Coretan & Berbagi Informasi

Senin, 11 Juli 2022

Konflik Pemekaran: Ibu Kota, Wilayah Adat, ASN hingga Migrasi ke Papua

 Pemekaran Papua terus berjalan sesuai rencana untuk menjadikan pulau besar itu dalam tujuh provinsi. Konflik pun berkembang, dari sebatas soal pro dan kontra, kini juga terkait letak ibu kota, pemakaian tanah adat hingga pengisian pegawai.

Aksi Demo Penolakan DOB di Wamena. Dok telius-yikwa.

Begitu disahkan, tiga provinsi baru di Papua langsung mengundang perdebatan. Pemerintah memang menyiapkan segala hal secara baik, tetapi di tingkat masyarakat, wacana tentang daerah pemekaran belum matang. Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua kepada VOA menilai, potensi konflik horizontal saat ini adalah sesuatu yang nyata. 

“Terus terang, kita semua menerima Daerah Otonom Baru (DOB) itu. Saya termasuk yang mendukung DOB disahkan segera, proses percepatan supaya mengentaskan kemiskinan. Tetapi, kesiapan masyarakat di bawah itu yang bisa berimplikasi menjadi konflik horizontal di antara sesama orang Papua,” kata Ismail, Minggu (10/7).


Ismail mencontohkan, pemerintah menetapkan Nabire sebagai calon Ibu Kota Provinsi Papua Tengah. Sementara Suku Meepago, yang mendiami kawasan tersebut, menginginkan Timika yang menjadi Ibu Kota. Protes sudah disampaikan, dan dikhawatirkan eskalasinya akan terus meningkat jika tidak dikelola dengan baik. 

Jika masyarakat adat tidak didengar aspirasinya, tentu saja ada konsekuensinya. Dikatakan Ismail, tanah adat sepenuhnya dimiliki masyarakat adat. Jika pemerintah ingin membangun ibu kota provinsi beserta bangunan dan fasilitas di dalamnya, tentu akan memanfaatkan tanah adat.


“Mereka yang menolak itu pemilik hak ulayat tanah, sehingga sekarang misalnya kantor pemerintah mau ditempatkan di mana? Nah, mau bangun kantor, infrastruktur dan semuanya dari tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota, itu juga bisa menjadi ada masalah di bawah,” tambahnya terkait potensi konflik kedua.


Potensi konflik horizontal juga bisa muncul terkait penetapan kabupaten mana yang masuk ke satu provinsi tertentu. Ismail menyebut, masyarakat Pegunungan Bintang menginginkan tetap masuk sebagai bagian dari Provinsi Papua, atau provinsi induk yang saat ini ada. Sementara rencananya, kabupaten ini akan masuk ke Provinsi Papua Pegunungan. 

Potensi konflik antar masyarakat berikutnya, menurut Ismail adalah proses pengisian aparatur sipil negara (ASN) di provinsi baru.


“Orang Papua ini kan dari sisi tingkat pendidikan rendah, sehingga nanti yang akan mengisi posisi itu, akan lebih banyak dari kelompok masyarakat pendatang di Papua. Itu juga berpotensi kedepannya akan melahirkan konflik antara masyarakat dari berbagai wilayah di Nusantara dengan kita, orang Papua,” tandas Ismail.


Padahal, kondisi itu tercipta karena sejak lama akses pendidikan bagi masyarakat Papua memang sulit. 

Dalam diskusi “Pemekaran Sebagai Resolusi Konflik?” yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada, Rabu (6/7), potensi konflik ini juga dikupas mendalam. Pejabat dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Brigjen TNI Danu Prionggo misalnya, menyebut soal silang pendapat penetapan ibu kota. 

“Pasca penetapan Ibu Kota Provinsi Papua Tengah di Nabire dan cakupan wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang menjadi bagian dari Provinsi Papua Pegunungan, terjadi peningkatan eskalasi politik dan keamanan, “ kata Danu.


Dani mengatakan, perwakilan masyarakat Mimika sempat datang ke Jakarta dan menyampaikan penolakan.


“Itu bentuk aspirasi yang positif karena disampaikan langsung ke pemerintah. Kita sampaikan agar bisa menahan diri,” tambahnya.


Pemerintah juga telah memetakan potensi kemungkinan terjadinya konflik pra maupun pasca pemekaran. “Misalnya potensi penolakan DOB, penentuan cakupan wilayah, penentuan ibu kota, pengisian jabatan politik dan pemerintahan, menguatnya arus migrasi ke Papua, serta konflik kepemilikan tanah,” kata Danu mendetilkan. 

Pemerintah tentu saja memberi alasan, sekaligus wacana ke depan, terkait pemilihan ibu kota itu. Misalnya, seperti yang disampaikan Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOP Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto Sumito.


“Kabupaten Mimika akan berkembang sebagai pusat perekonomian, sedangkan kabupaten Nabire akan berkembang sebagai pusat pemerintahan,” kata Valentinus dalam diskusi tersebut.


Catatan GTP UGM

Sementara Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr Gabriel Lele, mengatakan lembaga tersebut berupaya menekankan transformasi konflik sebagai kerangka pemekaran Papua. Hal itu harus diterjemahkan dalam berbagai aspek kultural maupun struktural serta negara juga wajib memberikan intervensi secara holistik. 

