaders were being executed, and that U.S. officials actively supported Indonesian Army efforts to destroy the country’s left-leaning labor movement.



The 39 documents made available today come from a collection of nearly 30,000 pages of files constituting much of the daily record of the U.S. Embassy in Jakarta, Indonesia, from 1964-1968. The collection, much of it formerly classified, was processed by the National Declassification Center in response to growing public interest in the remaining U.S. documents concerning the mass killings of 1965-1966.  American and Indonesian human rights and freedom of information activists, filmmakers, as well as a group of U.S. Senators led by Tom Udall (D-NM), had called for the materials to be made public.



The documents concern one of the most important and turbulent chapters in Indonesian history and U.S.-Indonesian relations, which witnessed the gradual collapse of ties between Jakarta and Washington, a low-level war with Britain over the formation of Malaysia, rising tension between the Indonesian Army and the Indonesian Communist Party, the growing radicalization of Indonesian President Sukarno, and the expansion of U.S. covert operations aimed at provoking a clash between the Army and PKI. These tensions erupted in the aftermath of an attempted purge of the Army by the September 30th Movement – a group of military officers with the collaboration of a handful of PKI leaders.  After crushing the Movement, which had kidnapped and killed six high-ranking Army generals, the Indonesian Army and its paramilitary allies launched a campaign of annihilation against the PKI and its affiliated organizations, killing up to 500,000 alleged PKI supporters between October 1965 and March 1966, imprisoning up to a million more, and eventually ousting Sukarno and replacing him with General Suharto, who ruled Indonesia for the next 32 years before he himself was overthrown in May 1998.



In an unprecedented collaboration, the National Security Archive worked with the National Declassification Center (NDC) to make the entirety of this collection available to the public by scanning and digitizing the collection, which will be incorporated into the National Archives and Records Administration’s (NARA) digital finding aids. When completed, scholars, journalists, and researchers will be able to search the documents by date, keyword, or name, providing unparalleled access, in particular for the Indonesian public, to a unique collection of records concerning one of the most important periods of Indonesian history.



Of the 30,000 pages processed by the NDC, several hundred documents remain classified and are undergoing further review before their scheduled release in early 2018. While some of the documents in this collection were declassified and deposited at NARA or the Lyndon Johnson Presidential Library in the late 1990s, many thousands of pages are being made available for the first time in more than 50 years.



The Documents

The documents in the files of the U.S. Embassy in Jakarta range widely, from the daily operations of the Embassy to observations on Indonesian politics, economics, foreign policy, military affairs, the growing conflict between the United States and Sukarno, the conflict between the Army and PKI, the September 30th Movement and the mass killings that followed, and the consolidation of the Suharto regime. While most of the documents in this briefing book concern the events of September 30, 1965, and their aftermath, we have included a handful of others to give a sense of the range and historical significance of the larger collection for an understanding of the broader consolidation of the Suharto regime.





Share:

Telegram AS buktikan konspirasi Indonesia, PBB, AS dan Belanda menjajah West Papua

Tentara Papua yang dilatih oleh Belanda pada tahun 1962.

Jayapura,  - Orang-orang Papua terkemuka telah meminta Amerika Serikat (AS) untuk memberi mereka uang dan senjata pada pertengahan tahun 1960an untuk memerangi penjajahan Indonesia atas wilayah West Papua yang luas, menurut dokumen AS yang baru-baru ini dideklasifikasi yang menunjukkan lahirnya perjuangan kemerdekaan West Papua yang bertahan hingga saat ini, setengah abad kemudian.

Dokumen-dokumen tersebut menambah bukti historis keluhan orang-orang Papua yang mendalam terhadap Indonesia pada saat bentrokan antara pemberontak dan pasukan keamanan Indonesia telah berkobar di West Papua dan nasionalis Papua telah berhasil menarik perhatian lebih untuk tujuan mereka di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Menteri pertahanan Indonesia mengatakan pekan lalu bahwa para aktivis yang menghadiri pertemuan pro-Papua Merdeka baru-baru ini di Vanuatu harus ditangkap saat kembali ke Indonesia.

Berkas tersebut termasuk di antara ribuan halaman telegram antara Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar AS di Jakarta dari tahun 1960an yang dideklasifikasi awal tahun ini. 37 bundel telegram disimpan di Arsip Nasional dan Administrasi di Maryland, AS dan para periset sedang berupaya membuat dokumen-dokumen tersebut tersedia secara online.

