Coretan & Berbagi Informasi

Minggu, 07 April 2024

Dewan Pers tanggapi kasus Nabire: polisi harus hormati pekerjaan jurnalis

 

Jurnalis wagadei.id dan jurnalis seputarpapua.com saat berada di gapura Uswim -dok Jubi.

Jayapura,  Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers Yadi Hendriana meminta agar kepolisian menghormati pekerjaan jurnalis. Hal itu disampaikan Yadi Hendriana pada Jumat (5/4/2023) malam menanggapi peristiwa dugaan kekerasan terhadap wartawan oleh sejumlah polisi dari Polres Nabire di Nabire.

“Kami meminta, baik aparat ataupun jurnalis harus saling menghormati karena jurnalis pun dalam bekerja dilindungi undang-undang,” kata Yadi kepada Jubi melalui pesan WhatsApp.

Pada Jumat (5/4/2023) pagi, empat jurnalis di Nabire, Provinsi Papua Tengah mengalami tindak pelarangan meliput oleh anggota Kepolisian Resor Nabire. Mereka dibentak, dikejar, bahkan ada HP (Hand Phone) mereka yang disita, dan juga ada yang kepalanya yang mengenakan helm dipukul.

Mereka diperlakukan kasar oleh aparat keamanan itu saat meliput aksi demo yang digelar Front Rakyat Peduli Hak Asasi Manusia Papua (FRPHAMP) di Nabire menyikapi kasus penganiayaan terhadap warga sipil di Puncak oleh oknum TNI yang videonya viral belum lama ini. Keempat jurnalis adalah Elias Douw (wagadei.id), Kristianus Degey (seputarpapua.com), Yulianus Degei (Tribunnews Papua), dan Melkianus Dogopia (tadahnews.com).

Yadi mengatakan perlakuan kasar yang dilakukan anggota Kepolisian Resor Nabire yang sedang meliput itu tentu tindakan yang tidak dibenarkan. Ia menegaskan jurnalis dalam bekerja dilindungi undang-undang.

“Saya belum mengetahui secara persis peristiwanya, tapi jika benar ada kekerasan yang dilakukan terhadap jurnalis yang sedang meliput tentu itu tindakan yang tidak dibenarkan,” ujarnya.

Yadi mengatakan seharusnya tidak boleh terjadi lagi kekerasan terhadap jurnalis oleh kepolisian. Dewan Pers dan Kepolisian Republik Indonesia, kata Yadi, sudah menandatangani nota kesepahaman atau MoU. Ia mengatakan Dewan Pers akan berkomunikasi dengan kepolisian terkait peristiwa kekerasan tersebut.

“Seharusnya tidak boleh terjadi, apalagi sudah ada MoU antara Dewan Pers dan Polri. Kami akan berkomunikasi dengan Polri terkait ini dan jika memang ada kekerasan terhadap wartawan saat meliput, sudah seharusnya kepolisian mengusut anggotanya,” katanya.

Yadi juga mengimbau keempat jurnalis yang mengalami kekerasan agar melaporkan ke organisasi pers. Ia juga meminta empat jurnalis yang mengalami kekerasan melaporkan langsung ke Dewan Pers agar ditindaklanjuti.

“Tolong segera wartawan yang terkena kekerasan melaporkan kronologisnya ke AJI/IJTI/PWI setempat atau Dewan Pers langsung. Sebaiknya segera melaporkan peristiwanya ke Dewan Pers, selanjutnya Dewan Pers akan meminta Satgas Anti Kekerasan Terhadap Wartawan untuk menangani ini,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Kepolisian Resor Nabire Kompol Wahyudi Satriyo Bintoro sudah menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas peristiwa tidak menyenangkan yang menimpa wartawan di Nabire saat meliput aksi demonstrasi tersebut.

“Saya atas nama anak buah saya menyampaikan mohon maaf. Sekali lagi mohon maaf yang paling dalam,” katanya, Jumat (5/4/2024) sore.

Hal itu disampaikan Kapolres saat berbicara dengan para wartawan di depan Kantor Gubernur Papua Tengah ketika menangani aksi demonstrasi tersebut.

“Ini semua terjadi karena kita tidak bisa saling kenal, besok kita ‘coffee morning’ biar jaga tali silaturahmi,” ujarnya. (*) 




Sumber : jubi.id 


Share:

Polisi bentrok dengan demonstran di Nabire, sejumlah orang tertembak

 

Massa aksi front rakyat peduli HAM orasi di depan kampus Uswim, Nabire - dok Jubi.

Nabire,  – Aksi damai Front Rakyat Peduli Hak Asasi Manusia Papua atau FRPHAMP dihalau aparat keamanan di Nabire, Papua Tengah, Jumat (5/4/2024). Mereka pun gagal menyampaikan aspirasi ke Penjabat Gubernur Ribka Haluk. 

FRPHAMP menggelar aksi damai untuk menyikapi kasus penyiksaan sejumlah personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap warga sipil di Puncak, Papua Tengah. Mereka berkumpul di lima lokasi sebelum menuju Kantor Gubernur Papua Tengah sebagai pusat aksi.

Lima lokasi itu ialah di depan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nabire, depan Kampus Universitas Satya Wiyata Mandala (Uswim), dan Pasar Karang Tumaritis. Selain itu, di depan Hotel Jepara 2 dan SP 2 Nabire Barat.

Namun, barisan aparat keamanan mengadang pergerakan massa aksi yang hendak menuju Kantor Gubernur Papua Tengah. Mereka bahkan membubarkan para demonstran yang telah berkumpul di sejumlah lokasi.

