Coretan & Berbagi Informasi

Sunday, August 11, 2024

24 lembaga tolak rencana BRIN pindahkan benda-benda arkeologi Papua ke Cibinong

_Daniel Randongkir dan Enrico Yory Kondologit, S.Sos., M.Si, Kurator Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih, memberikan keterangan terkait rencana BRIN untuk memindahkan benda budaya Papua ke Cibinong di salah satu ruangan Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua, pada Jumat (09/08/2024). – Dok Jubi_

Jayapura, – Sebanyak 24 komunitas dan lembaga di Papua menyatakan penolakan terhadap rencana Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk memindahkan benda-benda arkeologi Papua ke Cibinong, Jawa Barat. Para pelaku dan pemerhati budaya Papua menyatakan sikap dan menyampaikan lima poin penolakan.


Hal ini diungkapkan oleh Daniel Randongkir dari Perkumpulan Mambesakologi Tanah Papua di Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih, Kota Baru, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua pada Jumat (9/8/2024).


Daniel Randongkir mengungkapkan bahwa kabar mengenai pemindahan benda-benda budaya Papua ini sebenarnya sudah lama terdengar, namun informasi pastinya baru diterima melalui jaringan museum di seluruh Indonesia.


Informasi tersebut menyebutkan bahwa koleksi benda arkeologi Papua akan dipindahkan ke Science Center di Cibinong, Jawa Barat paling lambat pada 16 Desember 2024.

“Itulah yang memicu kami untuk bertindak, karena selama ini benda-benda arkeologi tersebut istilahnya hanya dipinjamkan kepada pemerintah untuk kebutuhan riset,” katanya.


Ia menambahkan bahwa BRIN di Papua tidak transparan dalam menjelaskan jumlah koleksi yang ada di eks kantor Balai Arkeologi Papua yang akan dipindahkan ke Cibinong.

“Kekhawatiran kami adalah bahwa jika benda-benda ini dipindahkan ke Cibinong, orang Papua akan mengalami kesulitan mengaksesnya,” ujarnya.


Menurutnya, jika orang Papua ingin meneliti tentang sejarah dan budaya mereka sendiri, prosedur yang berbelit-belit akan menyulitkan mereka. Alasan BRIN untuk memindahkan benda-benda ini ke Cibinong adalah untuk perawatan dan penelitian, namun Randongkir berpendapat bahwa seharusnya fasilitas perawatan dibangun di Papua.

“Jika tujuannya untuk penelitian, maka peneliti yang harus datang ke Papua, bukan sebaliknya,” tegasnya.


Randongkir juga menekankan perlunya advokasi bersama dari seluruh pemangku kepentingan di Papua, terutama masyarakat adat, untuk menolak rencana pemindahan ini karena jelas-jelas akan merugikan sejarah Papua.

“Kami menilai tindakan ini sebagai upaya untuk menghapus sejarah orang Papua,” tambahnya.


Randongkir juga mengatakan bahwa jika masalah penyimpanan menjadi alasan, Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih bersedia menyimpan benda-benda tersebut sementara waktu sampai pemerintah daerah menyiapkan fasilitas yang sesuai untuk merawat dan menjaga benda-benda itu.

“Kami telah berkomunikasi dengan pihak Universitas Cenderawasih, dan mereka bersedia menyimpan koleksi tersebut di Museum Loka Budaya,” ungkapnya.


Sementara itu, Enrico Yory Kondologit, S.Sos., M.Si, Kurator Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih, mengajak semua pemerhati dan pemangku kepentingan untuk bersatu dalam upaya advokasi dan konsolidasi yang baik.

“Kami berhasil berkomunikasi dengan beberapa rekan, dan sekitar 24 lembaga, badan, atau komunitas sepakat menolak dengan tegas rencana pemindahan koleksi dari kantor eks Balai Arkeologi Papua ke Cibinong,” ujarnya. 


Kondologit menyampaikan bahwa pihaknya bersama 24 komunitas atau lembaga pemerhati budaya Papua menyatakan sikap dan menyusun lima poin penolakan.

Pertama, menolak dengan tegas rencana pemindahan benda arkeologi Papua yang saat ini menjadi koleksi di kantor BRIN Kawasan Kerja Bersama (CWS) Jayapura.

Kedua, kami meminta Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Kepala BRIN segera menghentikan upaya pemindahan benda arkeologi Papua dengan alasan apapun karena tindakan ini tidak menghargai sejarah dan identitas orang Papua,” ujarnya.