Papua, yang merupakan bagian barat pulau raksasa New Guinea, tetap berada di tangan Belanda setelah Indonesia lepas dari pemerintahan kolonial Belanda pada akhir Perang Dunia II. Banyak orang Indonesia melihat kampanye pemerintah mereka di awal 1960-an untuk mencaplok West Papua dari Belanda sebagai kemenangan terakhir dalam perjuangan kemerdekaan mereka. Tapi bagi orang Papua, dengan budaya Melanesia dan sejarah yang berbeda dari Asia Tenggara, Indonesia adalah penjajah yang dimusuhi.

Seluruh dunia berpaling saat pemungutan suara (PEPERA) yang dicurangi dari lebih 1.000 orang Papua yang direkrut dan dikelola dengan baik memperkuat kontrol Indonesia pada tahun 1969. Belanda, yang sebelum aneksasi mempersiapkan West Papua untuk berpemerintahan sendiri, tidak keberatan. AS yang pada tahun 1967 membantu perusahaan pertambangan Amerika Freeport mendapatkan hak untuk mengeksploitasi deposit tembaga dan emas yang kaya di West Papua, tidak ingin mengecewakan status quo yang menguntungkan bagi usaha A.S. atau mengganggu stabilitas pro-pemerintan AS.
Telegram April 1966 dari Departemen Luar Negeri mencatat "kefasihan dan intensitas" Markus Kaisiepo, seorang pemimpin West Papua yang diasingkan, yang berbicara dengan pejabat senior A.S. tentang "penderitaan yang menyedihkan dari orang-orang Papua di bawah kekuasaan Indonesia."

Kaisiepo mengatakan bahwa orang Papua bertekad untuk memiliki kemerdekaan namun sama sekali tanpa sumber keuangan atau peralatan militer yang dibutuhkan untuk "bangkit melawan penindas Indonesia."

Kaisiepo, yang putranya juga menjadi advokat terkemuka untuk kemerdekaan Papua, bertanya apakah AS "dapat memberikan uang dan senjata secara diam-diam untuk membantunya dan gerakannya." Dia ditolak, seperti juga pemimpin West Papua lainnya, Nicolaas Jouwe, yang menyampaikan hal serupa kepada AS pada bulan September 1965 dan juga ke Australia.

Dokumen-dokumen tersebut juga menunjukkan bagaimana pejabat menjarah wilayah tersebut setelah Indonesia mencaploknya pada tahun 1962 yang mengakibatkan jatuhnya standar hidup, memicu kemarahan yang menjadi pemberontakan langsung. Namun, sumber kebencian terbesar adalah keengganan Indonesia untuk menghormati perjanjian yang diawasi AS, PBB dan Belanda, yang mengamanatkan bahwa orang Papua akan memutuskan secara plebisit apakah akan tetap bersama dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai negara berdaulat.
Setelah pasukan PBB meninggalkan Papua, orang Indonesia secara sistematis menjarah bangunan umum dan mengirim barang rampasan ke Jakarta. Ini disebutkan dalam telegram April 1966 sebagaimana dikutip Kaisiepo. Rumah sakit yang dibangun oleh Belanda dilucuti tempat tidurnya, peralatan sinar-X dan obat-obatan, meja-meja diambil dari sekolah-sekolah dan tentara mencuri apa saja "yang diinginkan mereka" dari rumah-rumah pribadi.

Telegram lain juga mengutip misionaris Amerika yang bekerja di Papua menggambarkan kekurangan pangan yang meluas, dan bagaimana pejabat Indonesia membeli semua barang konsumsi lalu mengirimkannya keluar dari Papua untuk mendapatkan keuntungan. Saat pengiriman barang dan makanan tiba di pelabuhan, tentara Indonesia akan mengkawalnya.