“Kami benar-benar tidak diberikan ruang [kesempatan menyampaikan aspirasi] oleh aparat kepolisian. Aparat kepolisian [bahkan] membubarkan lebih awal massa aksi di Pasar Karang Tumaritis dan di depan RSUD Nabire,” kata Yohanes Giyai, penanggung jawab aksi FRPHAMP. 

Aparat keamanan juga bersikap represif terhadap massa aksi yang telah berkumpul di tiga lokasi lain. Tindakan itu memicu bentrokan di SP 1 dan di depan Hotel Jepara 2.

“Sebanyak empat orang [demonstran] diangkut ke kantor polisi, dan satu orang terkena peluru di [lokasi] titik kumpul di SP 1. Di titik kumpul perempatan SP 1, dua orang dikeroyok polisi, dan di bawa ke Polres Nabire,” kata Giyai.

Menurut Giyai, seorang demonstran yang tertembak di SP 1 bernama Opinus Jupugau. Dia mengalami luka pada kepala bagian belakang dan tidak sadarkan diri sehingga dilarikan ke RSUD Nabire.

Bentrokan juga terjadi saat polisi mengadang pergerakan massa aksi di sejumlah lokasi lain. Sebanyak dua demonstran lain pun dikabarkan mengalami luka tembak. Polisi juga menembakkan gas air mata saat membubarkan aksi massa.

“Malon Miagoni terkena peluru pada bagian lutut dan pelipis. [Kemudian,] Nataniel Japogau tertembak pada bahu bagian belakan,” ujar Giyai.


Tunggu Ribka Haluk

Menurut Giyai, mereka telah bernegosiasi agar aparat keamanan membukakan jalan sehingga massa aksi bisa menyampaikan aspirasi di Kantor Gubernur Papua Tengah. Namun, negosiasi itu gagal dan polisi malah menembakkan gas air mata untuk membubarkan aksi.

“Saat kami membacakan pernyataan sikap pada sekitar pukul 17:00 Waktu Papua, polisi [malah] membuang [menembakkan] gas air. Namun, massa aksi di depan Hotel Jepara 2 tetap bertahan,” kata Giyai.

Dia melanjutkan massa aksi dari Pasar Karang Tumaritis dan di depan Kampus Uswim juga mencoba merangsek menuju Kantor Gubernur Papua Tengah pada sekitar pukul 14.18 Waktu Papua. Mereka berjalan kaki setelah berkumpul di Pasar Kali Susu.

“Massa aksi menduduki Jalan Merdeka, setelah beberapa menit aparat pihak kepolisian mengeluarkan tembakan. Di depan kantor gubernur, seorang massa aksi mengalami luka-luka pada kepala dan perut akibat tembakan peluru karet dari pihak kepolisian,” kata Giyai.

Pendudukan jalan itu tidak berlangsung lama. Polisi kemudian juga membubarkan massa aksi sehingga mereka berhamburan dari lokasi tersebut.

Massa aksi, sebelumnya mengharapkan bertemu Penjabat Gubernur Ribka Haluk pada Jumat siang. Berdasarkan rekaman video singkat yang beredar di Nabire, Haluk sempat berada di RSUD Nabire, sekitar 11:00 Waktu Papua. Dia bersama sejumlah pejabat daerah setempat menjenguk dua warga yang diduga mengalami kekerasan fisik oleh massa aksi. 

Sementara itu, Kepala Polres Nabire Komisaris Polisi Wahyudi Satriyo Bintoro belum bersedia memberi keterangan resmi mengenai aksi massa yang berujung bentrok tersebut. Dia beralasan situasinya masih belum aman. Namun, wahyudi menyampaikan permohonan maaaf kepada masyarakat atas kejadian itu. “Pada kesempatan ini, saya menyampaikan permohonan maaf melalui wartawan [media massa] atas kejadian tadi,” ujarnya. (*) 




Sumber : jubi.id 


Share:

Selasa, 02 April 2024

Polisi dan Ormas Hadang Aksi damai mahasiswa Papua di Bali

Koban pemukulan ormas dan militer terhadap masa aksi mahasiswa Papua. Dok Yasti M.

Aksi damai mahasiswa Papua di Denpasar Bali dihadang, dan sejumlah masa aksi terluka kena pukulan dan lemparan di Denpasar Bali, Senin  01/04/23. 

Demontrasi damai mahasiswa Papua yang tergabung dalam aliansi mahasiswa Papua (AMP) bertema  “Demokrasi dan HAM Mati Rakyat Papua Tercekik” Terjadi penghadangan dan Pemukulan oleh Ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN) yang difasilitasi oleh polisi setempat.

Aksi yang di hadang di samping lorong Fakultas Pariwisata universitas udayana 

Aksi tersebut rencananya akan di lakukan di bundaran lampu merah sudirma.

Sebelumnya ormas Pgn sudah siap siaga di jalan keluar fakultas Pariwisata universitas udayana


 Kronologisnya


A. Kronologis Aksi

Pada 8.00. Wita  massa aksi berkumpul di TKP. Dan bebearapa intel memantahu di titik kumpul

8: 3o Wita masa aksi bergerak ke titik Aksi, beberapa ormas siaga di depan jalan daut puri klod tempat titik kumpul masa aksi

9.50. Wita masa aksi dihadang oleh ormas PGN.

10.00.Wita masa aksi bernegosiasi dengan baik namun ormas PGN di depan Fakultas pariwisata Universitas Udayana Bali.


10.05 wita korlap berusaha untuk menenangkan masa aksi namun dari pihak ormas PGN terus mendorong dan menarik masa aksi sampai poster/tuntutan di rusaki 

10: 10.Wita korlap arahkan masa aksi untuk mundur karena ormas terus memukul masa dan melempari masa dengan botol, batu, dan sambal pedas ke arah masa aksi sehingga beberapa kawan kena lemparan dan sambal pedas di mata dan testa masa aksi.