Kondologit juga mendesak BRIN Kawasan Kerja Bersama Jayapura untuk segera mempublikasikan koleksi benda arkeologi Papua agar diketahui oleh masyarakat Papua. Ia juga mendorong pemerintah lokal di tanah Papua, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, untuk menyiapkan tempat penyimpanan benda-benda arkeologi tersebut demi kepentingan pelestarian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

“Apabila gedung kantor BRIN Kawasan Kerja Bersama Jayapura dialihfungsikan untuk kepentingan lain, Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih bersedia menampung koleksi benda arkeologi, koleksi buku, dan semua peralatan ekskavasi arkeologi yang dihibahkan oleh pihak ketiga kepada Balai Arkeologi Papua di masa lalu,” tutupnya.


Berikut adalah daftar 24 lembaga dan komunitas yang menolak rencana pemindahan benda arkeologi Papua ke Cibinong, yang dijadwalkan rampung pada 16 Desember 2024: 

  1. Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih 
  2. Program Studi Universitas Cenderawasih 
  3. Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih 
  4. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih 
  5. DewanAdat Papua 
  6. DewanAdat Papua Wilayah II Doberaie 
  7. DewanAdat Papua Wilayah La Pago 
  8. DewanAdat Kainkain Karkara Byak 
  9. DewanAdat Daerah Hubula 
  10. DewanAdat Mbaham Matta 
  11. PerkumpulanMambesakologi Tanah Papua 
  12. PerkumpulanByakologi Sub Papua 
  13. BengkelPembelajaran Antara Rakyat (Belantara) Sorong 
  14. PerhimpunanYolkatra 
  15. LembagaBantuan Hukum (LBH) Papua 
  16. PerkumpulanAdvokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua.
  17. LembagaPenelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari 
  18. Komisiuntuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Tanah Papua 
  19. YayasanPusaka Bentala Rakyat 
  20. LembagaIndonesia Social Community 
  21. PapuanVoices Nasional Papua 
  22. PerkumpulanBudaya Teges Papua 
  23. KomunitasSastra Papua (KOSAPA) 
  24. KomunitasCinta Sejahtera. (*) 



Sumber : jubi.id

Share:

Kebijakan diskriminatif percepat depopulasi Orang Asli Papua

Selebaran Diskusi Depopulasi dan Marginalisasi di Tanah Papua, Rabu (7/8/2024)-Dok jubi.id.

 Jayapura, – Pemahaman hakim dan aturan hukum masih menjadi batu sandungan dalam perkara pembelaan terhadap hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua. Hakim seringkali memiliki penafsiran sendiri atas subjek hukum perkara.


Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobai menyatakan kejadian itu mereka alami sewaktu mendampingi suku Awyu saat menggugat pemerintah dan perusahaan atas dugaan penggelapan tanah adat. Gugatan berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, beberapa waktu lalu.

“Peraturan Mahkamah Agung mewajibkan [pihak beperkara] membuka semua data. Di data tersebut ternyata ada lembaga masyarakat adat mengizinkan perusahaan memanfaatkan lahan padahal lembaga masyarakat adat itu tidak punya hak atas tanah. Yang punya hak tersebut, ialah marga,” kata Gobai dalam diskusi Depopulasi dan Marginalisasi di Tanah Papua, di Studio JubiTv, Rabu (7/8/2024).


Upaya banding pun tidak membuahkan hasil. Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara malah menguatkan hasil putusan tersebut.

“Itu merupakan pelemahan secara struktural dan sistematik. Negara tidak memiliki komitmen dalam melindungi hak-hak masyarakat adat,” ujar Gobai.


Direktur Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua Naomi Marasian menyatakan pemerintah sering menciptakan ketergantungan, bukan menghormati, atau memandirikan masyarakat adat. Kebijakan itu justru melahirkan depopulasi atau penyusutan masyarakat adat di Tanah Papua.

“Populasi masyarakat adat tidak berkembang, tetapi malah mengalami eksploitasi, dan perampasan terhadap ruang-ruang kehidupan mereka. Kebijakan pemerintah yang diskriminatif cenderung mencerabut identitas masyarakat adat,” kata Marasian.


Menurut Pemimpin Redaksi Kalawai Jason Ngelia, depopulasi terhadap Orang Asli Papua (OAP) sesunguhnya telah berlangsung saat ini. Penyusutannya bahkan lebih cepat daripada perkiraan para ahli. 

“Jim Elmslie dari Universitas Sidney pada 2007 memperkirakan populasi OAP hanya tinggal 60 persen [di Tanah Papua] pada 2030. Menurut saya, [depopulasi] sudah terjadi saat ini. Itu akibat penindasan, dan segala kebijakan [negara] yang menyulitkan OAP,” kata Ngelia.


Sekretaris Jenderal Dewan Adat Papua Leonard Imbiri menyatakan terdapat perbedaan krusial antara sistem pembangunan versi masyarakat adat dengan pemerintah. Sistem pembangunan yang dianut masyarakat adat berdasarkan prinsip keberagaman, sedangkan pemerintah mengutamakan keseragaman.

