Coretan & Berbagi Informasi

Sunday, August 11, 2024

Megaproyek Tebu Jadi Ancaman Petaka Baru

Indikasi pengerahan polisi dan tentara membuat warga khawatir. Mereka dibatasi dan tidak bebas dalam menyampaikan pendapat. 

Pembabatan hutan untuk lahan Tebu di Merauke. Dok Jubi.
Pembabatan hutan untuk lahan Tebu di Merauke. Dok Jubi.

Segudang permasalahan baru dikawatirkan muncul sebagai dampak megaproyek pengembangan Tebu di Merauke. Permasalahan itu, diantaranya menyangkut hayat hidup masyarakat adat.

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante meyakini proyek strategis nasional tersebut tidak bakal memakmurkan masyarakat. Sebaliknya, justru mendatangkan petaka baru.

“Kami mendokumentasikan praktik perampasan tanah dalam Program MIFEE [Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke] melalui pemberian izin usaha kepada korporasi tanpa persetujuan masyarakat adat. Terjadi penumpukan kekayaan, konsentrasi penguasaan, serta pemilikan tanah, dan hutan kepada segelintir perusahaan,” kata Samperante melalui siaran pers, Selasa (30/7/2024) diberitakan Jubi edisi 30/07/2024.

Samperante menyayangkan pengalaman buruk itu masih berlangsung, tetapi pemerintah justru makin membebaninya dengan proyek pengembangan tebu. Dia memastikan hal tersebut membuat masyarakat adat kian terpuruk.

“Penguasaan jutaan hektare lahan melalui praktik tipu muslihat membuat masyarakat adat tereksklusi [terkucil] serta kehilangan kontrol atas tanah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Selain itu, menghancurkan sistem sosial dan budaya, kekerasan, deforestasi, perusakann ekosistem, hingga pencemaran air,” kata Samperante.

Berdasarkan kajian Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, areal penaman tebu di Merauke berada pada kawasan hutan dan daerah moratorium perizinan industri ekstraktif. Karena itu, proyek tersebut mengancam kelestarian lingkungan, termasuk peningkatan emisi rumah kaca penyebab pemanasan global.

“Sebagian besar lokasi perizinannya berada di wilayah adat Yeinan, yakni sekitar 317 ribu hektare sehingga berisiko secara sosial, ekonomi, dan budaya. Karena itu, kami minta Presiden Joko Widodo menghentikan  Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi di Merauke,” kata Samperante.

Dia juga meminta korporasi, investor, dan institusi keuangan menghormati kedaulatan masyarakat adat. Selain itu, pemerintah daerah harus mengambil langkah efektif dalam menghormati, dan melindungi hak-hak asasi masyaraka. 

Baleho penyambutan kedatangan Presiden Jokowi di lokasi mengaporoyek perkebunan tebu di Kampung Sermayam, Distrik Tanah Miring., Merauke, pekan lau. – Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.-dok Jubi.


Luka lama belum sembuh

Pengembangan tebu di Merauke masuk daftar proyek strategis nasional berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Nomor 8 Tahun 2023. Penetapan itu ditindaklanjuti dengan pembentukkan satu tugas (satgas), berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2024, tertanggal 19 April 2024. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ditunjuk Jokowi sebagai ketua satgas.Jokowi mengunjungi salah lokasi proyek pengembangan tebu di Merauke pada pekan lalu. Dia memimpin penanaman perdana di perkebunan tebu milik PT Global Papua Abadi (PGA) di Kampung Sermayam, Distrik Tanah Miring.

Pengembangan tebu tersebut menambah rentetan program pengembangan komoditas pangan dan eneregi di Merauke. Sebelumnya, sudah ada MIFEE, Kawasan Sentra Produksi Pangan, Food Estate Papua, dan Kawasan Ekonomi Khusus Merauke.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Pos Merauke Teddy Wakum mengatakan Program MIFFE masih menyisakan kepedihan dan dampak buruk terhadap perikehidupan masyarakat adat setempat. Mereka hingga kini masih terus memperjuangkan keadilan.

“Suku Marind, dan buruh Orang Asli Papua di Mam, Muting, dan Zanegi masih menuntut keadilan, dan pemulihan hak korban kekerasan. Mereka juga menuntut janji kesejahteraan dan upah layak dari perusahaan,” kata Wakum.

Dia melanjutkan sejak pencanangan proyek hingga penanaman perdana tebu oleh Jokowi, mereka belum mendapat informasi, dan dokumen kajian sosial. Begitu pula dokumen kajian hidup strategisnya, yang semestinya dapat diakses sebelum proyek dimulai.

“Pemerintah juga belum memberi informasi, serta mendapat persetujuan masyarakat adat dalam proses, dan pengembangan gula, bioethanol, dan perluasan lumbung pangan [proyek tebu di Merauke]. Pengabaian negara atas hak masyarakat prinsip Free, Prior Informed Consent (FPIC), dan Pasal 43 Undang Undang Otonomi Khusus Papua,” kata Wakum.  

Aksi protes warga terhadap pencaplokan hutan adat oleh investor di Merauke. – Yayasan Pusaka Bentala Rakyat- dok Jubi.


Pengerahan Aparat

LBH Papua Pos Merauke juga mengindikasikan pengerahan aparat kepolisian, dan militer dalam sosialiasi, serta negosiasi pelepasan lahan pada megaproyek tebu. Mereka juga ikut mengawal dan mengamankan peralatan operasional perusahaan.

Menurut Wakum, kondisi tersebut membuat warga khawatir. Mereka dibatasi dan tidak bebas dalam menyampaikan pendapat maupun pemikiran mengenai dampak proyek.

“Mereka mengalami tekanan dan terdampak proyek. Karena itu, kami menilai proyek ini berpotensi melanggar hak asasi manusia,” ujar Wakum.

Megaproyek tebu di Merauke melibatkan sembilan perusahaan dalam konsorsium PT PGA dengan luas konsesi sekitar 469 ribu hektare. Lokasi lahan mereka tersebar di Distrik Tanah Miring, Distrik Animha, Distrik Jagebob, Distrik Eligobel, Distrik Sota, dan Distrik Ulilin, serta Distrik Mutin.

Konsorsium PT PGA berasal dari kelompok usaha milik keluarga Fangiono, dan Martua Sitorus. Mereka mengantongi rekomendasi dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) 2023—2024 dari pemerintah. Adapun rencana investasi mereka senilai Rp83 triliun. Nilai investasi itu meliputi pengembangan 500 ribu hektare lahan tebu, dan pembangunan infrastruktur, serta lima pabrik pengolahan gula dan bioetanol. (*)



Sumber : Jubi.id 


Share:

0 comments:

Me

Me

Followers

Postingan saya di Wordpress

Yikwagwe Post