10:30. Masa kembali ke titik kumpul karena ormas terus melakukan pelemparan kepada masa aksi.


B. Nama- nama Korban luka :

  1. Wemi : kena lemparan batu di kepala;
  2. Gabi   : Kena pukulan dari PGN dan Kepala bocor kena batu;
  3. Yohanes : kena batu dan  Luka di tangan; 
  4. Yuno        : Testa pica dan berdara kena Batu;
  5. Bolikam  : Jari kaki tersobek kena Bambu;
  6. Erik w : Kena batu di kaki;
  7. Paman: kena Batu di kaki;
  8. Kepno: Kena Batu Di betis Kaki dan kena  pukulan; 
  9. Daut Mote: kena Air berisi rica rica;
  10. Tapo: kena kayu di Tangan;
  11. Ampix: Kena pukulan di kepala dan kena lemparan bartu di Belakang;
  12. Herry: Kena air rica;
  13. Andi: Kena Lemparan air rica;


C. Barang yang di rusak :

 1. Beberapa Poster  di rusak 

###



Sumber : Yasti M*


Share:

Rabu, 27 Maret 2024

Berulang kali terjadi, kasus prajurit TNI siksa warga Papua


 

Jayapura,  – Kasus prajurit TNI menyiksa warga sipil Papua telah berulang kali terjadi, sebagaimana yang terlihat dalam video viral penyiksaan warga sipil Kabupaten Puncak oleh sejumlah terduga prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya. Penegakan hukum yang keras dan tegas, serta evaluasi penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua, mendesak dilakukan. 


Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey mengatakan sejak 2020 Komnas HAM Papua telah menangani beberapa kasus dugaan penyiksaan yang dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil. “Dalam pengalaman Komnas HAM di Papua [kasus penyiksaan terhadap warga sipil] bukan yang pertama kali terjadi di Papua,” ujar Ramandey di Kota Jayapura, Papua, pada Senin (25/3/2024).

Ramandey mencontohkan kasus penyiksaan dan pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah, pada September 2020. Ia juga menyebut kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas di Merauke pada Juli 2021.

Pada tahun 2022, Komnas HAM Papua juga menangani kasus penyiksaan warga sipil di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan, serta kasus penyiksaan tujuh anak di Kabupaten Puncak. Ada pula kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, juga kasus penyiksaan tiga anak di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. 

Ramandey mengatakan dari kasus-kasus yang ditangani Komnas HAM menunjukan penyiksaan yang dialami warga sipil itu sangat brutal, tidak manusiawi dan melanggar Hak Asasi Manusia. Menurut Ramandey metode penyiksaan hampir mirip digunakan ABRI pada masa rezim Orde Baru.

“Di dalam markas-markas satuan tugas [kesatuan TNI dari luar Papua yang tengah menjalani] Bawah Kendali Operasi,  cenderung melakukan penyiksaan berulang-ulang. [Modus] yang dipakai [adalah] modus rezim Orde Baru, menggunakan drum, orang diikat, tidak berdaya, sehingga [pelaku] dengan sangat bebas melakukan penyiksaan,” katanya.

Ramandey mengatakan penyiksaan ini hanya akan memperpanjang siklus kekerasan yang terjadi di Papua. Ramandey mengatakan para prajurit TNI yang bertugas di Papua harus diberikan pembekalan yang baik mengenai HAM. Selain itu para prajurit yang terlibat dalam kasus penyiksaan harus diproses hukum secara tuntas. 

Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey (tengah) bersama Ketua Tim Pemantauan dan Penyuluhan Komnas HAM Papua, Melchior S Weruin (kiri) dan Analis Pelanggaran HAM, Muhamad Ridwan Herdika (kanan) saat memberikan keterangan di Kota Jayapura, Papua, pada Sabtu (23/3/2024) terkait kasus penyiksaan yang dilakukan prajurit TNI di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. – Jubi/Theo Kelen

“Kalau tidak siklus kekerasan itu terus berulang, karena [penyiksaan yang terjadi] akan menimbulkan kebencian, dendam, kemarahan. Itu juga menjadi fakta [bahwa prajurit TNI] yang ditugaskan ke Papua itu [harus] diberi pembekalan yang baik,” kata Ramandey.

Ramandey mengatakan harus ada evaluasi atas penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua. Ia juga meminta evaluasi atas penempatan pasukan TNI dari luar Tanah Papua di Bawah Kendali Operasi (BKO) Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III. Menurut Ramandey, pasukan TNI dari luar Tanah Papua lebih baik ditempatkan di bawah kendali Komandan Daerah Militer (Kodam) setempat.

Ramandey meyakini konflik Papua hanya bisa diselesaikan dengan baik  melalui dialog damai. Ia mengatakan Negara harus berani membuka ruang dialog damai tersebut, termasuk dialog kemanusiaan yang pernah didorong Komnas HAM pada 2023.

“Tidak ada mekanisme lain dalam penyelesaian konflik, karena sampai hari ini dunia hanya mengaku satu mekanisme, yaitu mekanisme dialog. Kalau TPNPB dibunuh habis, itu akan menimbulkan masalah hukum, dan anak-anaknya akan dendam. Negara harus membuka ruang itu supaya orang-orang baik TPNPB, mereka diberi ruang untuk duduk bicara,” ujarnya.

Berulang karena impunitas

Dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu (23/3/2024), Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan hak setiap orang untuk terbebas dari penyiksaan adalah bagian dari norma-norma yang diakui dan ditaati secara internasional (peremptory norms atau jus cogens). Usman mengatakan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 20 terhadap Pasal 7 ICCPR telah menegaskan tidak seorang pun dapat dikenai praktik penyiksaan/perlakuan/penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dalam keadaan apapun. 