“GTP UGM memberikan perhatian khusus pada aspek-aspek mikro seperti relasi orang asli Papua (OAP) dengan migran, hak ulayat, perekonomian yang berpihak pada OAP serta inklusivitas politik dan birokrasi. Hal ini diharapkan mampu memberikan warna dalam proses transformasi konflik,” kata Gabriel.


Tim Gugus Tugas Papua UGM sendiri telah mengidentifikasi beberapa isu krusial terkait pembentukan provinsi baru yang memerlukan perhatian serius. Pertama, penentuan ibu kota, yang sangat krusial dalam kasus provinsi Papua Tengah dengan adanya rivalitas antara Nabire dengan Mimika. Kedua, pengisian jabatan politik dan pemerintahan, terutama merujuk pada minimnya OAP di struktur birokrasi maupun politik. 

Ketiga adalah arus migrasi ke Papua, karena kehadiran unit pemerintahan baru akan diikuti terbukanya peluang-peluang ekonomi dan menjadi magnet bagi migrasi penduduk dari luar Papua. Keempat, konflik kepemilikan tanah, karena belum adanya prosedur jelas dalam jual beli atau pembebasan tanah adat yang diperparah tingginya tingkat deforestasi.


Penanganan Konflik Sosial

Kepada VOA, Direktur LBH Papua Emanuel Gobay meminta pemerintah melihat persoalan ini dengan menggunakan sudut pandang sesuai UU 7/2012 tentang penanganan konflik sosial. 

“Karena sejak perumusan hingga pengesahan ini menciptakan dua kubu, baik pro dan kontra, yang menerima DOB maupun yang menolak DOB, dan juga setelah ini menciptakan kelompok pro-kontra baru lagi,” kata Gobay.


Kelompok pro-kontra yang baru, kata Gobay, contohnya adalah soal ibu kota, masuknya wilayah ke provinsi tertentu, sebagaimana juga telah dideteksi banyak pihak.


Di sinilah pentingnya penerapan UU 7/2012 tentang penanganan konflik sosial diterapkan.


“Karena jelas-jelas kalau menggunakan kacamata tersebut, pemicunya kan perumusan kebijakan sehingga bisa melahirkan pro-kontra dan munculnya berbagai kelompok yang mudah tersulut konflik dan mengakibatkan konflik sosial,” tambahnya. 

Gobay juga menyinggung tentang pengiriman pasukan keamanan ke Papua, yang ditujukan untuk mengantisipasi konflik pasca penetapan daerah pemekaran.


“Harapan saya, Kapolri bisa memerintahkan agar pendekatannya humanis. Jangan sampai ada pelanggaran hukum ataupun HAM yang terjadi, karena itu akan menambah panjang deretan fakta pelanggaran HAM. Harapannya, kita lihat ini menggunakan UU 7/2012, dalam konteks penanganan konflik sosial, secara humanis,” tegasnya. [ns/em] 




Sumber : voaindonesia.com

 

Share:

Jumat, 08 Juli 2022

Victims of Bloody Biak collect Jokowi’s promise to resolve human rights violations in Papua


 Jayapura, – Head of the United for Truth (BUK), an organization for victims of human rights violations, Tineke Rumkabu said victims of the Bloody Biak tragedy demanded President Joko Widodo fulfill his political commitment to resolve various cases of human rights violations in Papua.

“We demand President Joko Widodo, the National Police, the National Commission on Human Rights (Komnas HAM), and the regional government to resolve the Bloody Biak case,” said Rumkabu on Wednesday, July 6, 2022.

She said that after 24 years, none of the perpetrators of the Bloody Biak tragedy had been brought to justice.

“Where is the responsibility of the state for victims who were tortured, disappeared, raped, and killed? We as victims consider Indonesia irresponsible for various cases of human rights violations in Papua. Indonesia does not provide a sense of justice for victims, nor does it arrest and prosecute perpetrators of human rights violations,” said Rumkabu.

If the case were resolved without a court process and only resolved through the Truth and Reconciliation Commission (TRC), Rumkabu said, it would not provide a sense of justice for the victims. She urged the government to establish an Ad Hoc Human Rights Court to try the perpetrators.

The results of Elsham Papua’s investigation titled “Papua Without a Name, a Name Without a Tomb” published in July 1999 stated that the Bloody Biak tragedy caused the death of eight people. In addition, three people were missing, four people were seriously injured, 33 people were slightly wounded, and 150 people were arrested and tortured.

After the incident, 32 bodies were found in Biak waters. The report also mentioned that various army units allegedly attacked protesters in Biak on July 6, 1998.

Rumkabu said that if the government continued to delay the legal process in the Bloody Biak tragedy, the disclosure of the case would be increasingly difficult.

“Some of the perpetrators are getting old, some have died, some have retired, all of it makes it more difficult to disclose the Biak human rights violation,” she said.

Finally, Rumkabu asked the Indonesian government to provide trauma recovery for victims and their families. She also hoped that the government would provide access for the Independent Team to resolve human rights violations in Papua.

“We also ask the Indonesian government to open access for foreign journalists to visit the Land of Papua, and be serious in resolving various cases of human rights violations that have occurred in Papua,” she said. (*) 





Source: http://www.en.jubi.id
Share:

Me

Me

Followers

Postingan saya di Wordpress

Yikwagwe Post