Victor Yeimo, ketua Komite Nasional Papua Barat yang pro kemerdekaan, mengatakan bahwa dokumen tersebut "sangat penting" karena memberikan bukti kejahatan terhadap orang Papua oleh militer Indonesia dan peran AS dalam menolak penentuan nasib sendiri. Secara administratif, Indonesia membagi wilayah ini menjadi dua provinsi, Papua dan Papua Barat, namun orang Papua menyebut keduanya sebagai Papua Barat atau Tanah Papua.
"Informasi yang diperoleh dari dokumen-dokumen ini menunjukkan kepada dunia dan generasi sekarang bahwa AS dan Indonesia selalu saling membantu dalam menyembunyikan kebenaran selama ini. Kepentingan ekonomi dan politik AS memainkan peran besar dalam penjajahan Papua Barat," kata Yeimo. "Kami, orang West Papua, telah dibantai sejak pertama kali Indonesia memasuki tanah kami dan sampai sekarang. Dan kita belum pernah melihat keadilan. "

Orang Papua bukan tanpa pendukung di Kedutaan Besar AS di Jakarta namun pandangan mereka tidak didengarkan. Pada bulan Agustus 1965, petugas politik kedutaan Edward E. Masters merekomendasikan untuk membocorkan kabar mengenai pemberontakan dan kekerasan terhadap peraturan Indonesia di West Papua kepada pers dunia. Tanpa silau publisitas, orang Papua akan mengalami "penaklukan kolonial yang sempurna" oleh Indonesia, tulisnya dalam sebuah telegram.

Mengutip peran A.S. dalam menegosiasikan perjanjian 1962 antara Belanda dan Indonesia, Masters menulis "Tampaknya kita memiliki tanggung jawab khusus untuk melihat bahwa persyaratan perjanjian tentang pemenuhan keinginan sejati orang-orang Papua dihormati."
Telegram lain yang ditulis oleh Duta Besar Marshall Green, bagaimanapun,
menggambarkan orang Papua sebagai orang "zaman batu". "Cakrawala mereka sangat terbatas," katanya, dan mereka tidak dapat menentukan masa depan mereka sendiri, bertentangan dengan penilaian lain yakni keinginan masyarakat Papua untuk kemerdekaan.
Berita tentang pemberontakan dengan kekerasan, yang dimulai sekitar bulan Maret 1965, mulai muncul dari West Papua saat misionaris Amerika yang bekerja di wilayah tersebut mengunjungi Jakarta dan pejabat kedutaan mendapatkan sumber informasi militer Indonesia.

Pada bulan Juni 1965, pemberontak melancarkan serangan skala penuh ke sebuah posko pemerintah di kota Wamena yang menewaskan setidaknya selusin tentara Indonesia dan sejumlah orang Papua yang tidak dikenal.
"Tidak ada angka jumlah orang Papua yang terbunuh tapi satu informan menggambarkannya sebagai 'pembantaian', karena hampir satu-satunya senjata di tangan orang-orang Papua di dataran tinggi adalah pisau, busur dan anak panah," kata sebuah telegram yang dikirim dua bulan kemudian.

Dokumen yang sama melaporkan bahwa pemberontak menguasai sebagian besar Manokwari, sebuah kota pesisir utama, pada awal Agustus dan menahannya selama seminggu sampai dihantam balik oleh tentara Indonesia.
Pembantaian oleh pasukan Indonesia bulan sebelumnya mungkin merupakan katalisator untuk serangan tersebut.

Seorang misionaris Belanda mengatakan kepada pejabat AS bahwa pemberontak telah menembak tiga tentara yang membawa sebuah bendera di lembah dekat Manokwari pada akhir Juli.
"Reaksi Indo brutal," kata sebuah telegram yang ditransmisikan pada bulan September 1965. "Tentara pada hari berikutnya menghamburkan peluru pada orang Papua yang terlihat dan banyak orang tidak bersalah di jalan ditembak mati. Kepahitan yang diciptakan tidak mudah disembuhkan. "

Pada awal 1967, ada desas-desus yang terus berlanjut di dalam dan di luar negeri bahwa 1.000 sampai 2.000 orang Papua telah terbunuh oleh sebuah kampanye pengeboman Angkatan Udara Indonesia.

Pemerintah Indonesia membantahnya dengan menyatakan bahwa 40 orang terbunuh dalam "pemberondongan" yang dilakukan oleh seorang pembom angkatan udara sebagai respon atas penyergapan polisi paramiliter, menurut sebuah telegram pada bulan April 1967.
Dua orang polisi terluka dalam penyergapan tersebut. (*)





Sumber : www.tabloidjubi.com
Share:

Me

Me

Followers

Postingan saya di Wordpress

Yikwagwe Post