“Tidak seorangpun di dunia ini, termasuk di Papua, boleh diperlakukan tidak manusiawi dan merendahkan martabat, apalagi sampai menimbulkan hilangnya nyawa,” tulis Usman.

Usman mengatakan larangan terhadap praktik penyiksaan juga telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Tortureand Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).  “Keseluruhan aturan tersebut semakin menegaskan bahwa tidak seorang pun patut disiksa atas alasan apapun,” tegas Usman.  


Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. – IST

Usman meminta TNI mengevaluasi penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua. Usman menilai selama ini penempatan pasukan dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua telah menimbulkan jatuhnya korban dari warga sipil di Papua.

Dari catatan Jubi, prajurit TNI diduga berulang kali terlibat penyiksaan terhadap warga sipil di Papua. Pada 22 Februari 2022, prajurit TNI menganiaya tujuh anak di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, setelah prajurit Batalyon Infanteri Mekanis 521/Dadaha Yodha, Prada Kristian Sandi Alviando kehilangan senjata SS2 di hanggar PT Modern, Bandara Tapulunik Sinak, Kabupaten Puncak. Tujuh anak yang mengalami penyiksaan yaitu Deson Murib, Makilon Tabuni, Pingki Wanimbo, Waiten Murib, Aton Murib, Elison Murib, dan Murtal Kulua. Makilon Tabuni kemudian meninggal dunia.

Pada 22 Agustus 2022, sejumlah prajurit TNI  membunuh dan memutilasi empat warga Nduga di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika. Keempat korban pembunuhan dan mutilasi itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.

Pada 28 Agustus 2022, prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang diduga menangkap dan menganiaya empat orang warga yang mabuk di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan. Keempat warga yang ditangkap karena mabuk itu adalah Amsal Pius Yimsimem, Korbinus Yamin, Lodefius Tikamtahae, dan  Saferius Yame. Komnas HAM Papu menyatakan bahwa keempat warga itu juga mengalami penganiayaan sejak jam 23.00 – 03.00 WP, sehingga mengalami luka di sekujur tubuh mereka. 

Pada 30 Agustus 2022, prajurit yang bertugas di Pos Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi diduga melakukan penganiayaan yang menyebabkan Bruno Amenim Kimko meninggal dunia, dan Yohanis Kanggun luka berat. Sejumlah 18 prajurit Satuan Tugas Batalion Infanteri Raider 600/Modang menjadi tersangka dalam kasus itu.

Pada 27 Oktober 2022, tiga anak di Kabupaten Keerom yaitu Rahmat Paisei (15) bersama Bastian Bate (13), dan Laurents Kaung (11) diduga dianiayai di parjurit TNI di Pos Satuan Tugas (Satgas) Damai Cartenz, Jalan Maleo, Kampung Yuwanain, Arso II, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua. Ketiga anak itu dianiayai menggunakan rantai, gulungan kawat dan selang air, hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit. 

Pada 22 Februari 2023, prajurit TNI Angkatan Laut – AL di Pos Lantamal X1 Ilwayap diduga menganiaya warga bernama Albertus Kaize dan Daniel Kaize di Posal Lantamal XI di Kampung Wogikel, Distrik Ilwayap, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.  Akibat penganiayaan tersebut korban Albertus Kaize meninggal dunia.

Usman mengkritik praktik impunitas terhadap para terduga pelaku berbagai kasus terdahulu telah menyebabkan kasus penyiksaan warga sipil oleh prajurit TNI terjadi berulang kali dan selalu berulang. “Tindakan itu bisa terulang karena selama ini tidak ada penghukuman atas anggota yang terbukti melakukan kejahatan penculikan, penyiksaan, hingga penghilangan nyawa,” ujarnya. (*) 



Penulis: Theo Kelen 

Editor: Aryo Wisanggeni G

Sumber : jubi.id


Share:

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

 By YEIMOYAGAMO*

Seluruh tulisan kopipaste dari http://www.laolao-papua.com 

Foto salah satu Mama Mee yang sedang berjualan di depan Hotel Yasmin, Kota Jayapura. Foto dari benarnews.org.


Foto salah satu Mama Mee yang sedang berjualan di depan Hotel Yasmin, Kota Jayapura. Foto dari benarnews.org.

Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai no, ogeima wae!”.

(Jika tangan ini tidak bergerak bekerja, kaki tidak melangkah jauh dan tanah ini tidak diolah, maka bagaimana makan minum anak -anak. Mereka akan kelaparan dan mati, mereka tidak akan sekolah. Tetaplah kerja kebun, kawan!)

Kata-kata penggerak ini sering diucapkan mama-mama Mee saat bekerja di kebun.

Ketika tiba di Kota Jayapura, ucapan tersebut sekaligus menjadi alasan mama-mama Mee membuka lahan untuk bercocok tanam sayur kangkung putih dan daun petatas.

Bagi Mama Anike, Mama Magai, dan Mama Kadepa (nama disamarkan sesuai permintaan narasumber), tanah adalah segalanya. Kehidupan ketiganya tak dapat dipisahkan dari tanah. Sejak kecil mereka sudah belajar menanam.

Dalam bahasa Mee, bunamakiyo kouko akukai, yakni tanah merupakan mama. Tanah menyediakan segalanya dan memberikan setiap kebutuhan bagi kehidupan. Di Meeuwodide, sebutan untuk wilayah adat Suku Mee, tanah adalah bank kehidupan.