“Masyarakat adat itu pemilik awal tanah di belahan bumi mana pun. Ketika pemerintah hadir, mereka [keberadaan masyarakat adat] harus tergeser. Hal itu turut menghilangkan keberagaman masyarakat adat,” kata Imbiri.


Ketua Kelompok Kerja Adat Majelis Rakyat Papua (MRP) Aymond May menyakinkan mereka tetap konsisten dalam memperjuangkan masyarakat adat. Namun, dia mengaku tetap membutuhkan dukung semua kalangan untuk memperkuat fungsi dan peranan lembaga kultural tersebut.

“Kami membutuhkan kerja sama dari dewan adat, masyarakat adat, tokoh adat, dan lembaga swadaya masyarakat. Kami juga butuh dukungan dari tokoh pemuda, tokoh masyarakat, dan tokoh gereja,” kata May. (*) 



Sumber : www.jubi.id 


Share:

KNPB Pusat Keluarkan Undangan Terbuka untuk Demonstrasi Damai 15 Agustus 2024

Jumpah Pers KNPB.-Dok thepapuajournal.com.

Jayapura, – Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengundang seluruh rakyat Papua Barat dan non-Papua untuk berpartisipasi dalam demonstrasi damai yang akan diadakan pada tanggal 15 Agustus 2024.

“Demonstrasi ini bertujuan memperingati dua hari bersejarah: Perjanjian New York 1962 dan Bulan Agustus sebagai Bulan Rasisme dan Pelecehan terhadap Harkat dan Martabat rakyat serta Bangsa Papua,” jelas Ketua 1, KNPB Pusat, Warpo Sampari Wetipo, Selasa (06/08).


Dikatakan KNPB Pusat, undangan ini ditujukan kepada para pimpinan eksekutif (Gubernur, Wali Kota, dan Bupati) se-Tanah Papua, pimpinan legislatif (DPRP, DPRPB, DPRD) se-Tanah Papua, para pimpinan yudikatif, seluruh pegawai negeri sipil (PNS), pimpinan dan seluruh anggota KNPI se-Tanah Papua, pimpinan dan anggota organisasi Cipayung (PMKRI, GMKI, HMI, GMNI, Gamki) dan OKP di seluruh Tanah Papua.

Selain itu kepada PANGDAM Cenderawasih dan Kasuari serta jajarannya, KAPOLDA Papua dan Papua Barat serta jajarannya.

Para pimpinan gereja (Uskup, Pastor, Pendeta, Majelis, Para Ulama, Imam Masjid, Ustad dan Jemaat) di seluruh Tanah Papua juga turut diundang. Juga kepada para pendidik, pengajar, guru, dosen, rektor dan kepala sekolah mulai dari TK, SD, SMP, SMA atau SMK, dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di seluruh Tanah Papua.

Tidak hanya itu, para medis (mantri, bidan, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya), pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), para ketua OSIS dan ketua BEM (pelajar dan mahasiswa) se-Tanah Papua, para petani, nelayan, peramu, kaum miskin kota, seluruh anak yatim piatu, seluruh anak jalanan, seluruh juru parkir, cumo, dan penjual koran, seluruh abang becak, abang ojek, sopir taxi, serta sopir truk, seluruh masyarakat pendatang (migran) yang peduli kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran sejati, seluruh pimpinan, pelatih, dan atlet di setiap cabang olahraga, pimpinan kaum ibu mulai dari ibu-ibu rumah tangga, mama-mama pasar, mama-mama janda, ibu-ibu PKK, ibu-ibu Dharma Wanita juga turut diundangnya.

Sementara itu, seluruh wartawan online dan offline (TV, radio, dan surat kabar), pimpinan dan seluruh waria, para pimpinan dan seluruh rakyat pemulung kota, para seniman (tari, ukir, lukis, musik, hip-hop, komedi, dan vocal group), seluruh pimpinan proyek, tukang bangunan, mandor, tenaga kerja atau buruh kasar, para pimpinan dan anggota Dewan Adat Papua (DAP), pun diundang KNPB Pusat. Juga bagi para pimpinan Dewan Gereja Papua (DGP), seluruh advokat dan pengacara hukum, HAM, dan politik, serta para pimpinan dan pekerja kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran di seluruh Tanah Papua turut diundang.

“Undangan ini juga ditujukan kepada para pimpinan organisasi Papua Merdeka (OPM) dan organisasi gerakan sipil lainnya di seluruh Tanah Papua Barat,” ajak Warpo.


Demonstrasi damai ini, kata Warpo Sampari Wetipo, bertujuan untuk mengedepankan nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaan sejati. KNPB mengajak semua pihak untuk berpartisipasi secara kolektif dan menjaga keamanan diri serta bersama.

