Coretan & Berbagi Informasi

Sunday, August 11, 2024

Kebijakan diskriminatif percepat depopulasi Orang Asli Papua

Selebaran Diskusi Depopulasi dan Marginalisasi di Tanah Papua, Rabu (7/8/2024)-Dok jubi.id.

 Jayapura, – Pemahaman hakim dan aturan hukum masih menjadi batu sandungan dalam perkara pembelaan terhadap hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua. Hakim seringkali memiliki penafsiran sendiri atas subjek hukum perkara.


Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobai menyatakan kejadian itu mereka alami sewaktu mendampingi suku Awyu saat menggugat pemerintah dan perusahaan atas dugaan penggelapan tanah adat. Gugatan berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, beberapa waktu lalu.

“Peraturan Mahkamah Agung mewajibkan [pihak beperkara] membuka semua data. Di data tersebut ternyata ada lembaga masyarakat adat mengizinkan perusahaan memanfaatkan lahan padahal lembaga masyarakat adat itu tidak punya hak atas tanah. Yang punya hak tersebut, ialah marga,” kata Gobai dalam diskusi Depopulasi dan Marginalisasi di Tanah Papua, di Studio JubiTv, Rabu (7/8/2024).


Upaya banding pun tidak membuahkan hasil. Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara malah menguatkan hasil putusan tersebut.

“Itu merupakan pelemahan secara struktural dan sistematik. Negara tidak memiliki komitmen dalam melindungi hak-hak masyarakat adat,” ujar Gobai.


Direktur Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua Naomi Marasian menyatakan pemerintah sering menciptakan ketergantungan, bukan menghormati, atau memandirikan masyarakat adat. Kebijakan itu justru melahirkan depopulasi atau penyusutan masyarakat adat di Tanah Papua.

“Populasi masyarakat adat tidak berkembang, tetapi malah mengalami eksploitasi, dan perampasan terhadap ruang-ruang kehidupan mereka. Kebijakan pemerintah yang diskriminatif cenderung mencerabut identitas masyarakat adat,” kata Marasian.


Menurut Pemimpin Redaksi Kalawai Jason Ngelia, depopulasi terhadap Orang Asli Papua (OAP) sesunguhnya telah berlangsung saat ini. Penyusutannya bahkan lebih cepat daripada perkiraan para ahli. 

“Jim Elmslie dari Universitas Sidney pada 2007 memperkirakan populasi OAP hanya tinggal 60 persen [di Tanah Papua] pada 2030. Menurut saya, [depopulasi] sudah terjadi saat ini. Itu akibat penindasan, dan segala kebijakan [negara] yang menyulitkan OAP,” kata Ngelia.


Sekretaris Jenderal Dewan Adat Papua Leonard Imbiri menyatakan terdapat perbedaan krusial antara sistem pembangunan versi masyarakat adat dengan pemerintah. Sistem pembangunan yang dianut masyarakat adat berdasarkan prinsip keberagaman, sedangkan pemerintah mengutamakan keseragaman.

“Masyarakat adat itu pemilik awal tanah di belahan bumi mana pun. Ketika pemerintah hadir, mereka [keberadaan masyarakat adat] harus tergeser. Hal itu turut menghilangkan keberagaman masyarakat adat,” kata Imbiri.


Ketua Kelompok Kerja Adat Majelis Rakyat Papua (MRP) Aymond May menyakinkan mereka tetap konsisten dalam memperjuangkan masyarakat adat. Namun, dia mengaku tetap membutuhkan dukung semua kalangan untuk memperkuat fungsi dan peranan lembaga kultural tersebut.

“Kami membutuhkan kerja sama dari dewan adat, masyarakat adat, tokoh adat, dan lembaga swadaya masyarakat. Kami juga butuh dukungan dari tokoh pemuda, tokoh masyarakat, dan tokoh gereja,” kata May. (*) 



Sumber : www.jubi.id 


Share:

0 comments:

Me

Me

Followers

Postingan saya di Wordpress

Yikwagwe Post