Mama-mama Mee meyakini bahwa tanah diciptakan oleh Sang Khalik untuk dikerjakan, diolah agar tetap hidup dan menghidupi sesuai dengan ujaran Mee bage (atau masyarakat suku Mee),

Tai keitai, ekina muni, owa migi (kerja kebun, memelihara babi, dan membangun rumah).”

Filosofi ini menguatkan tekad Mama Anike, Mama Magai, dan Mama Kadepa untuk tetap mencari lahan dan bercocok tanam setelah pindah ke Tanah Tabi, Numbay pada kisaran tahun 1980-1990an.

Jayapura, Kota Semarak Penghuni

Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua. Ia juga menjadi kawasan industri perdagangan di kawasan Timur Indonesia. Dengan perkembangan yang padat, Kota Jayapura menjadi salah satu kota dengan densitas tinggi.

Selain menjadi kawasan industri dan perdagangan, Kota Jayapura menjadi pusat pendidikan sehingga terjadi urbanisasi besar-besaran. Mereka yang datang bukan hanya di usia sekolah, juga kelompok keluarga yang hendak mengikuti perubahan.

Urbanisasi di Kota Jayapura mulai terjadi dari awal tahun 1970an akhir hingga tahun 1980an. Sebagian besar datang dari wilayah adat Lapago dan Meepago. Mereka menempati Kota Jayapura sesuai mata pencaharian atau budaya kerja.

Penduduk dari wilayah adat Lapago banyak menempati di dataran tinggi, seperti sepanjang kaki gunung Cyclop, area Abepura gunung, Koya, dan sekitarnya. Ibu Ev. Ruth Togodly, S.Th, merupakan salah satunya. Ia mengungkapkan, orang tuanya sudah melakukan urbanisasi dari tahun 1970an akhir dari Wamena dan memilih menetap di daerah Angkasapura.

Ibunya, Mama Gombo, merupakan salah seorang pionir yang membuka lahan di sekitar Angkasapura hingga pernah dipanggil polisi karena lahan tersebut merupakan hutan lindung. Namun Mama Gombo tidak merusak seluruh alam sekitar gunung Angkasapura. Terlebih, lahan yang dibuka sebagai kebun berguna untuk menopang ekonomi rumah tangga. Hingga saat ini beberapa kebun masih dilanjutkan oleh anak-anaknya.

Penduduk dari wilayah adat Meepago mendiami dataran yang lebih rendah, seperti di Argapura, Dok 5, Apo, dan Deplat Kanan. Jumlah keluarga Meebage di Port Numbay berkisar 100 kepala keluarga (KK). Merujuk data dari kepala suku besar Suku Mee daerah Mamta pada periode 2019-2022, komposisi pekerjaan mereka terdiri dari 50% petani dan buruh kasar/pembersih kota, 10% juru parkir dan satpam, 30% Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TU, serta 10% mahasiswa. Data ini merupakan hasil beberapa tahun lalu, sehingga perlu survei oleh kepala suku yang baru untuk memperbaharui.

Selain terjadi urbanisasi internal pada tahun 1970an, jauh sebelumnya telah terjadi transmigrasi besar-besaran yang dilakukan melalui program pemerintah daerah maupun negara dalam rangka pemerataan penduduk. Warga imigran sebagian besar dari Pulau Jawa ditempatkan di wilayah Koya dan Arso (sekarang Kabupaten Keerom).

Ada pula kelompok migran dari pulau Sulawesi yang menempati wilayah bagian laut, di antaranya Argapura laut, Hamadi, dan Pulau Kosong. Penduduk asli Kota Jayapura yang terdiri dari Suku Kayu Batu, Suku Kayu Pulau, Suku Tobati, Suku Enggros, Suku Nafri, Suku Skouw, dan Suku Sentani Timur sangat ramah terhadap sesamanya yang datang ke wilayah adatnya. Mereka hidup berdampingan. Lahan kosong yang tersedia kemudian dibangun perumahan maupun tempat untuk beraktivitas ekonomi dan budaya.

Pembangunan di Kota Jayapura terus berkembang pesat memakan tiap lahan kosong. Para pemilik modal besar membeli lahan-lahan tersebut untuk dilipatgandakan menjadi ruko, mal, hotel, dan lainnya yang dianggap sebagai strategi pertumbuhan ekonomi dan pengembangan daerah.

Lahan pertanian masyarakat yang semula berfungsi memenuhi kebutuhan pangan ikut diubah menjadi bangunan-bangunan publik. Selain itu peningkatan jumlah penduduk yang terjadi mengakibatkan banyak lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi pemukiman, baik itu yang dikembangkan oleh investor maupun rumah-rumah pribadi.

Konsep pembangunan ini memandang tanah hanya bernilai kapital. Akibatnya, pemilik modal besar atau kapital kian berkuasa sementara masyarakat kelas menengah maupun kelompok miskin hidup tidak memiliki tanah.

Menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru bukan persoalan mudah, apalagi harus memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga di tengah Kota Jayapura yang terus mengalami perkembangan dan kemajuan. Maka kelompok mama dari wilayah Meepago mulai mengolah tanah di beberapa titik tempat untuk ditanami beberapa tanaman khas, yakni daun petatas dan sayur kangkung. Beberapa lokasi lahan dapat di lihat di area belakang kampus Fakultas Kedokteran, Universitas Cenderawasih (Uncen), sebagian di sepanjang Kali (sungai) Acai, sekitar Pasar Youtefa dan sisi perumahan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Kotaraja.

Bertahan Berkebun di Lahan Sempit

“Setelah ruko ini selesai dibangun bos bilang nanti timbun bagian yang kami kerja kebun. Sementara mama kerja dulu sambil selesaikan ruko ini karena akan dibuat kolam renang dan tempat bermain.” cerita Mama Kadepa dengan air muka pasrah.