KNPB Pusat juga meminta kepada peserta demonstrasi agar menjaga keamanan diri dan bersama, tidak mengganggu aktivitas setiap pribadi, tidak datang dalam keadaan mabuk atau mengonsumsi alkohol. 

“Kami [KNPB Pusat] berharap kepada anggota TNI, Polri, atau BIN untuk tidak melakukan provokasi, mengadu domba, atau menyusup dengan unsur kesengajaan,” pintanya.


KNPB Pusat menegaskan kepada Kapolda Papua, Kapolda Papua Barat, PANGDAM Cenderawasih, dan Pangdam Kasuari diharapkan untuk tidak menggunakan masyarakat nusantara sebagai tameng atau boneka piaraan untuk memperkeruh situasi Kamtibmas di Tanah Papua.

“Peserta juga kami imbau untuk tidak melempar apapun selama demonstrasi berlangsung,” tegasnya.  


Dikatakan Warpo, Demonstrasi ini adalah bentuk perlawanan rakyat sipil tanpa kekerasan terhadap sistem negara, kapitalisme, dan imperialisme yang mengeksploitasi sumber daya alam serta merampas hak-hak rakyat.

“Demonstrasi akan berlangsung di beberapa lokasi termasuk Jalan Raya Sentani – Kampung Harapan, Waena – Abepura – Kota Raja, Entrop, Polimak – Jayapura, dan Angkasa – Menuju Jayapura Kota. Masyarakat diharapkan untuk ikut bergabung dalam aksi damai ini,” pinta Warpo. 


Undangan resmi ini dikeluarkan di Holandia pada Sabtu, 3 Agustus 2024, pukul 07.30 West Papua oleh Badan Pengurus Pusat – Komite Nasional Papua Barat (BPP. KNPB) Pusat. (*). 



Sumber : thepapuajournal.com 

| Oleh Manfred Kudiai*

Share:

Megaproyek Tebu Jadi Ancaman Petaka Baru

Indikasi pengerahan polisi dan tentara membuat warga khawatir. Mereka dibatasi dan tidak bebas dalam menyampaikan pendapat. 

Pembabatan hutan untuk lahan Tebu di Merauke. Dok Jubi.
Pembabatan hutan untuk lahan Tebu di Merauke. Dok Jubi.

Segudang permasalahan baru dikawatirkan muncul sebagai dampak megaproyek pengembangan Tebu di Merauke. Permasalahan itu, diantaranya menyangkut hayat hidup masyarakat adat.

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante meyakini proyek strategis nasional tersebut tidak bakal memakmurkan masyarakat. Sebaliknya, justru mendatangkan petaka baru.

“Kami mendokumentasikan praktik perampasan tanah dalam Program MIFEE [Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke] melalui pemberian izin usaha kepada korporasi tanpa persetujuan masyarakat adat. Terjadi penumpukan kekayaan, konsentrasi penguasaan, serta pemilikan tanah, dan hutan kepada segelintir perusahaan,” kata Samperante melalui siaran pers, Selasa (30/7/2024) diberitakan Jubi edisi 30/07/2024.

Samperante menyayangkan pengalaman buruk itu masih berlangsung, tetapi pemerintah justru makin membebaninya dengan proyek pengembangan tebu. Dia memastikan hal tersebut membuat masyarakat adat kian terpuruk.

“Penguasaan jutaan hektare lahan melalui praktik tipu muslihat membuat masyarakat adat tereksklusi [terkucil] serta kehilangan kontrol atas tanah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Selain itu, menghancurkan sistem sosial dan budaya, kekerasan, deforestasi, perusakann ekosistem, hingga pencemaran air,” kata Samperante.

Berdasarkan kajian Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, areal penaman tebu di Merauke berada pada kawasan hutan dan daerah moratorium perizinan industri ekstraktif. Karena itu, proyek tersebut mengancam kelestarian lingkungan, termasuk peningkatan emisi rumah kaca penyebab pemanasan global.

“Sebagian besar lokasi perizinannya berada di wilayah adat Yeinan, yakni sekitar 317 ribu hektare sehingga berisiko secara sosial, ekonomi, dan budaya. Karena itu, kami minta Presiden Joko Widodo menghentikan  Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi di Merauke,” kata Samperante.

Dia juga meminta korporasi, investor, dan institusi keuangan menghormati kedaulatan masyarakat adat. Selain itu, pemerintah daerah harus mengambil langkah efektif dalam menghormati, dan melindungi hak-hak asasi masyaraka. 

Baleho penyambutan kedatangan Presiden Jokowi di lokasi mengaporoyek perkebunan tebu di Kampung Sermayam, Distrik Tanah Miring., Merauke, pekan lau. – Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.-dok Jubi.


Luka lama belum sembuh

Pengembangan tebu di Merauke masuk daftar proyek strategis nasional berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Nomor 8 Tahun 2023. Penetapan itu ditindaklanjuti dengan pembentukkan satu tugas (satgas), berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2024, tertanggal 19 April 2024. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ditunjuk Jokowi sebagai ketua satgas.Jokowi mengunjungi salah lokasi proyek pengembangan tebu di Merauke pada pekan lalu. Dia memimpin penanaman perdana di perkebunan tebu milik PT Global Papua Abadi (PGA) di Kampung Sermayam, Distrik Tanah Miring.

Pengembangan tebu tersebut menambah rentetan program pengembangan komoditas pangan dan eneregi di Merauke. Sebelumnya, sudah ada MIFEE, Kawasan Sentra Produksi Pangan, Food Estate Papua, dan Kawasan Ekonomi Khusus Merauke.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Pos Merauke Teddy Wakum mengatakan Program MIFFE masih menyisakan kepedihan dan dampak buruk terhadap perikehidupan masyarakat adat setempat. Mereka hingga kini masih terus memperjuangkan keadilan.

“Suku Marind, dan buruh Orang Asli Papua di Mam, Muting, dan Zanegi masih menuntut keadilan, dan pemulihan hak korban kekerasan. Mereka juga menuntut janji kesejahteraan dan upah layak dari perusahaan,” kata Wakum.

Dia melanjutkan sejak pencanangan proyek hingga penanaman perdana tebu oleh Jokowi, mereka belum mendapat informasi, dan dokumen kajian sosial. Begitu pula dokumen kajian hidup strategisnya, yang semestinya dapat diakses sebelum proyek dimulai.

“Pemerintah juga belum memberi informasi, serta mendapat persetujuan masyarakat adat dalam proses, dan pengembangan gula, bioethanol, dan perluasan lumbung pangan [proyek tebu di Merauke]. Pengabaian negara atas hak masyarakat prinsip Free, Prior Informed Consent (FPIC), dan Pasal 43 Undang Undang Otonomi Khusus Papua,” kata Wakum.  

Aksi protes warga terhadap pencaplokan hutan adat oleh investor di Merauke. – Yayasan Pusaka Bentala Rakyat- dok Jubi.


Pengerahan Aparat

LBH Papua Pos Merauke juga mengindikasikan pengerahan aparat kepolisian, dan militer dalam sosialiasi, serta negosiasi pelepasan lahan pada megaproyek tebu. Mereka juga ikut mengawal dan mengamankan peralatan operasional perusahaan.

Menurut Wakum, kondisi tersebut membuat warga khawatir. Mereka dibatasi dan tidak bebas dalam menyampaikan pendapat maupun pemikiran mengenai dampak proyek.

“Mereka mengalami tekanan dan terdampak proyek. Karena itu, kami menilai proyek ini berpotensi melanggar hak asasi manusia,” ujar Wakum.

Megaproyek tebu di Merauke melibatkan sembilan perusahaan dalam konsorsium PT PGA dengan luas konsesi sekitar 469 ribu hektare. Lokasi lahan mereka tersebar di Distrik Tanah Miring, Distrik Animha, Distrik Jagebob, Distrik Eligobel, Distrik Sota, dan Distrik Ulilin, serta Distrik Mutin.

Konsorsium PT PGA berasal dari kelompok usaha milik keluarga Fangiono, dan Martua Sitorus. Mereka mengantongi rekomendasi dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) 2023—2024 dari pemerintah. Adapun rencana investasi mereka senilai Rp83 triliun. Nilai investasi itu meliputi pengembangan 500 ribu hektare lahan tebu, dan pembangunan infrastruktur, serta lima pabrik pengolahan gula dan bioetanol. (*)



Sumber : Jubi.id 


Share:

Wednesday, July 31, 2024

Membaca ‘The Politics of Distraction’ di Papua

Apakah kita bisa menjelaskan akar seluruh persoalan Papua hanya dengan tiga kata? Bisa. Jawabannya, perebutan sumber daya. Kapitalisme, imperialisme, rasisme, dan segala isme itu terjadi karena perebutan sumber daya alam di Papua. Bisa diperdebatkan tetapi mungkin di lain kesempatan karena tulisan singkat ini tidak berfokus kepada perdebatan itu, tetapi ingin … Lanjutkan membaca Membaca ‘The Politics of Distraction’ di Papua


http://dlvr.it/TBJXrX
Share:

Membaca ‘The Politics of Distraction’ di Papua

Artikel ini dikopi dari laolao-papua.com Apakah kita bisa menjelaskan akar seluruh persoalan Papua hanya dengan tiga kata? Bisa. Jawabannya, perebutan sumber daya. Kapitalisme, imperialisme, rasisme, dan segala isme itu terjadi karena perebutan sumber daya alam di Papua. Bisa diperdebatkan tetapi mungkin di lain kesempatan karena tulisan singkat ini tidak berfokus kepada perdebatan itu, tetapi ingin … Lanjutkan membaca Membaca ‘The Politics of Distraction’ di Papua


http://dlvr.it/TBJXTJ
Share:

U.S. Embassy Tracked Indonesia Mass Murder 1965

Washington, D.C., October 17, 2017 - The U.S. government had detailed knowledge that the
Indonesian Army was conducting a campaign of mass murder against the country’s
Communist Party (PKI) starting in 1965, according to newly declassified
documents posted today by the National Security Archive at The George
Washington University.  The new materials further show that diplomats in
the Jakarta Embassy kept a record of which PKI leaders were being executed, and
that U.S. officials actively supported Indonesian Army efforts to destroy the
country’s left-leaning labor movement.






The 39 documents made available today come from a
collection of nearly 30,000 pages of files constituting much of the daily
record of the U.S. Embassy in Jakarta, Indonesia, from 1964-1968. The
collection, much of it formerly classified, was processed by the National
Declassification Center in response to growing public interest in the remaining
U.S. documents concerning the mass killings of 1965-1966.  American and
Indonesian human rights and freedom of information activists, filmmakers, as
well as a group of U.S. Senators led by Tom Udall (D-NM), had called for the
materials to be made public.




The documents concern one of the most important and
turbulent chapters in Indonesian history and U.S.-Indonesian relations, which
witnessed the gradual collapse of ties between Jakarta and Washington, a
low-level war with Britain over the formation of Malaysia, rising tension
between the Indonesian Army and the Indonesian Communist Party, the growing
radicalization of Indonesian President Sukarno, and the expansion of U.S.
covert operations aimed at provoking a clash between the Army and PKI. These
tensions erupted in the aftermath of an attempted purge of the Army by the
September 30th Movement – a group of military officers with the collaboration
of a handful of PKI leaders.  After crushing the Movement, which had
kidnapped and killed six high-ranking Army generals, the Indonesian Army and
its paramilitary allies launched a campaign of annihilation against the PKI and
its affiliated organizations, killing up to 500,000 alleged PKI supporters
between October 1965 and March 1966, imprisoning up to a million more, and
eventually ousting Sukarno and replacing him with General Suharto, who ruled
Indonesia for the next 32 years before he himself was overthrown in May 1998.




In an unprecedented collaboration, the National Security
Archive worked with the National Declassification Center (NDC) to make the
entirety of this collection available to the public by scanning and digitizing
the collection, which will be incorporated into the National Archives and
Records Administration’s (NARA) digital finding aids. When completed, scholars,
journalists, and researchers will be able to search the documents by date,
keyword, or name, providing unparalleled access, in particular for the
Indonesian public, to a unique collection of records concerning one of the most
important periods of Indonesian history.




Of the 30,000 pages processed by the NDC, several hundred
documents remain classified and are undergoing further review before their
scheduled release in early 2018. While some of the documents in this collection
were declassified and deposited at NARA or the Lyndon Johnson Presidential
Library in the late 1990s, many thousands of pages are being made available for
the first time in more than 50 years.




The
Documents

The documents in the files of the U.S. Embassy in Jakarta
range widely, from the daily operations of the Embassy to observations on
Indonesian politics, economics, foreign policy, military affairs, the growing
conflict between the United States and Sukarno, the conflict between the Army
and PKI, the September 30th Movement and the mass killings that followed, and
the consolidation of the Suharto regime. While most of the documents in this
briefing book concern the events of September 30, 1965, and their aftermath, we
have included a handful of others to give a sense of the range and historical
significance of the larger collection for an understanding of the broader
consolidation of the Suharto regime.









Souce
:
https://nsarchive.gwu.edu/briefing-book/indonesia/2017-10-17/indonesia-mass-murder-1965-us-embassy-files />

http://dlvr.it/TBHfCJ
Share:

26 Tahun AMP: Hancurkan Kebudayaan Kontra Revolusi

Kopi paste dari
http://www.laolao-papua.com. Berikut ini kami terbitkan pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dalam merayakan ulang tahunnya yang ke-26, hari ini 27 Juli 2024 sejak didirikan pada 27 Juli 1998 di Jakarta. “Hancurkan Kebudayaan Kontra Revolusi dan Bangun Persatuan Nasional yang Demokratis di Papua” Dalam beberapa tahun terakhir setelah Negara kolonial Indonesia mengesahkan Undang-Undang … Lanjutkan membaca 26 Tahun AMP: Hancurkan Kebudayaan Kontra Revolusi


http://dlvr.it/TBHdHF
Share:

Sunday, April 7, 2024

Dewan Pers tanggapi kasus Nabire: polisi harus hormati pekerjaan jurnalis

 

Jurnalis wagadei.id dan jurnalis seputarpapua.com saat berada di gapura Uswim -dok Jubi.