Penulis menemui Mama Kadepa di tempat jualannya, di pinggir jalan raya Youtefa.

Mama Kadepa menjajakan daun petatas. Sembari menikmati senja, penulis bersama Mama Kadepa menyantap roti dengan teh hangat. Mama Kadepa kemudian menuturkan pengalamannya.

Tanah tempat Mama Kadepa berkebun sudah dibeli oleh pengusaha. Dulunya tanah tersebut milik seorang ondo (kepala suku).

“Bapak ondo tidak pernah menagih uang atau memarahi kami. (Ketika) pembangunan ruko mulai makin dekat dengan kebun kami. Bos (pemilik ruko) sudah kasih ingat.” lanjut Mama Kadepa.

Peringatan dari pemilik ruko seakan memerintahkan Mama Kadepa dan mama-mama Mee lainnya untuk segera meninggalkan lahan tersebut dan mencari tanah kosong untuk kebun baru.

“Sekarang kami, mama (Suku) Mee masih ada harapan karena anak kami pinjamkan tanah miliknya untuk diolah, ditanami sayuran.”

Mereka sudah merintis pembukaan lahan saat wabah Covid-19 merebak karena semangat orang-orang untuk berkebun meningkat. Ketiga suaminya kerap ikut membantu membuka lahan, tapi ketika proses menanam maupun memanen lebih banyak dilakukan oleh mama-mama. Lokasinya terbilang jauh, terletak di Koya Koso, Distrik Abepura. Sementara Mama Magai dan Mama Kadepa tinggal di Argapura, Mama Anike berdomisili di Buper, Waena.

Ketika pergi ke kebun, mereka harus naik angkutan beberapa kali sehingga menghabiskan biaya terlampau besar.

“Hasil jualan habis di ongkos taksi saja.” lanjut Mama Kadepa.

Alhasil, kebutuhan untuk membeli garam, minyak goreng, dan lainnya tidak dapat dipenuhi secara maksimal. Semakin jauh kebun, maka pengeluaran di biaya kendaraan angkutan dan ojek yang ditumpangi makin besar. Selain itu, lokasi tersebut sering tergenang air atau banjir yang mengakibatkan gagal panen.

Mama Kadepa melanjutkan ceritanya. Ia tinggal bersama suaminya dan enam anak. Seorang anak perempuan diantaranya sudah menikah dan baru saja melahirkan. Maka di rumah tersebut, hasil kebun Mama Kadepa menjadi tumpuan kehidupan bagi 9 penghuni, termasuk dirinya.

“Mabi (sapaan untuk anak perempuan nomor tiga dalam bahasa Mee), bapak di rumah sakit-sakitan baru adik-adik juga semua sekolah. Kalau kami sudah pindah lagi ke kebun Koya Koso nanti tidak cukup uang jajan anak-anak dan makan minum di rumah.”

Apabila sayur jualan tidak habis, Mama Kadepa mengeluh rugi. Anak-anak di rumah menunggu kepulangan sang mama dengan oleh-oleh atau bahan makanan. Mereka menantikan isi dalam agiya (noken khas dari Suku Mee).

“Hati sedih dan menangi tapi hidup sudah begitu.” ungkap Mama Kadepa getir.

Mengisi kekosongan waktu di rumah, Mama Kadepa lebih memilih menganyam noken sebisanya walau tidak begitu mahir. Pekerjaan di rumah lebih banyak diambil alih oleh anak perempuannya, Lexi, yang sudah menikah dan memilih hidup bersama orang tuanya bersama suami. Meski Lexi menikah, ia tetap melanjutkan pendidikan tinggi di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Jayapura.

Sementara Mama Magai sendiri merupakan janda dengan dua anak. Sembari membiayai kebutuhan sehari-hari, hasil jualan Mama Magai harus cukup untuk membayar sekolah kedua anaknya, sulungnya di bangku kuliah dan bungsu di SMA.

Mama Magai kerap menghabiskan waktu sendirian di rumah, sebab kedua anaknya banyak beraktivitas di luar rumah bersama teman-temannya. Beban rumah tangga lantas hanya dikerjakan olehnya. Jika waktunya luang, Mama Magai menyambangi keluarganya di Angkasapura.

Di rumah Mama Anike, malam itu, makanan dingin yang dimasak sedari pagi menyambutnya. Ia tetap melahapnya, kemudian ia berbaring. Kepalanya diletakkan pada bantal berwarna merah di suatu sudut ruang tengahnya.

Suami Mama Anike merupakan pendeta di sebuah jemaat Gereja Kingmi Papua. Kesehariannya, ia membantu Mama Anike mengerjakan tanggung jawab di rumah.

Keduanya memiliki 8 anak, 2 diantaranya sudah meninggal. Keenam anak lainnya berhasil menempuh pendidikan dari hasil berjualan sayur. Dulu saat anak-anak masih kecil, mereka ikut menggarap kebun dan pekerjaan-pekerjaan di rumah. Kini anak-anaknya telah hidup mandiri, ada yang bekerja sebagai dokter, PNS, guru, pebisnis, antropolog, dan pekerja kemanusiaan. Si bungsu masih duduk di bangku perguruan tinggi.

Mama Anike sebenarnya sudah sering diingatkan oleh ke-24 cucu dan anak-anaknya untuk tidak lagi bekerja di kebun ketika ia pergi berkunjung. Namun buatnya tanah sudah menyatu dengan dirinya.