Jayapura,  Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers Yadi Hendriana meminta agar kepolisian menghormati pekerjaan jurnalis. Hal itu disampaikan Yadi Hendriana pada Jumat (5/4/2023) malam menanggapi peristiwa dugaan kekerasan terhadap wartawan oleh sejumlah polisi dari Polres Nabire di Nabire.

“Kami meminta, baik aparat ataupun jurnalis harus saling menghormati karena jurnalis pun dalam bekerja dilindungi undang-undang,” kata Yadi kepada Jubi melalui pesan WhatsApp.

Pada Jumat (5/4/2023) pagi, empat jurnalis di Nabire, Provinsi Papua Tengah mengalami tindak pelarangan meliput oleh anggota Kepolisian Resor Nabire. Mereka dibentak, dikejar, bahkan ada HP (Hand Phone) mereka yang disita, dan juga ada yang kepalanya yang mengenakan helm dipukul.

Mereka diperlakukan kasar oleh aparat keamanan itu saat meliput aksi demo yang digelar Front Rakyat Peduli Hak Asasi Manusia Papua (FRPHAMP) di Nabire menyikapi kasus penganiayaan terhadap warga sipil di Puncak oleh oknum TNI yang videonya viral belum lama ini. Keempat jurnalis adalah Elias Douw (wagadei.id), Kristianus Degey (seputarpapua.com), Yulianus Degei (Tribunnews Papua), dan Melkianus Dogopia (tadahnews.com).

Yadi mengatakan perlakuan kasar yang dilakukan anggota Kepolisian Resor Nabire yang sedang meliput itu tentu tindakan yang tidak dibenarkan. Ia menegaskan jurnalis dalam bekerja dilindungi undang-undang.

“Saya belum mengetahui secara persis peristiwanya, tapi jika benar ada kekerasan yang dilakukan terhadap jurnalis yang sedang meliput tentu itu tindakan yang tidak dibenarkan,” ujarnya.

Yadi mengatakan seharusnya tidak boleh terjadi lagi kekerasan terhadap jurnalis oleh kepolisian. Dewan Pers dan Kepolisian Republik Indonesia, kata Yadi, sudah menandatangani nota kesepahaman atau MoU. Ia mengatakan Dewan Pers akan berkomunikasi dengan kepolisian terkait peristiwa kekerasan tersebut.

“Seharusnya tidak boleh terjadi, apalagi sudah ada MoU antara Dewan Pers dan Polri. Kami akan berkomunikasi dengan Polri terkait ini dan jika memang ada kekerasan terhadap wartawan saat meliput, sudah seharusnya kepolisian mengusut anggotanya,” katanya.

Yadi juga mengimbau keempat jurnalis yang mengalami kekerasan agar melaporkan ke organisasi pers. Ia juga meminta empat jurnalis yang mengalami kekerasan melaporkan langsung ke Dewan Pers agar ditindaklanjuti.

“Tolong segera wartawan yang terkena kekerasan melaporkan kronologisnya ke AJI/IJTI/PWI setempat atau Dewan Pers langsung. Sebaiknya segera melaporkan peristiwanya ke Dewan Pers, selanjutnya Dewan Pers akan meminta Satgas Anti Kekerasan Terhadap Wartawan untuk menangani ini,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Kepolisian Resor Nabire Kompol Wahyudi Satriyo Bintoro sudah menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas peristiwa tidak menyenangkan yang menimpa wartawan di Nabire saat meliput aksi demonstrasi tersebut.

“Saya atas nama anak buah saya menyampaikan mohon maaf. Sekali lagi mohon maaf yang paling dalam,” katanya, Jumat (5/4/2024) sore.

Hal itu disampaikan Kapolres saat berbicara dengan para wartawan di depan Kantor Gubernur Papua Tengah ketika menangani aksi demonstrasi tersebut.

“Ini semua terjadi karena kita tidak bisa saling kenal, besok kita ‘coffee morning’ biar jaga tali silaturahmi,” ujarnya. (*) 




Sumber : jubi.id 


Share:

Polisi bentrok dengan demonstran di Nabire, sejumlah orang tertembak

 

Massa aksi front rakyat peduli HAM orasi di depan kampus Uswim, Nabire - dok Jubi.

Nabire,  – Aksi damai Front Rakyat Peduli Hak Asasi Manusia Papua atau FRPHAMP dihalau aparat keamanan di Nabire, Papua Tengah, Jumat (5/4/2024). Mereka pun gagal menyampaikan aspirasi ke Penjabat Gubernur Ribka Haluk. 

FRPHAMP menggelar aksi damai untuk menyikapi kasus penyiksaan sejumlah personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap warga sipil di Puncak, Papua Tengah. Mereka berkumpul di lima lokasi sebelum menuju Kantor Gubernur Papua Tengah sebagai pusat aksi.

Lima lokasi itu ialah di depan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nabire, depan Kampus Universitas Satya Wiyata Mandala (Uswim), dan Pasar Karang Tumaritis. Selain itu, di depan Hotel Jepara 2 dan SP 2 Nabire Barat.

Namun, barisan aparat keamanan mengadang pergerakan massa aksi yang hendak menuju Kantor Gubernur Papua Tengah. Mereka bahkan membubarkan para demonstran yang telah berkumpul di sejumlah lokasi.

“Kami benar-benar tidak diberikan ruang [kesempatan menyampaikan aspirasi] oleh aparat kepolisian. Aparat kepolisian [bahkan] membubarkan lebih awal massa aksi di Pasar Karang Tumaritis dan di depan RSUD Nabire,” kata Yohanes Giyai, penanggung jawab aksi FRPHAMP. 

Aparat keamanan juga bersikap represif terhadap massa aksi yang telah berkumpul di tiga lokasi lain. Tindakan itu memicu bentrokan di SP 1 dan di depan Hotel Jepara 2.

“Sebanyak empat orang [demonstran] diangkut ke kantor polisi, dan satu orang terkena peluru di [lokasi] titik kumpul di SP 1. Di titik kumpul perempatan SP 1, dua orang dikeroyok polisi, dan di bawa ke Polres Nabire,” kata Giyai.

Menurut Giyai, seorang demonstran yang tertembak di SP 1 bernama Opinus Jupugau. Dia mengalami luka pada kepala bagian belakang dan tidak sadarkan diri sehingga dilarikan ke RSUD Nabire.

Bentrokan juga terjadi saat polisi mengadang pergerakan massa aksi di sejumlah lokasi lain. Sebanyak dua demonstran lain pun dikabarkan mengalami luka tembak. Polisi juga menembakkan gas air mata saat membubarkan aksi massa.

“Malon Miagoni terkena peluru pada bagian lutut dan pelipis. [Kemudian,] Nataniel Japogau tertembak pada bahu bagian belakan,” ujar Giyai.


Tunggu Ribka Haluk

Menurut Giyai, mereka telah bernegosiasi agar aparat keamanan membukakan jalan sehingga massa aksi bisa menyampaikan aspirasi di Kantor Gubernur Papua Tengah. Namun, negosiasi itu gagal dan polisi malah menembakkan gas air mata untuk membubarkan aksi.

“Saat kami membacakan pernyataan sikap pada sekitar pukul 17:00 Waktu Papua, polisi [malah] membuang [menembakkan] gas air. Namun, massa aksi di depan Hotel Jepara 2 tetap bertahan,” kata Giyai.

Dia melanjutkan massa aksi dari Pasar Karang Tumaritis dan di depan Kampus Uswim juga mencoba merangsek menuju Kantor Gubernur Papua Tengah pada sekitar pukul 14.18 Waktu Papua. Mereka berjalan kaki setelah berkumpul di Pasar Kali Susu.

“Massa aksi menduduki Jalan Merdeka, setelah beberapa menit aparat pihak kepolisian mengeluarkan tembakan. Di depan kantor gubernur, seorang massa aksi mengalami luka-luka pada kepala dan perut akibat tembakan peluru karet dari pihak kepolisian,” kata Giyai.

Pendudukan jalan itu tidak berlangsung lama. Polisi kemudian juga membubarkan massa aksi sehingga mereka berhamburan dari lokasi tersebut.

Massa aksi, sebelumnya mengharapkan bertemu Penjabat Gubernur Ribka Haluk pada Jumat siang. Berdasarkan rekaman video singkat yang beredar di Nabire, Haluk sempat berada di RSUD Nabire, sekitar 11:00 Waktu Papua. Dia bersama sejumlah pejabat daerah setempat menjenguk dua warga yang diduga mengalami kekerasan fisik oleh massa aksi. 

Sementara itu, Kepala Polres Nabire Komisaris Polisi Wahyudi Satriyo Bintoro belum bersedia memberi keterangan resmi mengenai aksi massa yang berujung bentrok tersebut. Dia beralasan situasinya masih belum aman. Namun, wahyudi menyampaikan permohonan maaaf kepada masyarakat atas kejadian itu. “Pada kesempatan ini, saya menyampaikan permohonan maaf melalui wartawan [media massa] atas kejadian tadi,” ujarnya. (*) 




Sumber : jubi.id 


Share:

Me

Me

Followers

Postingan saya di Wordpress

Yikwagwe Post