Kebun Hilang, Hidup Gamang

Pembangunan infrastruktur yang pesat meminggirkan lahan yang dikelola oleh Mama-mama Mee di Kota Jayapura. Mereka tidak pernah membayangkan hunian sederhana yang mereka kelola sejak tahun 1970an akan seperti saat ini. Lahan kebun bukan lagi ditanami sayuran, tapi gedung-gedung, kawasan hotel, deretan ruko, dan bangunan lainnya.

Kelompok mama ini berharap bahwa pemerintah dapat lebih bijaksana mengembangkan program-program pembangunan sehingga tetap menyediakan lahan kayak untuk mereka yang bekerja di kebun dan menghasilkan sayuran hijau bagi masyarakat di Kota Jayapura.

“Kalau tanah sudah tidak ada lagi bagi kami, bagaimana nasib kami dan keluarga kami?” ketiga mama bertanya-tanya.

Kebingungan tidak berhenti. Hilangnya akses untuk berkebun turut menghapus kemampuan Mama-mama Mee. Tanah bukan sekadar media pencetak uang. Buat mereka, tanah merupakan pusat kehidupan secara budaya, ekonomi, dan teologis.

Apabila pembangunan memang diperuntukkan masyarakat, seharusnya tiap orang dapat menikmatinya, termasuk perempuan. Berkaca pada pengalaman Mama-mama Mee, kunci pembangunan yang bijaksana semestinya melibatkan siapa pun dan berempati terhadap perempuan dalam peranannya serta pekerjaannya dalam lingkungan hidup. Perempuan berperan dalam produksi dan pengolahan pangan, mencakup mempromosikan praktik pertanian organik dan berkelanjutan.

Selain itu perempuan adalah penjaga tradisi pertanian lokal yang berkelanjutan. Peran perempuan dalam menjaga alam sangat penting dan memiliki dampak signifikan pada pelestarian lingkungan.

***

Catatan: Tulisan ini merupakan karya dari partisipan workshop menulis untuk perayaan International Women’s Day (Hari Perempuan Sedunia) 2024 bertema “Inspire Inclusion: Ambil, Rebut, Ciptakan, dan Pertahankan Ruang untuk Perempuan di Tanah Papua” yang didukung oleh Lao-Lao Papua, Elsham Papua, Yayasan iWaTaLi Papua, Parapara Buku, dan Yayasan Pusaka. Tulisan ini diedit oleh Narriswari.

Share:

Prajurit TNI Tewas Ditembak TPNPB di Puncak Jaya

Jayapura/mw, Seorang prajurit TNI tewas ditembak oleh tentara pembebasan nasional Papua barat (TPNPB) di Puncak Jaya, Papua Tengah, Minggu (17/3) siang. Berdasarkan informasi penembakan prajurit TNI itu terjadi di Distrik Muara sekitar pukul 12.55 WIT. Juru Bicara TPNBP-OPM Sebby Sambom dalam keterangan tertulisnya mengeklaim pihaknya telah menembak dua prajurit TNI di Kampung Kurilik. Selain menewaskan seorang prajurit TNI, … Lanjutkan membaca Prajurit TNI Tewas Ditembak TPNPB di Puncak Jaya


http://dlvr.it/T4fTKn
Share:

Senin, 11 Juli 2022

Konflik Pemekaran: Ibu Kota, Wilayah Adat, ASN hingga Migrasi ke Papua

 Pemekaran Papua terus berjalan sesuai rencana untuk menjadikan pulau besar itu dalam tujuh provinsi. Konflik pun berkembang, dari sebatas soal pro dan kontra, kini juga terkait letak ibu kota, pemakaian tanah adat hingga pengisian pegawai.

Aksi Demo Penolakan DOB di Wamena. Dok telius-yikwa.

Begitu disahkan, tiga provinsi baru di Papua langsung mengundang perdebatan. Pemerintah memang menyiapkan segala hal secara baik, tetapi di tingkat masyarakat, wacana tentang daerah pemekaran belum matang. Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua kepada VOA menilai, potensi konflik horizontal saat ini adalah sesuatu yang nyata. 

“Terus terang, kita semua menerima Daerah Otonom Baru (DOB) itu. Saya termasuk yang mendukung DOB disahkan segera, proses percepatan supaya mengentaskan kemiskinan. Tetapi, kesiapan masyarakat di bawah itu yang bisa berimplikasi menjadi konflik horizontal di antara sesama orang Papua,” kata Ismail, Minggu (10/7).


Ismail mencontohkan, pemerintah menetapkan Nabire sebagai calon Ibu Kota Provinsi Papua Tengah. Sementara Suku Meepago, yang mendiami kawasan tersebut, menginginkan Timika yang menjadi Ibu Kota. Protes sudah disampaikan, dan dikhawatirkan eskalasinya akan terus meningkat jika tidak dikelola dengan baik. 

Jika masyarakat adat tidak didengar aspirasinya, tentu saja ada konsekuensinya. Dikatakan Ismail, tanah adat sepenuhnya dimiliki masyarakat adat. Jika pemerintah ingin membangun ibu kota provinsi beserta bangunan dan fasilitas di dalamnya, tentu akan memanfaatkan tanah adat.


“Mereka yang menolak itu pemilik hak ulayat tanah, sehingga sekarang misalnya kantor pemerintah mau ditempatkan di mana? Nah, mau bangun kantor, infrastruktur dan semuanya dari tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota, itu juga bisa menjadi ada masalah di bawah,” tambahnya terkait potensi konflik kedua.


Potensi konflik horizontal juga bisa muncul terkait penetapan kabupaten mana yang masuk ke satu provinsi tertentu. Ismail menyebut, masyarakat Pegunungan Bintang menginginkan tetap masuk sebagai bagian dari Provinsi Papua, atau provinsi induk yang saat ini ada. Sementara rencananya, kabupaten ini akan masuk ke Provinsi Papua Pegunungan. 

Potensi konflik antar masyarakat berikutnya, menurut Ismail adalah proses pengisian aparatur sipil negara (ASN) di provinsi baru.


“Orang Papua ini kan dari sisi tingkat pendidikan rendah, sehingga nanti yang akan mengisi posisi itu, akan lebih banyak dari kelompok masyarakat pendatang di Papua. Itu juga berpotensi kedepannya akan melahirkan konflik antara masyarakat dari berbagai wilayah di Nusantara dengan kita, orang Papua,” tandas Ismail.


Padahal, kondisi itu tercipta karena sejak lama akses pendidikan bagi masyarakat Papua memang sulit. 

Dalam diskusi “Pemekaran Sebagai Resolusi Konflik?” yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada, Rabu (6/7), potensi konflik ini juga dikupas mendalam. Pejabat dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Brigjen TNI Danu Prionggo misalnya, menyebut soal silang pendapat penetapan ibu kota. 

“Pasca penetapan Ibu Kota Provinsi Papua Tengah di Nabire dan cakupan wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang menjadi bagian dari Provinsi Papua Pegunungan, terjadi peningkatan eskalasi politik dan keamanan, “ kata Danu.


Dani mengatakan, perwakilan masyarakat Mimika sempat datang ke Jakarta dan menyampaikan penolakan.


“Itu bentuk aspirasi yang positif karena disampaikan langsung ke pemerintah. Kita sampaikan agar bisa menahan diri,” tambahnya.


Pemerintah juga telah memetakan potensi kemungkinan terjadinya konflik pra maupun pasca pemekaran. “Misalnya potensi penolakan DOB, penentuan cakupan wilayah, penentuan ibu kota, pengisian jabatan politik dan pemerintahan, menguatnya arus migrasi ke Papua, serta konflik kepemilikan tanah,” kata Danu mendetilkan. 

Pemerintah tentu saja memberi alasan, sekaligus wacana ke depan, terkait pemilihan ibu kota itu. Misalnya, seperti yang disampaikan Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOP Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto Sumito.


“Kabupaten Mimika akan berkembang sebagai pusat perekonomian, sedangkan kabupaten Nabire akan berkembang sebagai pusat pemerintahan,” kata Valentinus dalam diskusi tersebut.


Catatan GTP UGM

Sementara Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr Gabriel Lele, mengatakan lembaga tersebut berupaya menekankan transformasi konflik sebagai kerangka pemekaran Papua. Hal itu harus diterjemahkan dalam berbagai aspek kultural maupun struktural serta negara juga wajib memberikan intervensi secara holistik. 

“GTP UGM memberikan perhatian khusus pada aspek-aspek mikro seperti relasi orang asli Papua (OAP) dengan migran, hak ulayat, perekonomian yang berpihak pada OAP serta inklusivitas politik dan birokrasi. Hal ini diharapkan mampu memberikan warna dalam proses transformasi konflik,” kata Gabriel.


Tim Gugus Tugas Papua UGM sendiri telah mengidentifikasi beberapa isu krusial terkait pembentukan provinsi baru yang memerlukan perhatian serius. Pertama, penentuan ibu kota, yang sangat krusial dalam kasus provinsi Papua Tengah dengan adanya rivalitas antara Nabire dengan Mimika. Kedua, pengisian jabatan politik dan pemerintahan, terutama merujuk pada minimnya OAP di struktur birokrasi maupun politik. 

Ketiga adalah arus migrasi ke Papua, karena kehadiran unit pemerintahan baru akan diikuti terbukanya peluang-peluang ekonomi dan menjadi magnet bagi migrasi penduduk dari luar Papua. Keempat, konflik kepemilikan tanah, karena belum adanya prosedur jelas dalam jual beli atau pembebasan tanah adat yang diperparah tingginya tingkat deforestasi.


Penanganan Konflik Sosial

Kepada VOA, Direktur LBH Papua Emanuel Gobay meminta pemerintah melihat persoalan ini dengan menggunakan sudut pandang sesuai UU 7/2012 tentang penanganan konflik sosial. 

“Karena sejak perumusan hingga pengesahan ini menciptakan dua kubu, baik pro dan kontra, yang menerima DOB maupun yang menolak DOB, dan juga setelah ini menciptakan kelompok pro-kontra baru lagi,” kata Gobay.


Kelompok pro-kontra yang baru, kata Gobay, contohnya adalah soal ibu kota, masuknya wilayah ke provinsi tertentu, sebagaimana juga telah dideteksi banyak pihak.


Di sinilah pentingnya penerapan UU 7/2012 tentang penanganan konflik sosial diterapkan.


“Karena jelas-jelas kalau menggunakan kacamata tersebut, pemicunya kan perumusan kebijakan sehingga bisa melahirkan pro-kontra dan munculnya berbagai kelompok yang mudah tersulut konflik dan mengakibatkan konflik sosial,” tambahnya. 

Gobay juga menyinggung tentang pengiriman pasukan keamanan ke Papua, yang ditujukan untuk mengantisipasi konflik pasca penetapan daerah pemekaran.


“Harapan saya, Kapolri bisa memerintahkan agar pendekatannya humanis. Jangan sampai ada pelanggaran hukum ataupun HAM yang terjadi, karena itu akan menambah panjang deretan fakta pelanggaran HAM. Harapannya, kita lihat ini menggunakan UU 7/2012, dalam konteks penanganan konflik sosial, secara humanis,” tegasnya. [ns/em] 




Sumber : voaindonesia.com

 

Share:

Me

Me

Followers

Postingan saya di Wordpress

Yikwagwe Post